PERBANDINGAN UUD 1945 SEBELUM DAN SETELAH AMANDEMEN

PERBANDINGAN UUD 1945 SEBELUM DAN SETELAH AMANDEMEN

 

A. Undang – Undang Dasar 1945 sebelum amandemen

Badan Penyelidik Usaha – Usaha  Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945 adalah badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan gagasan tentang “Dasar Negara” yang diberi nama Pancasila. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk – pemeluknya” maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945  (UUD 1945) adalah hukum dasar tertulis (basic law), sebagai konstitusi tertulis  negara Republik Indonesia saat ini. Undang – Undang   Dasar 1945 untuk pertama kali di sahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 agustus 1945. Dalam tata susunan peraturan perundangan negara (secara hierarki), UUD 1945 menempati tingkat tertinggi dibawah Pancasila yang merupakan pandangan hidup (way of life) bangsa Indonesia. Menurut jenjang norma hukum, UUD 1945 adalah kelompok Staatsgrundgesetz atau aturan aturan dasar / aturan pokok negara yang berada di bawah pancasila sebagai Grundnorm atau norma dasar.

UUD 1945 disahkan sebagai Undang – Undang  Dasar negara oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945. Sejak tanggal 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku Undang – Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Selanjutnya melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dinyatakan kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  pada tanggal 22 Juli 1959.

Setelah negara Indonesia menyatakan kembali menggunakan UUD 1945 ternyata tidak serta – merta  isi dari hasil pendiri bangsa (founding fathers)  itu digunakan hingga sekarang. Banyak faktor seperti waktu yang mendesak yang menjadikan UUD 1945 (sebelum amandemen) banyak memiliki kekurangan dan multi tafsir.

Sebelum dilakukan perubahan, UUD 1945 terdiri atas; Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan. Mengenai Penjelasan Undang – Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, terdapat 2 (dua) pendapat yang berbeda, yaitu:

  1. Pendapat yang mengatakan bahwa Undang – Undang Dasar 1945 hanya terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh saja. Penjelasan bukanlah bagian resmi dari Undang – Undang Dasar 1945;
  2. Pendapat lain yang umum menyatakan bahwa Undang – Undang Dasar 1945 terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan. Jadi, Penjelasan itu adalah bagian resmi dari Undang – Undang Dasar 1945.

Pada masa Orde Baru (1966 – 1998), Pemerintah menyatakan kembali menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekwen. Namun dalam pelaksanaannya terjadi juga penyelewengan UUD 1945 yang mengakibatkan terlalu besarnya kekuasaan pada Presiden. Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat  “sakral” melalui sejumlah peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, antara lain:

  1. Ketetapan MPR Nomor I / MPR / 1983 yang menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya;
  2. Ketetapan MPR Nomor IV / MPR / 1983 Tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum;
  3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 Tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV / MPR / 1983.

 

PENGATURAN PEMERINTAH DAERAH SEBELUM AMANDEMEN UUD 1945

Gagasan untuk menerapkan sistem otonomi daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibicarakan oleh PPKI disetujui antara lain oleh Supomo bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai desentralisasi akan di atur di dalam undang – undang. Gagasan-gagasan ini yang kemudian dituangkan di dalam Pasal 18 UUD 1945  yang memuat :

  1. Seluruh daerah Indonesia akan dibagi atas daerah besar dan kecil yang akan diatur dengan undang-undang;
  2. Pengaturan tersebut harus :
    • Memperhatikan dasar-dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara;
    • Memperhatikan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945 ditambahkan empat hal pokok lagi, yaitu :

  1. Daerah besar dan kecil bukanlah A negara bagian karena daerah tersebut dibentuk dalam kerangkan negara kesatuan (eenheidsstaat);
  2. Daerah besar dan kecil ada yang bersifat otonom dan ada yang bersifat administratif;
  3. Daerah yang mempunyai hak asal-usul yang bersifat istimewa adakah Swapraja dan desa atau nama lain semacam itu yang disebut Volksgemeenschappen;
  4. Republik Indonesia akan menghormati kedudukan daerah yg mempunyai hak asal-usul yg bersifat istimewa itu.

 

B. Undang – Undang Dasar 1945 sesudah amandemen

Pada kurun waktu tahun 1999 – 2002, UUD 1945 mengalami 4 (empat) kali perubahan (amandemen), yang mengubah susunan lembaga – lembaga  dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Setelah dilakukan 4 (empat) kali perubahan, UUD 1945 memiliki 16 bab, 37 pasal, 194 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan. Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.

Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.

Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensial.

Adapun alasan dilakukan amandemen terhadap Undang – Undang Dasar 1945 adalah:

  1. Lemahnya checks and balances pada institusiinstitusi ketatanegaraan.
  2. Executive heavy, kekuasaan terlalu dominan berada di tangan Presiden (hak prerogatif dan kekuasaan legislatif)
  3. Pengaturan terlalu fleksibel (vide:pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen)
  4. Terbatasnya pengaturan jaminan akan HAM
  5. Segi Historis (Pembuatan UUD 1945 ditetapkan dalam suasana tergesa – gesa)
  6. Segi Substansi dan isi UUD 1945 (UUD 1945 memiliki keterbatasan dan kelemahan)
  7. Segi Sosiologis (Amanat dari rakyat untuk melakukan amandemen)

Sedangkan hal – hal yang menjaddi Kesepakatan Amandemen Undang – Undang Dasar  1945 :

  1. Dilakukan antar fraksi MPR.
  2. terdiri dari pembukaan dan batang tubuh mempunyai kedudukan berlainan, namun terjalin dalam hubungan bersifat kausal organis.
  3. kesepakatan antara fraksi MPR dalam amandemen UUD 1945, antara lain :
  4. Tidak mengubah pembukaan UUD 1945
  5. Tetap mempertahankan NKRI
  6. Tetap mempertahankan system presidesiil
  7. Bagian penjelasan UUD 1945 yang normatif, dimasukan dalam batang tubuh
  8. Perubahan addendum  :  satu kesatuan antara perubahan yang diubah dengan yang tidak diubah

Perubahan Undang – Undang Dasar 1945 dalam kurun waktu tahun 1999 sampai dengan  tahun 2001 tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut; Perubahan Pertama pada Sidang Umum MPR Tahun 1999 pada tanggal 14 – 21 Oktober 1999, Perubahan Kedua pada Sidang Tahunan MPR  Tahun 2000 pada tanggal 7-18 Agustus 2000, Perubahan Ketiga pada Sidang Tahunan MPR  Tahun 2001 pada tanggal 1-9 November 2001, dan Perubahan Keempat pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 pada  1-11 Agustus 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan besar – besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai Undang – Undang Dasar 1945.

Perubahan Pertama UUD 1945 disahkan dalam Sidang Umum MPR – RI yang diselenggarakan antara tanggal 12 sampai dengan tanggal 19 Oktober 1999. Pengesahan naskah Perubahan Pertama itu tepatnya dilakukan pada tanggal 19 Oktober 1999 yang dapat disebut sebagai tonggak sejarah yang berhasil mematahkan semangat konservatisme dan romantisme di sebagian kalangan masyarakat yang cenderung mensakralkan atau menjadikan UUD 1945 bagaikan sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh oleh ide perubahan sama sekali. Perubahan Pertama ini mencakup perubahan atas 9 pasal UUD 1945, yaitu atas pasal 5 ayat (1), pasal 7, pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan pasal 21. Kesembilan pasal yang merngalami perubahan atau penambahan tersebut seluruhnya berisi 16 ayat atau dapat disebut ekuivalen dengan 16 butir ketentuan dasar.

Setelah tembok romantisme dan sakralisme berhasil dirobohkan, gelombang perubahan atas naskah UUD 1945 terus berlanjut, sehingga dalam Sidang Tahunan pada tahun 2000, MPR – RI sekali lagi menetapkan Perubahan Kedua yaitu pada tanggal 18 Agustus 2000. Cakupan materi yang diubah pada naskah Perubahan Kedua ini lebih luas dan lebih banyak lagi, yaitu mencakup 27 pasal yang tersebar dalam 7 bab, yaitu Bab VI tentang “Pemerintah Daerah”, Bab VII tentang “Dewan Perwakilan Rakyat”, Bab IXA tentang “Wilayah Negara”, Bab X tentang “Warga Negara dan Penduduk”, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia”, Bab XII tentang “Pertahanan dan Keamanan Negara”, dan Bab XV tentang “Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan”.

Setelah itu, agenda perubahan dilanjutkan lagi dalam Sidang Tahunan MPR – RI tahun 2001 yang berhasil menetapkan naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001. Secara kuantitatif Perubahan Ketiga ini lebih banyak muatannya, juga dari segi isinya, secara kualitatif materi Perubahan Ketiga ini dapat dikatakan sangat mendasar pula. Selanjutnya, perubahan yang terakhir dalam rangkaian gelombang reformasi nasional sejak tahun 1998 sampai tahun 2002, adalah perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR – RI tahun 2002. Paradigma pemikiran atau pokok – pokok pikiran yang terkandung dalam rumusan pasal – pasal UUD 1945 setelah mengalami empat kali perubahan itu benar – benar berbeda dari pokok pikiran yang terkandung dalam naskah asli ketika UUD 1945 pertama kali disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Bahkan dalam pasal II Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD 1945 ditegaskan,”Dengan ditetapkannya perubahan Undang – Undang Dasar ini, Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal – pasal”. Dengan demikian, jelaslah bahwa sejak tanggal 10 Agustus 2002, status Penjelasan UUD 1945 yang selama ini dijadikan lampiran tidak terpisahkan dari naskah UUD 1945, tidak lagi diakui sebagai bagian dari naskah UUD. Jika pun isi Penjelasan itu dibandingkan dengan isi UUD 1945 setelah empat kali berubah, maka jelas satu sama lain sudah tidak lagi bersesuaian, karena pokok pikiran yang terkandung di dalam keempat naskah perubahan itu sama sekali berbeda dari apa yang tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 tersebut.

Apabila kita membaca dengan cermat perubahan (amandemen) Undang – Undang Dasar 1945  tersebut, maka akan nampak bahwa empat kali perubahan tersebut  merupakan satu rangkaian perubahan yang dilakukan secara sistematis dalam rangka menjawab tantangan baru kehidupan politik Indonesia yang lebih demokratis sesuai dengan perkembangan dan perubahan masyarakat. Tuntutan perubahan system politik dan ketatanegaraan dalam bentuk perubahan Undang Dasar 1945, adalah pesan yang sangat jelas disampaikan oleh gerakan reformasi yang  dimulai sejak tahun 1998.

Keempat perubahan ini, mencakup aspek yang sangat luas dan mendalam baik dari jumlah pasal yang diubah dan ditambah maupun dari substansi perubahan yang terjadi. UUD 1945 sebelum perubahan hanya terdiri dari 16 bab, 37 pasal dan 47 ayat ditambah 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan. Setelah 4 kali perubahan, UUD 1945 menjadi 20 bab, 73 pasal, 171 ayat ditambah 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan. Substansi perubahan menyentuh hal-hal yang sangat mendasar dalam sistem politik dan ketatanegaraan yang berimplikasi pada perubahan berbagai peraturan perundangan dan kehidupan politk Indonesia di masa depan. Dalam kerangka inilah berbagai perundang-undangan baru bidang politik disusun, yaitu UU Partai Politik, UU Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta UU Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

 

PENGATURAN PEMERINTAH DAERAH SESUDAH AMANDEMEN UUD 1945

Mengenai Pemertintahan daerah sesudah amandemen diatur dalam Bab VI, pasal 8 dan pasal 18 A yang berbunyi yang menyatakan:

Pasal 18 UUD 1945, berbunyi:

  1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintah daerah, yang diatur dengan undang-undang.
  2. Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas etonomi dan tugas pembantuan.
  3. Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
  4. Gubenur, Bupati dan Wali kota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota, dipilih secara demokratis.
  5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintah yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.
  6. Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
  7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintah daerah diatur dalam undang-undang.

Pasal 18 A UUD 1945, berbunyi:

  1. Hubungan wewenang antara pemerintahan pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
  2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainya antara pemerintah pusat dan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang;

Pasal 18 B UUD 1945, berbunyi:

  1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang;
  2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan undang-undang.

 

C. PERBEDAAN SISTEM PEMERINTAHAN SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UNDANG – UNDANG DASAR 1945 

Dalam sejarah indonesia, sudah beberapa kali pemerintah melakukan amandemen pada UUD 1945. Hal ini tentu saja dilakukan untuk menyesuaikan undang-undang dengan perkembangan zaman dan memperbaikinya sehingga dapat menjadi dasar hukum yang baik. Dalam proses tersebut, terdapat perbedaan antara sistem pemerintahan sebelum dilakukan amandemen dan setelah dilakukan amandemen. Perbedaan tersebut adalah:

  1. MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (MPR)

I. SEBELUM AMANDEMEN

Sebelum dilakukan amandemen, MPR merupakan lembaga tertinggi negara sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.

 

WEWENANG:

  • membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara yang lain, termasuk penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris.
  • Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-putusan Majelis.
  • Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden Wakil Presiden.
  • Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut.
  • Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara dan/atau Undang-Undang Dasar.
  • Mengubah undang-Undang Dasar.
  • Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis.
  • Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota.
  • Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota yang melanggar sumpah/janji anggota.

 

II. SESUDAH AMANDEMEN

Setelah amandemen, MPR berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang setara dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Lembaga Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK.

WEWENANG:

  • Menghilangkan supremasi kewenangannya
  • Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN
  • Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu)
  • Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
  • Melantik presiden dan/atau wakil presiden
  • Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
  • Memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden
  • Memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pemilu sebelumnya sampai berakhir masa jabatannya, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.

–     MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN

 

  1. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR)

I. SEBELUM AMANDEMEN

Presiden tidak dapat membubarkan DPR yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum secara berkala lima tahun sekali. Meskipun demikian, Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.

WEWENANG:

  • Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden.
  • Memberikan persetujuan atas PERPU.
  • Memberikan persetujuan atas Anggaran.
  • Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.
  • Tidak disebutkan bahwa DPR berwenang memilih anggota-anggota BPK dan tiga hakim pada Mahkamah Konstitusi.

 

II. SESUDAH AMANDEMEN

Setelah amandemen, Kedudukan DPR diperkuat sebagai lembaga legislatif dan fungsi serta wewenangnya lebih diperjelas seperti adanya peran DPR dalam pemberhentian presiden, persetujuan DPR atas beberapa kebijakan presiden, dan lain sebagainya.

WEWENANG:

  • Membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama;
  • Membahas dan memberikan persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  • Menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan;
  • Menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD;

–   Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, serta kebijakan  pemerintah;

 

  1. PRESIDEN

I. SEBELUM AMANDEMEN

Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power). Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar. Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya, sehingga presiden bisa menjabat seumur hidup.

WEWENANG:

  • Mengangkat dan memberhentikan anggota BPK.
  • Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam kegentingan yang memaksa)
  • Menetapkan Peraturan Pemerintah
  • Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri

PEMILIHAN
Presiden dan Wakil Presiden diangkat dan diberhentikan oleh MPR.

 

II. SETELAH AMANDEMEN

Kedudukan presiden sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dan berwenang membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR. Masa jabatan presiden adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali selama satu periode.

WEWENANG:

  • Memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD;
  • Presiden tidak lagi mengangkat BPK, tetapi diangkat oleh DPR dengan memperhatikan DPD lalu diresmikan oleh presiden;
  • Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara;
  • Mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden melakukan pembahasan dan pemberian persetujuan atas RUU bersama DPR serta mengesahkan RUU menjadi UU;
  • Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam kegentingan yang memaksa);
  • Menetapkan Peraturan Pemerintah;
  • Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri;
  • Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan DPR;
  • Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR
  • Menyatakan keadaan bahaya;

 

PEMILIHAN

Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelumnya. Pilpres pertama kali di Indonesia diselenggarakan pada tahun 2004.

Jika dalam Pilpres didapat suara >50% jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari separuh jumlah provinsi Indonesia, maka dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Jika tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, maka pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pilpres mengikuti Pilpres Putaran Kedua. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak dalam Pilpres Putaran Kedua dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih.

 

  1. MAHKAMAH KONSTITUSI

I. SEBELUM AMANDEMEN

Mahkamah konstitusi berdiri setelah amandemen

II. SETELAH AMANDEMEN

WEWENANG

  • Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum
  • Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
  1. MAHKAMAH AGUNG (MA)

I. SEBELUM AMANDEMEN

Kedudukan: :
Kekuasan kehakiman menurut UUD 1945 sebelum amandemen dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman (Pasal 24 (1)). Kekuasaan kehakiman hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Lembaga ini dalam tugasnya diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama eksekutif.

WEWENANG
Sebelum adanya amandemen, Mahkamah Agung berwenang dalam kekuasaan kehakiman secara utuh karena lembaga ini merupakan lembaga kehakiman satu-satunya di Indonesia pada saat itu.

 

II.  SETELAH AMANDEMEN

Kedudukan:
MA merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan kehakiman disamping itu sebuah mahkamah konstitusi diindonesia (pasal 24 (2) UUD 1945 hasil amandemen ). Dalam melaksanakan kekusaan kehakiman , MA membawahi Beberapa macam lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara( Pasal 24 (2) UUD 1945 hasil amandemen).

WEWENANG

  • Fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain;
  • Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang;
  • Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi;

–     Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi;

 

  1. BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK)

 

I. SEBELUM AMANDEMEN

Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan undangundang. Hasil Pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat”  (PASAL 23);

II. SESUDAH AMANDEMEN

Pasal 23 F, berbunyi:

  • Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden.

(2) Pimpinan BPK dipilih dari dan oleh anggota.

Pasal 23 G, berbunyi:

  • BPK berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap propinsi.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai BPK di atur dengan undang-undang.

Sistem pemerintahan ini tertuang dalam penjelasan UUD 1945 tentang 7 kunci pokok sistem pemerintahan. Yaitu :

  • Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat);
  • Sistem Konstitusional;
  • Kekuasaan tertinggi di tangan MPR;
  • Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah MPR;
  • residen tidak bertanggung jawab kepada DPR;
  • Menteri Negara adalah pembantu presiden, dan tidak bertanggung jawab terhadap DPR;
  • Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.

Berdasarkan tujuh kunci pokok tersebut, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial.
Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Suharto. Ciri dari sistem pemerintahan presidensial ini adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan. Pada saat sistem pemerintahan ini, kekuasaan presiden berdasar UUD 1945 adalah sebagai berikut :

  • Pemegang kekuasaan legislative;
  • Pemegang kekuasaan sebagai kepala pemerintahan;
  • Pemegang kekuasaan sebagai kepala Negara;
  • Panglima tertinggi dalam kemiliteran;
  • Berhak mengangkat & melantik para anggota MPR dari utusan daerah atau golongan;
  • Berhak mengangkat para menteri dan pejabat Negara;
  • Berhak menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain;
  • Berhak mengangkat duta dan menerima duta dari Negara lain;
  • Berhak memberi gelaran, tanda jasa, dan lain – lain tanda kehormatan;
  • Berhak memberi grasi, amnesty, abolisi, dan rehabilitasi;

Dampak negatif yang terjadi dari sistem pemerintahan yang bersifat presidensial ini adalah sebagai berikut :

  • Terjadi pemusatan kekuasaan Negara pada satu lembaga, yaitu presiden;
  • Peran pengawasan & perwakilan DPR semakin lemah;
  • Pejabat – pejabat Negara yang diangkat cenderung dimanfaat untuk loyal dan mendukung kelangsungan kekuasaan presiden;
  • Kebijakan yang dibuat cenderung menguntungkan orang – orang yang dekat presiden;
  • Menciptakan perilaku KKN;
  • Terjadi personifikasi bahwa presiden dianggap Negara;
  • Rakyat dibuat makin tidak berdaya, dan tunduk pada presiden.

Dampak positif yang terjadi dari sistem pemerintahan yang bersifat presidensial ini adalah sebagai berikut :

  • Presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan;
  • Presiden mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid;
  • Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti;
  • Konflik dan pertentangan antar pejabat Negara dapat dihindari.

Pada saat bangsa Indonesia memasuki era reformasi, dimana bangsa Indonesia ingin dan bertekad untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Oleh karena itu perlu disusun pemerintahan berdasarkan konstitusi (konstitusional), yang bercirikan sebagai berikut :

  • Adanya pembatasan kekuasaan ekskutif;
  • Jaminan atas hak – hak asasi manusia dan warga Negara;

Pokok – pokok sistem pemerintahan Indonesia pasca amandemen Undang – Undang Dasar 1945  adalah sebagai berikut :

  • Bentuk Negara kesatuan dengan prinsip otonomi yang luas. Wilayah Negara terbagi menjadi beberapa provinsi;
  • Bentuk pemerintahan adalah Republik;
  • Sistem pemerintahan adalah presidensial;
  • Presiden adalah kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan;
  • Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden;
  • Parlemen terdiri atas dua (bikameral), yaitu DPR dan DPD;
  • Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh mahkamah agung dan badan peradilan di bawahnya.

Sistem pemerintahan ini pada dasarnya masih menganut sitem presidensial. Hal ini terbukti dengan presiden sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. Presiden juga berada di luar pengawasan langsung DPR dan tidak bertanggung jawab terhadap parlemen.

Beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah sebagai berikut :

  • Presiden sewaktu – waktu dapat diberhentikan MPR atas usul dan pertimbangan dari DPR;
  • Presiden dalam mengangkat pejabat Negara perlu pertimbangan dan/atau persetujuan DPR;
  • Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan dan/atau persetujuan DPR;
  • Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang – undang dan hak budget (anggaran).

Dengan demikian, ada perubahan – perubahan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukkan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemilihan presiden secara langsung, sistem bicameral, mekanisme check and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.

 

D.    PERBANDINGAN UNDANG – UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 DENGAN UNDANG – UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH

  1. Undang – Undang No. 22 Tahun 1999

UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan pada 7 Mei 1999 dan berlaku efektif sejak tahun 2000. Undang-undang ini dibuat untuk memenuhi tuntutan reformasi, yaitu mewujudkan suatu Indonesia baru, Indonesia yang lebih demokratis, lebih adil, dan lebih sejahtera.

UU No.22 tahun 1999 membawa perubahan yang sangat fundamental mengenai mekanisme hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat. Perubahan yang jelas adalah mengenai pengawasan terhadap Daerah. Pada masa lampau , semua Perda dan keputusan kepala daerah harus disahkan oleh pemerintah yang lebih tingkatannya, seperti Mendagri untuk pembuatan Perda Provinsi/ Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah mengesahkan Perda Kabupaten/ Daerah Tingkat II.

Dengan berlakunya UU No.22 tahun 1999, Daerah hanya diwajibkan melaporkan saja kepada pemerintah di Jakarta. Namun, pemerintah dapat membatalkan semua Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum atau dengna peraturan puerundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau peraturan perundangan yang lain. (Pasal 114 ayat 1).

Ada beberapa ciri khas yang menonjol dari UU ini:

  1. Demokrasi dan Demikratisasi, diperlihatkan dalam dua hal, yaitu mengenai rekrutmen pejabat Pemda dan yang menyangkut proses legislasi di daerah.
  2. Mendekatkan pemerintah dengan rakyat, titik berat otonomi daerah diletakkan kepada Daerah Kabupaten dan Kota, bukan kepada Daerah Propinsi.
  3. Sistem otonomi luas dan nyata, Pemda berwenang melakukan apa saja yang menyangkut penyelenggaraan pemerintah, kecuali 5 hal yaitu yang berhubungan dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan negara, moneter, sistem peradilan, dan agama.
  4. Tidak menggunakan sistem otonomi bertingkat, Daerah-daerah pada tingkat yang lebih rendah menyelenggarakan urusan yang bersifat residual, yaitu yang tidak diselenggarakan oleh Pemda yang lebih tinggi tingkatannya.
  5. No mandate without founding, penyelenggaraan tugas pemerintah di Daerh harus dibiayai dari dana Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara.
  6. Penguatan rakyat melalui DPRD, penguatan tersebut baik dalam proses rekrutmen politik lokal, ataupun dalam pembuatan kebijakan publik di Daerah.
  1. Undang – Undang 32 Tahun 2004

Dengan diundangkannya UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pada tanggal 15 Oktober 2004, UU No.22 tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebenarnya antara kedua undang-undang tersebut tidak ada perbedaan prinsipal karena keduanya sama-sama menganut asas desentralisasi. Pemerintah Daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonnomi dan tugas pembantuan. Otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.

UU No.32 tahun 2004 mengatur hal-hal tentang; pembentukan daerah dan kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan, kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah, perencanaan pembangunan daerah, keuangan daerah, kerja sama dan penyelesaian perselisihan, kawasan perkotaan, desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan dalamkebijakan otonomi daerah.

Menurut UU No.32 tahun 2004 ini, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Sehubungan dengan daerah yang bersifat khusus dan istimewa ini, kita mengenal adanya beberapa bentuk pemerintahan yang lain, seperti DKI Jakarta, DI Aceh, DI Yogyakarta, dan provinsi-provinsi di Papua.

Bagi daerah-daerah ini secara prinsip tetap diberlakukan sama dengan daerah-daerah lain. Hanya saja dengan pertimbangan tertentu, kepada daerah-daerah tersebut, dapat diberikan wewenang khusus yang diatur dengan undang-undang. Jadi, bagi daerah yang bersifat khusus dan istimewa, secara umum berlaku UU No.32 tahun 2004 dan dapat juga diatur dengan UU tersendiri.

Ada perubahan yang cukup signifikan untuk mewujudkan kedudukan sebagai mitra sejajar antara kepala derah dan DPRD yaitu kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dan DPRD hanya berwenang meminta laporan keterangan pertanggung jawaban dari kepala daerah.

Di daerah perkotaan, bentuk pemerintahan terendah disebut “kelurahan”. Desa yang ada di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa, bersama Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan perda. Desa menjadi kelurahan tidak seketika berubah dengan adanya pembentukan kota, begitu pula desa yang berada di perkotaan dalam pemerintahan kabupaten.

UU No.32/2004 mengakui otonomi yang dimiliki desa ataupun dengan sebutan lain. Otonomi desa dijalankan bersama-sama oleh pemerintah desa dan badan pernusyawaratan desa sebagai perwujudan demokrasi.

Secara ringkas dapat dibuat tabel perbandingan substansi antara Undang – Undan Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, sebagai berikut:

Istilah UU No.22/1999 UU No.32/2004
Pemerintah Pusat Perangkat NKRI yang terdiri dari presiden beserta para menteri menurut asas desentralisasi Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945
Desentralisasi Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka NKRI Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI
Dekonsentrasi Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah Pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal wilayah tertentu
Tugas pembantuan Penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa, dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana, dan prasarana serta SDM dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan Penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupatean/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupatean/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu
Otonomi daerah Kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan Hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Daerah otonom Keaatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam NKRI Keaatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintaha dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam NKRI
Wilayah admininstrasi Wilayah kerja Gubernur selaku wakil pemerintah
Kelurahan Wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten dan/atau daerah kota di bawah kecamatan
Pemerintah daerah Kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemda
Pemerintahan daerah Penyelenggaraan Pemda otonom oleh Pemda dan DPRD dan/ atau daerah kota di bawah kecamatan Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem prinsip NKRI

 

APPE HAMONANGAN HUTAURUK, SH., MH.

 

___________________

HIMBAUAN PARTISIPASI:

Sebagai PEMILIK dan PENULIS artikel – artikel dalam 1) Website:  https://beritahukum-kebijakanpublik.com2)  Website: https://appehamonanganhutauruk.com,   3) Blogger  www.beritahukumkebijakanpublik.com, dan Blogger: www.newsandstudies.com,   saya mengajak dan mengundang PARA ENDORSE  untuk berkenan memasang iklan berbayar pada seluruh media sosial yang saya kelola tersebut.

@appehamonangan68(appehamonangan68)TikTok

SnackVideo Appe Hamonangan Hutauruk

https://www.youtube.com/channel/UCedp8eUSKI0upnkURG7TRmw

#appehamonanganhutauruk

#BeritaHukumKebijakanPublik