KEALPAAN (NEGLIGENCE atau CULPA) DALAM HUKUM PIDANA

Uncategorized

KEALPAAN (NEGLIGENCE atau CULPA) DALAM HUKUM PIDANA

 

Berpedoman dari berbagai pendapat ahli hukum (DOKTRIN), istilah “schuld” yang lazimnya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan arti “kesalahan”, terdiri dari:

–       Kesengajaan;

–       Kealpaan.

“Kesengajaan” adalah suatu peristiwa atau perbuatan (de gewenste actie) yang dikehendaki, sedangkan “kealpaan” adalah suatu peristiwa atau perbuatan yang tidak dikehendaki. Pada hakekatnya, “kealpaan”  adalah bentuk kesalahan yang lebih rendah atau lebih ringan pertanggungjawabannya daripada “kesengajaan”. Dengan kata lain, sanksi atau ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang dilakukan atas dasar “kealpaan” adalah lebih ringan sifatnya. Dapat juga dikatakan bahwa kealpaan itu adalah kebalikan dari kesengajaan, karena  dalam kesengajaan, sesuatu akibat yang timbul itu dikehendaki, walaupun pelaku dapat memperaktekkan sebelumnya. Di sinilah juga letak salah satu kesukaran untuk membedakan antara kesengajaan bersyarat (dolus eventualis) dengan kealpaan berat (culpa lata).

Pengertian kealpaan secara letterlijk tidak ditemukan dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana  (KUHP)  dan berbagai referensi. Dalam M.v.T (Memorie van Toelichting) dijelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat:

  1. Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan.
  2. Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan.
  3. Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.

Pada umumnya, kealpaan dibedakan atas:

1). Kealpaan yang disadari (bewuste schuld);

Disini si pelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi;

2). Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).

Dalam hal ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya.

Van Hattum mengatakan, bahwa “kealpaan yang disadari itu adalah suatu sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada pada pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis”. Jadi perbedaan ini tidak banyak artinya. Kealpaan sendiri merupakan pengertian yang normatif bukan suatu pengertian yang menyatakan keadaan (bukan feitelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi tertentu, bagaimana saharusnya si pelaku itu berbuat.

Prof. Mr. D. Simons merumuskan  “kealpaan”  sebagai berikut: “Umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak berhati – hati melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga akibat perbuatan itu. Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati – hati, masih mungkin juga terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang – undang. Kealpaan terdapat apabila seseorang tetap melakukan perbuatan itu meskipun ia telah mengetahui atau menduga akibatnya. Dapat diduganya akibat itu lebih dahulu oleh si pelaku adalah suatu syarat mutlak. Suatu akibat yang tidak dapat diduga lebih dahulu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebagai kealpaan. Tentu dalam hal mempertimbangkan  ada atau tidaknya “dapat diduga lebih dahulu” itu, harus diperhatikan pribadi si pelaku. Kealpaan tentang keadaan – keadaan yang menjadikan perbuatan itu suatu perbuatan yang diancam dengan hukum, terdapat kalau si pelaku dapat mengetahui bahwa keadaan – keadaan itu tidak ada”.

Berkaitan dengan konsep “kealpaan” maka Prof. Satochid Kartanegara menjelaskan “kapankah dapat dikatakan bahwa seseorang telah berbuat kurang hati – hati?”, yait:

  1. Pertama – tama untuk menentukan apakah seseorang “hati – hati”, harus digunakan criteria yang ditentukan tadi, yaitu menentukan apakah setiap orang yang tergolong si pelaku tadi, dalam hal yang sama akan berbuat lain? Untuk dapat menentukan hal itu, harus digunakan ukuran, yaitu pikiran dan kekuatan dari orang itu. Dalam pada itu, untuk orang desa misalnya, harus digunakan ukuran orang desa, tidak digunakan ukuran orang kota, misalnya saja mengenai lalu lintas. Orang desa tidak memahami aturan lalu lintas. Dengan ukuran tadi, apabila setiap orang yang termasuk segolongan dengan si pelaku akan berbuat lain, si pelaku dapat dikatakan telah berbuat lalai atau culpa.
  2. Disamping itu, dapat digunakan ukuran lain sebagai berikut; Dalam hal ini, diambil orang yang terpandai yang termasuk golongan si pelaku. Lalu, ditinjau apakah ia berbuat lain atau tidak. Dalam hal ini, syaratnya lebih berat, dan jika orang yang terpandai itu berbuat lain, dikatakan bahwa si pelaku telah berbuat lalai atau culpa.

 

Writer and Copy Right:
Dr. (Cand.) Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant
Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002

______________________________

HIMBAUAN PARTISIPASI:

Sebagai PEMILIK dan PENULIS artikel – artikel dalam Website https://beritahukum-kebijakanpublik.com, saya menyatakan:

  • Mengajak VENDOR untuk memasang iklan pada artikel – artikel di website https://beritahukum-kebijakanpublik.com dengan langsung menghubungi saya;
  • Mempersilahkan rekan – rekan dan khalayak umum untuk mengcopy seluruh konten yang terdapat dalam website https://beritahukum-kebijakanpublik.com. Akan tetapi sebagai ungkapan KEPEDULIAN kiranya berkenan memberikan partisipasi sukarela melalui transfer ke rekening Bank BNI No. 0263783536 atas nama APPE HUTAURUK.

Semoga dengan kepedulian yang diberikan, saya dapat terus berkarya memposting artikel – artikel yang bermanfaat bagi dunia pendidikan, masyarakat serta bangsa dan negara.

#SalamPersasaudaraan:
APPE HAMONANGAN HUTAURUK

 

 

LAW  FIRM APPE  HAMONANGAN   HUTAURUK & ASSOCIATES
KETUA  UMUM  DPP LSM  KOMAKOPEPA
AKTIVIS’98

Leave a Reply