MENS REA (SUATU PERBANDINGAN)
Apabila “actus reus” menyangkut perbuatan yang melawan hukum (unlawful act, wederrechtlijk), maka “mens rea” mencakup unsur – unsur pembuat delik, yaitu sikap batin, yang oleh pandangan monistis tentang delik disebut unsur subyektif suatu delik atau keadaan psikis pembuat (Utrecht, 1960:257);
Aliran pemikiran MONISTIS yang diwariskan oleh Hoge Raad, dilukiskan oleh Moeljatno sebagai berikut: Sesungguhnya di dalam literatur Belanda, tentang arti strafbaar feit pada masa ini sedang mengalami perkembangan, sehingga tidak ada kesatuan pendapat lagi, sebagaimana halnya beberapa waktu yang lalu. Didalam ucapan van Hattum di atas, sesungguhnya strafbaar feit diberi arti strafbaarheid van de person yang melakukan feit. Dengan lain perkataan, jika ada strafbaar feit disitu ada orang yang harus dipidana pula. Unsur – unsurnya strafbaar feit adalah sama dengan syarat – syaratnya orang dijatuhi pidana. Pendapat ini boleh dinamakan pendapat klasik, oleh karena itu pendapat Simons dan van Hamel, kedua otoritet yang klasik sejak berlakunya W.v.S., yang seperempat abad lebih menguasai dunia keilmuan pidana Belanda. Rumusan Simons untuk strafbaarfeit yang terkenal adalah: Een strafbaar gestelde onrechtmatige, met schuld in verbandstaande handeling van een toerekeningsvatbaar person. Sedangkan definisi van Hamel berbunyi: Een wettelijk omschreven, menschelijke gedraging, onrechtmatig en aan schuld te wijten. Unsur toerekeningsvatbaar persoon menurut van Hamel termaktub dalam perkataan: schuld. Inti dari kedua definisi tersebut adalah: onrechtmatigheid atau wederrechtelijkheid (sifat melawan hukumnya perbuatan) dan schuld (kesalahan) dipandang sebagai unsur – unsur strafbaar feit.
Suatu perbandingan dengan KUHPidana klasik, dapat disebutkan bahwa KUHPidana yang berlaku di negara Yugoslavia memisahkan “actus reus” (Pasal 4) dan “mens rea” (Pasal 6 dan Pasal 7). Tetapi secara substansial, isi ketentuan Pasal 6 (1) KUHPidana negara Yugoslavia lebih baik daripada isi rumusan Pasal 44 KUHPidana Indonesia, karena ia menggunakan istilah “mental affliction”, “mental derangement” dan “backward mental development” yang lebih luas artinya daripada “cacat akal”, dan “cacat pertumbuhan akal” (vide Pasal 44 KUHPidana Indonesia). Lebih dari itu KUHPidana negara Yugoslavia lebih menjelaskan dengan menambahkan kata – kata “he was unable to understand the significance of his act or control his action”. Pasal 7 (1) Yugoslavia kurang lebih sama dengan isi ketentuan Pasal 18 KUHPidana negara Swiss, sedangkan ayat (1) dan (2) menguraikan secara jelas tingkat – tingkat “kesengajaan”. Selanjutnya ketentuan Pasal 4 KUHpidana negara Yugoslavia menguraikan definisi dari “criminal act (actus reus)”.
“Mens rea” sangat erat hubungannya dengan asas “Keine Strafe onhe Schuld”, tak (ada pidana jika orang tak bersalah). Di negara Indonesia dan negara – negara barat umumnya asas ini merupakan asas hukum yang tak tertulis. Begitu pula di negara Inggris dan negara Amerika Serikat (United State of America) mengenal asas tak tertulis “an act does not make a person guilty unless his mind is guilty”. Mengenai asas ini, dalam ketentuan KUHPidana negara Jerman divantumkan pada Chapter 2 section 1 article 10 Penal Code of the German Democratic Republic.
Meskipun pada kenyataanya, negara – negara Eropa Barat, Indonesia dan negara – negara Eropa Timur termasuk Uni Soviet di satu pihak dan Inggris serta Amerika Serikat di lain pihak sama mengenal dan mengakui asas hukum pidana, “Keine Strafe ohne Schuld”, belum berarti bahwa system keduanya sama. Hukum pidana negara – negara Eropa Kontinental (Civil Law) dan hukum pidana negara Indonesia membedakan pengertian “sengaja” (Versatz, dolus) dengan “kealpaan” (culpa/fahrlassigkeit).
Created and Posted By: Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH. Lecturer, Advocate and Legal Consultant Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002