BELA PAKSA (NOODWEER)
Dasar penghapusan atau peniadaan pidana mengenai “Bela Paksa (Noodweer)” ditegaskan dalam ketentuan Pasal 49 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( KUHPidana) berbunyi:
(1) Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat, yang melawan hukum;
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana;
Naluri untuk membela diri bila terjadi serangan, pada dasarnya merupakan sifat dasar manusia untuk dapat mempertahankan kehidupannya. Hukum pidana melihat, bahwa sifat alamiah ini perlu dilembagakan, sehingga mendapat kejelasan dan perlindungan bila tindakan ini diperlukan. Mengacu pada istilah noodweer itu sendiri, yang secara kebahasaan berasal dari kata “nood” berarti “darurat” dan “weer” berarti “pembelaan”, sehingga istilah ini bila disatukan dapat diterjemahkan sebagai pembelaan darurat. Adapun istilah lain yang juga dipakai untuk menyebutkan situasi yang sama adalah notwehr, legitimate defense, atau rechtverdeding atau moderamen inculpatae tutelae.
Aturan mengenai tidak dapat dipidana tindakan yang bertujuan untuk membela diri ini sudah diatur sejak masa lalu, bahwa orang secara sendiri – sendiri menjaga dirinya dari setiap serangan yang datang. Lamintang menyebutnya sebagai “zaman pembalasan dendam secara pribadi” atau “private wraak” yang didasarkan pada suatu lex non scripta sed nata atau Hukum Yang Tidak Tertulis, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan terhadap nyawa dan tubuh. Dasar pemikiran ini kemudian disebut oleh Van Bemmelen sebagai “de weet staat hier eigen richting toe” (undang – undang telah memberikan izin untuk main hakim sendiri). Pandangan Van Bemmelen harus diterjemahkan secara hati – hati, karena tidak setiap serangan dapat dilakukan suatu pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa inipun tidak dapat dilakukan dengan segala cara, karena pembelaan yang dilakukanpun dibatasi. Hal ini mengacu kepad istilah noodweer yang digunakan untuk menyebut situasi, yaitu “noodzakelijke verdediging tegen ogenblikkelijk wederrechtelijke aanranding” (pembelaan yang perlu dilakukan terhadap serangan yang bersifat seketika dan melawan hukum).
Beberapa pendapat yang berkaitan dengan dasar pemikiran keberadaan lembaga bela paksa, antara lain sebagai berikut:
VAN HAMEL menegaskan: “Bela paksa merupakan suatu hak, sehingga seseorang yang melakukan sesuatu bela paksa tidak dipidana, karena yang dilakukannya bukan merupakan suatu tindakan yang melawan hukum”.
BINDING merumuskan: “Sahnya suatu pembelaan adalah akibat ketidakadilan yang diderita oleh seseorang”.
NOYON mengatakan: “Penyebab – penyebab secara psikis yang membuat orang tidak dapat dihukum sebagai dasar dari kwalifikasi noodweer sebagai dasar pembenar, karena menurut MvT penyebab yang datang dari luar membuat suatu perbuatan menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku”.
SIMONS menjelaskan: “Barangsiapa yang melakukan suatu pembelaan terhadap serangan yang melawan hukum, telah menggunakan kesempatan dari hak yang ada pada setiap orang untuk menghindarkan diri dari suatu onrecht (tindakan yang melawan hukum) yang tidak dapat ditolak dengan cara lain”.
VAN HATTUM menyebutkan: “Perbuatan yang dilakukan dalam suatu bela paksa tidaklah melawan hukum, karena perbuatan tersebut dapat disamakan dengan suatu gewettigde eigen richting atau perbuatan main hakim sendiri yang disahkan dengan undang – undang. Perbuatan tersebut terpaksa disahkan, karena negara tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya, yaitu menjamin keselamatan dan melindungi warga negaranya pada saat terjadinya suatu serangan”.
POMPE menerangkan: “Tentang sebab – sebab mengapa seseorang yang didalam suatu bela paksa telah melakukan suatu tindak pidana itu tidak dapat dihukum, kiranya sudah jelas bagi kita. Ia dapat mengemukakan alasan bahwa apa yang telah ia lakukan itu adalah merupakan haknya, yakni haknya yang bersifat alamiah untuk melakukan pembelaan terhadap sesuatu yang melawan hukum dan bukan suatu kewajiban sebagaimana yang ditentukan didalam Pasal 50 dan Pasal 51 KUHP”.
Created and Posted By: Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH. Lecturer, Advocate and Legal Consultant Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002