IMPLIKASI DIBERLAKUKANNYA OTONOMI DAERAH DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia para founding fathers telah menjatuhkan pilihannya pada prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power) dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara melalui pola desentralisasi. Ide desentralisasi ini senantiasa menjadi bagian dalam praktek pemerintahan negara sejak berlakunya Undang – Undang Dasar 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat, Undang – Undang Dasar Sementara 1950, hingga masa kembali pada Undang – Undang Dasar 1945 yang dikukuhkan melalui Dekrit Presiden 5 juli 1959.
Perkembangan sejarah ketatanegaraan Indonesia tersebut membuktikan bahwa ide dan semangat desentralisasi tetap dipertahankan oleh Negara Republik Indonesia, sekalipun dari satu periode ke periode lainnya terlihat adanya perbedaan dalam intensitasnya. Implementasi atas ketentuan desentralisasi tersebut, telah dilakukan upaya – upaya penting pemerintah. Diberlakukannya berbagai peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah menunjukkan bahwa keinginan untuk mewujudkan cita-cita ini terus berlanjut. Namun demikian, citan – cita untuk mengejawantahkan konsep desentralisasi ternyata masih jauh dari ekspektasi yang ideal. Otonomi Daerah masih dianggap lebih sebagai harapan (das sollen) ketimbang sebagai kenyataan yang telah terwujud (das sein). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Otonomi Daerah belum terwujud sebagaimana yang diharapkan (in concreto), namun baru akan menuju kearah Otonomi Daerah yang idealnya sesuai amanat Undang – Undang Dasar 1945.
Kajian tentang otonomi daerah telah banyak dilakukan oleh pakar, baik pakar dari Indonesia maupun pakar asing. Berbagai aspek telah disoroti dakam kajian tersebut. Garis besar hasil kajian tersebut menunjukkan kecilnya otonomi daerah di Indonesia dilihat dari perspektif internasional, baik secara kuantitas maupun kualitas. Secara perbandingan, otonomi Dati II lebih kecil daripada Dati I. Keabsahan pengambilan keputusan dalam tubuh daerah otonom semata – mata didasarkan atas demokrasi perwakilan (representative democracy) dan diabaikannya demokrasi partisipasi (representative democracy). Sendi – sendi good governance pun terabaikan. Berbagai faktor penyebab kondisi otonomi daerah tersebut telah dianalisis pula, namun faktor – faktor struktural yang melekat pada sistem pemerintahan daerah di Indonesia masih langka dikaji dalam berbagai kaijian tersebut[1].
Beberapa faktor-faktor yang menentukan prospek Otonomi Daerah, yaitu :
1. Faktor Pertama adalah faktor manusia sebagai subyek penggerak (faktor dinamis) dalam peenyelenggaraan otonomi daerah. Faktor manusia ini haruslah baik, dalam pengertian moral maupun kapasitasnya. Faktor ini mencakup unsur pemerintah daerah yang terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), aparatur daerah maupun masyarakat daerah yang merupakan lingkungan tempat aktivitas pemerintahan daerah tersebut.
2. Faktor kedua adalah faktor keuangan yang merupakan tulang punggung bagi terselenggaranya aktivitas pemerintahan Daerah. Salah stu cirri daerah otonom adalah terletak pada kemampuan self supportingnya / mandiri dalam bidang keuangan. Karena itu, kemampuan keuangan ini akan sangat memberikan pengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Sumber keuangan daerah yang asli, misalnya pajak dan retribusi daerah, hasilm perusahaan daerah dan dinas daerah, serta hasil daerah lainnya yang sah, haruslah mampu memberikan kontribusinya bagi keuangan daerah.
3. Faktor ketiga adalah faktor peralatan yang merupakan sarana pendukung bagi terselenggaranya aktivitas pemerintahan daerah. Peralatan yang ada haruslah cukup dari segi jumlahnya, memadai dari segi kualitasnya dan praktis dari segi penggunaannya. Syarat-syarat peralatan semacam inilah yang akan sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
4. Faktor keempat adalah faktor organisasi dan manajemen. Tanpa kemampuan organisasi dan manajemen yang memadai penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dilakukan dengan baik, efisien, dan efektif.oleh sebab itu perhatian yang sungguh-sunggguh terhadap masalah ini dituntut dari para penyelenggara pemerintahan daerah.
Sejarah perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia menunjukkan bahwa faktor – faktor tersebut di atas masih jauh dari yang diharapkan. Otonomi Daerah masih dianggap sebagai suatu sistem yang belum sesuai dengan sasaran yang diharapkan. Oleh karena itu, apabila bangsa Indonesia berkeinginan untuk merealisasikan ide dan konsep Otonomi Daerah dengan baik dan benar, maka sungguh-sungguh perlu diberikan perhatian terhadap 4 (empat) faktor yang bersifat esensi sebagaimana diuraikan di atas.
Pada kenyataannya, Otonomi Daerah itu sendiri tidak bisa diserahkan begitu saja kepada Pemerintah Daerah. Disamping diatur dalam peraturan perundang – undangan, Pemerintah Pusat juga harus mengawasi keputusan – keputusan yang diambil oleh Pemerintah Daerah, apakah sudah sesuai dengan Tujuan Nasional. Sehingga pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Republik Indonesia bukan hanya diarahkan pada tata pengelolaan pembangunan kota yang strategis, tetapi meliputi juga aspek lainnya seperti pengembangan kwalitas Sumber Daya Manusia, pembangunan di bidang pendidikan dan sebagainya agar tersusun tatanan pola pembangunan yang merata dan konstruktif.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk melakukan kajian / telaahan mengacu pada hukum ketatanegaraan, dengan diberlakukannya Otonomi Daerah di negara Indonesia. Berdasarkan analisa ilmiah tersebut dapat dipahamai dampak negatif dan positif dari Otonomi Daerah yang diatur dalam Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (1) s/d ayat (7), Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang Sumber Keuangan Negara.
C. Rumusan Masalah
Makalah ini di buat dengan rumusan masalah:
1. Bagaimana Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia ?
2. Bagaimana implikasi yang timbul dengan berlakunya Otonomi Daerah di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Otonomi Daerah
Orde Baru selalu menyatakan tekadnya untuk melaksanakan Undang – Undang Dasar (UUD) 1945 secara murni dan konsekwen. Tentu saja termasuk di dalamnya tekad untuk menyelenggarakan desentralisasi dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Tekad tersebut membawa konsekwensi sentralisasi dan desentralisasi sebagai asas organisasi pemerintahan masing – masing tidak ditempatkan pada kutub yang berlawanan, tetapi ditempatkan dalam suatu rangkaian kesatuan (continuum). Kecuali dalam kurun waktu Negara Republik Indonesia Serikat, konsensus demikian sebenarnya telah lama hidup dalam masyarakat dan di kalangan pemerintahan dalam setiap periode[2].
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau. Dengan keadaan geografi tersebut menyebabkan pemerintah sulit mengkoordinasikan pemerintahan yang ada di daerah – daerah. Sehingga, untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan maka diperlukan adanya suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara efisien dan mandiri tetapi tetap dibawah pengawasan dari pemerintah pusat. Fakta ironi yang selama ini adalah terdapat beberapa daerah yang pembangunannya lebih cepat dan maju daripada daerah lain. Oleh karena itu, pemerintah pusat membuat suatu sistem penatakelolaan pemerintahan di tingkat daerah yang disebut Otonomi Daerah (OTDA) untuk mengelola potensi-potensi daerah dan sekaligus mengembangkanya.
Berbagai definisi tentang desentralisasi dan Otonomi Daerah telah banyak dikemukakan oleh ahli hukum sebagai komparasi dan pembahasan dalam upaya menemukan batasan pengertian tepat. Otonomi dalam arti sempit dapat diartikan sebagai “mandiri”. Sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai “berdaya”. Otonomi Daerah adalah kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya secara mandiri untuk mengurus dan mengelola daerahnya. Sedangkan menurut ketentuan pasal 1 angka (5) Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang – undangan”[3].
Otonomi berasal dari 2 (dua) kata yaitu auto yang berarti sendiri, nomos yang berarti rumah tangga atau urusan pemerintahan. Dengan demikian otonomi berarti mengurus rumah tangga sendiri. Terdapat juga berbagai pengertian yang berdasarkan pada aturan yang ditetapkan oleh Pemerintahan Daerah. Prinsip – prinsip mendasar yang berkaitan dengan Otonomi Daerah yang secara seksama diatur dalam peraturan perundang – undangan, yaitu:
a) Pemerintah Daerah merupakan penyelenggaraan urusan di dalam suatu daerah;
b) Penyelenggaran urusan pemerintah daerah tersebut harus menurut asas otonomi seluas-luasya dalam prinsip dan sistem NKRI sebagaimana yang dimaksudkan di dalam UUD 1945;
c) Pemerintah Daerah itu meliputi Bupati atau Walikota, perangkat daerah seperti Lurah,Camat serta Gubernur sebagai pemimpin pemerintahan daerah tertinggi.
d) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga pemerintahan daerah yang di dalam lembaga tersebut duduk para wakil rakyat yang menjadi penyalur aspirasi rakyat. Selain itu, DPRD juga mempunyai fungsi sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah;
e) Otonomi daerah adalah wewenang, hak dan kewajiban suatu daerah otonom untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan pemerintahan dan mengurus berbagai kepentingan masyarakat yang berada dan menetap di dalam daerah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f) Daerah otonom adalah suatu kesatuan masyarakat yang berada di dalam batas-batas wilayah dan wewenang dari pemerintahan daerah di mana prngaturan nya berdasarkan prakarsa sendiri namum sesuai dengan sistem NKRI;
g) Dalam otonomi daerah dinyatakan secara tegas bahwa Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia sebagaiman dimaksud dalam Undang – Undang Dasar 1945;
Oleh karena Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan, maka fungsi Pemerintah Daerah hanya menyelenggarakan sebagian fungsi Pemerintahan Negara secara keseluruhan. Penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan mendudukan Gubernur baik selaku wakil Pemerintah Pusat di daerah maupun sebagai Kepala Daerah. Di kabupaten, Bupati / Walikota ditempatkan hanya sebagai Kepala Daerah bukan sebagai wakil pemerintah[4].
B. Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia
1. MASA PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA
Pada tahun 1903, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Staatsblaad No. 329 yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Selanjutnya Staatblaad deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan Staatblaad No. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan – ketentuan tersebut dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat setempat (zelfbestuurende landschappen).
Pemerintah kerajaan satu demi satu diikat oleh Pemerintahan Kolonial dengan sejumlah kontrak politik (political contract) baik kontrak panjang maupun kontrak pendek. Dengan demikian, dalam masa Pemerintahan Kolonial Belanda, warga masyarakat dihadapkan dengan 2 (dua) administrasi pemerintahan.
2. MASA PENDUDUKAN JEPANG
Pada masa Perang Dunia Kedua (PD II) Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatera. Jepang berhasil menaklukkan Pemerintahan Kolonial Inggris di Burma dan Malaya, Amerika Serikat di Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia Belanda. Masa pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar 3½ (tiga setengah) tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup significant dan fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas jajahan Hindia Belanda. Pihak Penguasa Militer di Jawa mengeluarkan undang – undang (Osamu Seire) No. 27 / 1942 yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat misleading.
3. MASA KEMERDEKAAN
ad.1. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitikberatkan pada asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan Komite Nasional Daerah (KND) di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Undang – Undang No mor 1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera. Batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 (enam) pasal dan tidak memiliki penjelasan. Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
1) Provinsi
2) Kabupaten/kota besar
3) Desa/kota kecil.
ad.2. Periode Undang – Undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah Undang – Undang Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam undang – undang tersebut dinyatakan bahwa daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkat yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri yakni:
1) Propinsi
2) Kabupaten/kota besar
3) Desa/kota kecil
ad.3. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah swatantra. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya sesuai ketentuan pasal l 31 ayat (1) Undang – Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Wilayah Republik Indonesia dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
1) Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya
2) Daerah swatantra tingkat II
3) Daerah swatantra tingkat III.
ad.4. Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku tanggal 7 November 1959 menitikberatkan pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah, dengan memasukkan elemen – elemen baru. Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa ini, bahwa kepala daerah diangkat oleh Pemerintah Pusat, terutama dari kalangan Pamong Praja. Penyebutan daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dikenal dangan Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, dan Daerah Tingkat III.
ad.5. Periode Undang – Undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut Undang – Undang Nomor 18 Tahun 1965 ini, wilayah negara dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
1) Provinsi (disebut Tingkat I)
2) Kabupaten (disebut Tingkat II)
3) Kecamatan (disebut Tingkat III)
Sebagai alat Pemerintah Pusat, maka Kepala Daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antar Jawatan Pemerintah Pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh Pemerintah Pusat. Kepala Daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
ad.6. Periode Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok – Pokok Pemerintahan Di Daerah
Pada prinsipnya undang – undang ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam undang – undang ini dikenal 2 (dua) tingkatan daerah, yaitu Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Titik berat otonomi daerah terletak pada Daerah Tingkat II karena Daerah Tingkat II berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam undang – undang ini adalah otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Daerah negara dibagi menurut tingkatannya menjadi:
1) Provinsi/ibu kota negara
2) Kabupaten/kotamadya
3) Kecamatan
Daerah, menurut Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah singkatan dari Daerah Otonom, dan berarti: kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu, dan yang berhak (menurut hukum privat), berwenang (menurut hukum publik) serta berkewajiban mengatur (membuat peraturan – peraturan) dan mengurus (administrasi, manajemen, pengelolaan) rumah tangganya sendiri (dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku)[5].
ad.7. Periode Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Pada prinsipnya undang – undang ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan desentralisasi. Undang – Undang Nomor 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat daerah, ternyata undang – undang ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Pokok pikiran dalam penyusunan Undang – Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1) Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
2) Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah kota.
3) Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
4) Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.
ad.8. Periode Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang – Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah disahkan pada tanggal 15 Oktober 2004, yang menegaskan dalam pasal 239 bahwa “Pada saat berlakunya undang – undang ini, maka Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dinyatakan tidak berlaku lagi”[6]. Ketentuan dalam undang – undang baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan Pemerintah Pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah Pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap kabupaten / kota. Di samping itu, hubungan kemitraan yang bersifat sejajar antara Kepala Daerah dan DPRD semakin lebih dipertegas dan diperjelas.
C. Dasar Hukum Dan Landasan Otonomi Daerah
1. Dasar Hukum
Peraturan perundang – undangan yang menjadi landasan bagi pelaksanaan otonomi daerah, antara lain yaitu:
1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat 1 hingga ayat 7.
2) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
3) Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
2. Landasan
2.1. Asas Otonomi
Asas – asas otonomi daerah meliputi:
– Asas tertib penyelenggara negara;
– Asas Kepentingan umum;
– Asas Kepastian Hukum;
– Asas keterbukaan;
– Asas Profesionalitas;
– Asas efisiensi;
– Asas proporsionalitas;
– Asas efektifitas;
– Asas akuntabilitas.
2.2. Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu Pemerintahan Daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir – akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia.
Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dan lain lain) dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.
2.3. Sentralisasi
Sentralisasi dan desentralisasi sebagai bentuk penyelenggaraan negara adalah persoalan pembagian sumber daya dan wewenang. Pembahasan masalah ini sebelum tahun 1980-an terbatas pada titik perimbangan sumber daya dan wewenang yang ada pada pemerintah pusat dan pemerintahan di bawahnya. Dan tujuan “baik” dari perimbangan ini adalah pelayanan negara terhadap masyarakat. Di Indonesia sejak tahun 1998, pandangan politik yang dianggap tepat dalam wacana publik adalah bahwa desentralisasi merupakan jalan yang meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah. Pandangan ini diciptakan oleh pengalaman sejarah selama masa Orde Baru di mana sentralisme membawa banyak akibat merugikan bagi daerah. Namun, situasi ini mengecilkan kesempatan dikembangkannya suatu diskusi yang sehat bagaimana sebaiknya desentralisasi dikembangkan di Indonesia. Semangat penerapan desentralisasi di Indonesia sangat tidak sesuai dengan nilai – nilai ekspektasi yang terdapat dalam Undang – Undang Dasar 1945, oleh karena terdapat kesan bahwa desentralisasi bertujuan untuk “melepaskan diri sebesarnya dari pusat” bukan “membagi tanggung jawab kesejahteraan daerah”.
Sentralisasi dan desentralisasi tidak boleh ditetapkan sebagai suatu proses satu arah dengan tujuan pasti. Artinya, peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan selalu merupakan dua hal yang dibutuhkan. Tak ada rumusan ideal mengenai perimbangan kekuasaan, selain proses politik yang sukar ditentukan. Namun demikian, perlu dipahami bahwa ada bagian urusan pemerintahan yang tidak diserahkan kepada Pemerintah Daerah, adalah:
1. Bidang pertahanan dan keamanan (HANKAM);
2. Bidang peradilan;
3. Bidang luar negeri; dan
4. Bidang moneter dalam arti mencetak uang, menentukan nilai uang dan sebagainya[7].
2.4. Tugas Pembantuan
Hubungan antara Pemerintah dan daerah otonom tercipta bukan hanya konsekwensi dari penyelenggaraan asas desentralisasi saja, tetapi juga konsekwensi dari penyelenggaraan tugas pembantuan[8]. “Tugas pembantuan diadakan berdasarkan berbagai pertimbangan. Pertama, agar suatu urusan dapat terselenggara secara efisien dan efektif. Pusat tidak perlu membentuk aparat sendiri di daerah atau melaksanakan sendiri di pusat. Pelaksanaan sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Kedua, dalam pelaksanaan dimungkinkan penyesuaian –penyesuaian menurut keadaan masing – masing daerah. Tidak diperlukan keseragaman secara nasional. Daerah bebas menentukan cara – cara melaksanakannya. Sebaliknya, suatu urusan yang memerlukan keseragaman dalam penyelenggaraannya tidak dapat dilaksanakan dengan tugas pembantuan. Urusan semacam ini harus dilaksanakan langsung dari Pusat Pemerintahan. Kebebasan melaksanakan ini menunjukkan ada unsur otonomi dalam tugas pembantuan. Karena itu ada yang memasukkan tugas pembantuan merupakan bagian dari otonomi. Walaupun tidak mengenai substansi, tetapi ada kemandirian (kebebasan) mengatur dan mengurus tata cara pelaksanaannya, sehingga tidak ada perbedaan yang mendasar antara rumah tangga otonomi dengan rumah tangga tugas pembantuan”[9].
D. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan Faktor Penting dalam Otonomi Daerah
Keberhasilan otonomi daerah tidak lepas dari kemampuan bidang keuangan yang merupakan salah satu indikator penting dalam menghadapi otonomi daerah. Kedudukan faktor keuangan dalam penyelenggaraan suatu pemerintah sangat penting, karena pemerintahan daerah tidak akan dapat melaksanan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan pembangunan dan keuangan inilah yang mrupakan salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Suatu daerah otonom diharapkan mampu atau mandiri di dalam membiayai kegiatan pemerintah daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat mempunyai proposal yang lebih kecil dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian yang terbesar dalam memobilisasi dana penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila Pendapatan Asli Daerah (PAD) dijadikan tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah demi mewujudkan tingkat kemandirian dalam menghadapi otonomi daerah.
Anggaran sebagai pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran. Anggaran publik merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan belanja dan aktifitasnya. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa anggaran publik merupakan suatu rencana finansial yang menyatakan :
1) Berapa biaya atas rencana yang di buat (pengeluaran/belanja); dan
2) Berapa banyak dan bagaimana cara uang untuk mendanai rencana tersebut (pendapatan).
Sedangkan menurut Undang – Undang Nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Lebih lanjut dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolahan Keuangan Daerah, disebutkan bahwa APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah daerah yang di bahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah (Pemda) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
E. Implikasi atas Pemberlakukan Otonomi Daerah di Negara Indonesia
Implikasi (dampak) otonomi daerah yang luas timbul karena otonomi daerah pada dasarnya memiliki makna strategis yang berkaitan erat dengan tata kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat Indonesia. Secara konseptual, otonomi daerah diharapkan dapat mendorong terciptanya demokratisasi di Indonesia, yang ditandai dengan meningkatnya peran masyarakat dalam proses pembangunan. Peran tersebut diwujudkan dalam bentuk partisipasi, prakarsa dan kreativitas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya masing-masing. Secara faktual, konsepsi otonomi daerah sejak dilaksanakan pada tahun 1999 hingga saat ini telah melahirkan berbagai perubahan, diantara sekian banyak dampak otonomi daerah terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tersebut, ada dampak otonomi daerah yang dinilai positif tetapi tidak sedikit pula dampak otonomi daerah yang dinilai negatif.
a. Implikasi yang Bersifat Positif
Implikasi (dampak) positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah maka Pemerintah Daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali Pemerintah Pusat mendapatkan respon tinggi dari Pemerintah Daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana (anggaran) yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari Pemerintah Pusat. Dana (anggaran) tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata.
Selain itu itu, dampak otonomi daerah yang diharapkan adalah peningkatan efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan publik, meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan terwujudnya kemajuan pembangunan di seluruh daerah secara merata.
b. Implikasi yang Bersifat Negatif
Implikasi (dampak) negatif dari Otonomi Daerah adalah adanya kesempatan bagi oknum – oknum di Pemerintah Daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugika negara dan rakyat seperti kolusi, korupsi dan nepotisme KKN). Selain itu terkadang terdapat kebijakan – kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah yang satu dengan daerah yang lain, atau bahkan daerah dengan negara, seperti contoh pelaksanaan Undang-undang Anti Pornografi ditingkat daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan system otonomi daerah maka Pemerintah Pusat akan lebih susah mengawasi jalannya pemerintahan di daerah. Selain itu, dengan pemberlakuan sistem Otonomi Daerah membuat peranan Pemeritah Pusat di daerah – daerah semakin berkurang.
Penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia telah mengakibatkan terjadinya perubahan yang sangat besar dan signifikan disemua aspek pemerintahan dengan cepat. Hal ini menimbulkan dampak otonomi daerah yang negatif karena tidak diimbangi dengan kesiapan seluruh pihak yang akan berperan dalam penyelenggaraan otonomi daerah tersebut, serta tidak didahului dengan penyiapan infrastruktur yang memadai, baik itu berupa sarana dan prasarana fisik maupun regulasi atau peraturan perundang-undangan yang lebih komprehensif. Perubahan tata kelembagaan di era otonomi daerah sedikit banyak telah menimbulkan ketidakjelasan atau mengaburkan antara lembaga yang memberikan kewenangan dan lembaga yang menerima kewenangan atau yang mewakili. Hal ini menimbulkan ketidakharmonisan antar lembaga-lembaga yang ada dan berpotensi menghambat penyelenggaraan good governance atau tata kelola yang baik.
Dampak otonomi daerah lainnya adalah terkait dengan rendahnya kemampuan daerah dalam menyusun regulasi dalam rangka mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya masing-masing. Orientasi daerah yang menginginkan adanya peningkatan Pendapatan Asli Daerah melalui peraturan daerah untuk menambah anggaran pembangunan di daerah ternyata berpotensi menjadi boomerang yang justru mengurangi tingkat pertumbuhan ekonomi di suatu daerah. Selain itu, penyusunan regulasi yang tidak sesuai dengan teknik legal drafting juga pada akhirnya berpotensi membuat peraturan daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, Menteri Dalam Negeri telah membatalkan sejumlah peraturan daerah yang dinilai tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan deskripsi mengenai fenomena dari Otonomi Daerah dalam sistem pemerintahan di Indonesia sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan beberapa konklusi sebagai berikut:
1. Mengacu pada sistem Otonomi Daerah maka setiap daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun program pembangunan didaerahnya dan mengajukannya kepada Pemerintahan Pusat. Hal ini akan berdampak positif dan bisa memajukan daerah tersebut apabila aparatur daerah yang menyusun program pembangunan tersebut memiliki kemampuan yang baik dalam merencanakan suatu program serta memiliki analisis mengenai hal – hal yang bersifat mendesak bagi pembangunan daerah tersebut.
2. Otonomi daerah telah melahirkan begitu banyak perubahan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dampak otonomi daerah sangat luas, tidak hanya sekedar menciptakan perubahan pada aspek pemerintahan tetapi perubahan pada hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat termasuk sosial, budaya, ekonomi dan politik.
3. Terdapat begitu banyak harapan yang ideal dibalik penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Secara empiris, negara – negara yang sukses dalam menyelenggarakan kebijakan desentralisasi telah membuktikan hal tersebut. Namun, bukti empiris juga menunjukkan bahwa di negara-negara yang gagal, penyelenggaraan kebijakan desentralisasi justru mengganggu sektor pelayanan publik dan menimbulkan ancaman terhadap stabilitas ekonomi dan politik.
4. Penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah di satu sisi telah mendorong terciptanya akuntabilitas anggaran, namun di sisi lain juga membuka peluang yang sangat besar bagi terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme serta memungkinkan terjadinya kontrol yang kuat dari para elit politik di tingkat lokal (daerah).
B. Saran
1. Pemerintah harus merumuskan kerangka hukum organik yang sesuai dengan Undang – Undang Dasar 1945 dalam mengimplementasikan Otonomi Daerah dan sejalan dengan strategi desentralisasi secara bertahap.
2. Pemerintah Daerah hendaknya dapat menyusun sebuah rencana implementasi desentralisasi dengan memperhatikan faktor-faktor yang menjamin kesinambungan pelayanan publik pada masyarakat, perlakuan perimbangan terhadap daerah – daerah, dan menjamin kebijakan fiskal yang berkelanjutan.
3. Dalam rangka menyelenggarakan asas desentralisasi, Pemerintah Pusat hendaknya tidak melepaskan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, sebaliknya memberi ruang dan kebebasan kepada Pemerintah Daerah untuk menjalankan urusan pemerintahan pada sektor-sektor yang jelas merupakan kewenangan Pemerintah Daerah.
4. Upaya – upaya yang harus dijabarkan pelaksanaannya oleh Pemerintah Daerah untuk mengatasi ketimpangan – ketimpangan pembangunan daerah, antara lain:
a. Pemerintah Daerah harus dapat melakukan kebijakan tertentu sehingga SDM yang berada di pusat dapat terdistribusi ke daerah.
b. Pemerintah Daerah harus melakukan pemberdayaan politik warga masyarakat dilakukan melalui pendidikan politik dan keberadaan organisasi swadaya masyarakat, media massa dan lainnya.
c. Pemerintah Daerah harus dapat bertanggung jawab dan jujur.
d. Adanya kerjasama antara aparatur Pemerintah Daerah dan masyarakat.
e. Aparatur Pemerintah Daerah harus memahami prinsip – prinsip Otonomi Daerah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Atmosudirdjo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, Tahun 1984;
Hoessein, Bhenyamin, Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerntah Daerah: Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi, Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Hukum Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, Jakarta, Tahun 2011;
Hoessein, Bhenyamin, Irfan Ridwan Maksum, dkk., Naskah Akademik Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah, Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota FISIP – UI, Jakarta, Tahun 2005;
Kaloh, J., Mencari Bentuk otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal Dan Tantangan Global, Penerbit Rhineka Cipta, Jakarta, Tahun 2007;
Mustafa, Bachsan, Pokok – Pokok Hukum Administrasi Negara, Penerbit Alumni, Bandung, Tahun 1985;
Nursadi, Harsanto, Reading Material, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta, Tahun 2012;
Riwu Kaho, Josef, Prospek Otonomi Daerah di Indonesia, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun 1988;
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, Penerbit CV. Nuansa Aulia, Bandung, Tahun 2005;
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok – Pokok Pemerintahan Di Daerah;
Undang – Undang Nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara;
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolahan Keuangan Daerah;
______________________________________________________________________
Footnote:
[1] Harsanto Nursadi, Reading Material, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Jayabaya, Jakarta, 2012, hlm. 85 – 86.
[2] Bhenyamin Hoessein, Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerntah Daerah: Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi, Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Hukum Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, Jakarta, 2011, hlm.1.
[3] Pasal 1 angka (5) Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, Penerbit CV. Nuansa Aulia, Bandung, 2005, hlm.5.
[4] Bhenyamin Hoessein, Irfan Ridwan Maksum, dkk., Naskah Akademik Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah, Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota FISIP – UI, Jakarta, 2005, hlm. 75.
[5] Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 105.
[6] Pasal 239 Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, Penerbit CV. Nuansa Aulia, Bandung, 2005, hlm.79.
[7] Bachsan Mustafa, Pokok – Pokok Hukum Administrasi Negara, Penerbit Alumni, Bandung, 1985, hlm. 30.
[8] Bhenyamin Hoessein, Opcit., hlm.168.
[9] Bhenyamin Hoessein, Ibid., hlm.169.
Writer and Copy Right: Dr. Appe Hutauruk, SH., MH. Lecturer, Advocate and Legal Consultant