PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Lembaga perkawinan / pernikahan merupakan landasan yuridis yang memberikan bagi seorang laki – laki (pria) dan perempuan (wanita) untuk hidup dan berkumpul bersama dalam suatu rumah tangga / keluarga. Oleh karena itu, sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku di Indonesia maka setiap perkawinan harus dicatat dalam administrasi negara. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam maka pencatatan perkawinan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA), sedangkan bagi mereka beragama Kristen (Katholik dan Protestan), Budha dan Hindu pencatan dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
Terhadap perkawinan / pernikahan yang dilakukan oleh penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sampai saat ini belum ada kebijakan pemerintah yang jelas dan tegas mengenai pencatatan perkawinan tersebut. Hal ini menimbulkan ambivalensi dalam kebijakan pemerintah untuk mewajibkan pencatatan setiap perkawinan dalam administrasi negara. Sebagai suatu fakta dapat dikemukakan bahwa meskipun Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusannya Nomor: 178 K/TUN/1997 tentang Perkawinan Kong Hu Cu, dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dalam putusan perkara Nomor: 024 / G.TUN / 1997 / PTUN.Jkt. menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil tidak berwenang menolak pencatatan perkawinan penganut kepercayaan, akan tetapi faktanya sampai saat ini Kantor Catatan Sipil tidak bersedia tunduk pada putusan tersebut dan tidak menolak pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh penganut aliran kepercayaan.
Pencatatan perkawinan sangat penting dilakukan, oleh karena mempunyai implikasi yuridis dalam berbagai aspek sebagai akibat dari dilakukannya perkawinan / pernikahan tersebut. Akan tetapi, di Indonesia terdapat beberapa faktor terutama yang berhubungan dengan nilai – nilai budaya dan agama atau kepercayaan, yang menjadi kendala pelaksanaan pencatatan perkawinan Oleh karena itu, peranan sosiologi hukum sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan menjadi sangat relevan untuk menganalisa hubungan antara kaidah – kaidah hukum positif yang mengatur tentang yang kewajiban pencatatan perkawinan dengan nilai – nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Adapun fakta yuridis (das sollen) dan fakta riil (das sein) yang menjadi landasan dan yang sekaligus sebagai dasar berpikir (basic of thinking) untuk membahas fenomena sosiologis dari permasalahan pencatatan perkawinan di Indonesia, adalah:
- Fakta Yuridis (das sollen), yang meliputi:
a. Pasal 2 ayat (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi: “Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku”.
b. Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi:
(1) “Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah kantor pencatatan perkawinan itu berada”.
(2) “Kepada suami dan isteri masing – masing diberikan kutipan akta perkawinan”.
c. Pasal 5 – 6 Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, yang berbunyi:
- Ketentuan pasal 5 yang berbunyi:
(1) “Agar terjamin ketertiban bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”.
(2) “Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang – Undang Nomor 32 Tahun 1954”.
- Ketentuan pasal 6 yang berbunyi:
(1) “Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah Pegawai Pencatat Nikah”.
(2) “Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum”.
2. Fakta Riil (das sein), yaitu sulit mengharapkan kesadaran hukum sebagian masyarakat Indonesia agar memiliki kesadaran untuk melaksanakan pencatatan perkawinan yang telah dilakukan.
2. PERMASALAHAN
Mengamati situasi sosio – kemasyarakatan di negara Indonesia yang berlangsung sampai saat ini, dianggap segera perlu dilakukan langkah – langkah untuk mengoptimalkan pelaksanaan pencatatan perkawinan sebagai bentuk upaya penertiban administrasi kependudukan. Esensi dari kebijakan dalam bidang pencatatan perkawinan adalah pelayanan kepada masyarakat (pelayanan publik / public service) untuk memberikan dokumen atau akta resmi yang menerangkan bahwa telah terjadi peristiwa hukum yaitu dilakukannya suatu perkawinan / pernikahan. Melalui catatan atau daftar tersebut dapat diperoleh data akurat dan valid mengenai status kependudukan seseorang, yang dapat dipergunakan untuk berbagai kepentingan, baik untuk kepentingan informasi publik, kepentingan hukum maupun kepentingan yang lain.
Dalam praktek kehidupan bermasyarakat di Indonesia, pencatatan perkawinan masih mendapat kendala serta belum terlaksana secara unifikasi dan menyeluruh di seluruh wilayah negara. Meskipun peraturan perundang – undangan yang mengatur mengenai kewajiban untuk melakukan pencatatan perkawinan sudah dibuat dan berlaku cukup lama, akan tetapi dalam kenyataannya masih belum memberikan hasil secara optimal. Keadaan tersebut disebabkan oleh permasalahan – permasalahan mendasar, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
- Bagaimana pengaruh nilai – nilai adat – istiadat dan agama atau kepercayaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat hukum adat.
- Bagagaimana dampak kurangnya sosialisasi mengenai manfaat pencatatan perkawinan.
3. METODOLOGI PENELITIAN
Penulisan makalah ini merupakan suatu rangkaian dari kegiatan ilmiah untuk mempelajari dan membahas fenomena hukum yang didasarkan pada metode ilmiah. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian, yang dipergunakan sebagai pedoman untuk mengumpulkan data – data serta melakukan kajian atau telaah terhadap fenomena – fenomena yuridis. Sehingga penulisan makalah ini sebagai suatu bentuk karya ilmiah sesuai dengan prosedur penelitian yang berfokuskan masalah (problem – focused research).
Metodologi penelitian sebagai sarana pengumpulan data yang dipergunakan oleh Penulis dalam makalah ini, adalah:
- Penelitian lapangan (field research) melalui metode pengumpulan data primer atau data dasar (primary data / basic data) yaitu mengumpulkan informasi langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama.
- Penelitian kepustakaan (library research) melalui metode pengumpulan data sekunder (secondary data) yaitu mencakup peraturan perundang – undangan, buku – buku, dokumen – dokumen resmi, media cetak dan media online, hasil – hasil penelitian yang berwujud laporan – laporan, yurisprudensi, dan sebagainya.
4. SISTEMATIKA PENULISAN
Agar pembahasan dalam karya ilmiah ini dapat dengan mudah ditelaah dan difahami, maka penulisan makalah ini disusun secara sistematis, sebagai berikut:
– Bab I: Pendahuluan, terdiri dari:
- Latar Belakang Masalah.
- Permasalahan.
- Metodologi Penelitian.
- Sistematika Penulisan
– Bab II: Analisis Masalah
- Adanya pengaruh nilai – nilai adat – istiadat dan agama atau kepercayaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat hukum adat.
- Kurangnya sosialisasi mengenai manfaat pencatatan perkawinan.
– Bab III: Penutup
- Kesimpulan.
- Saran – saran.
BAB II
ANALISIS MASALAH
Hukum merupakan sarana / alat untuk merubah (agent of change) suatu tatanan kehidupan masyarakat. Melalui kaidah – kaidah / norma – norma hukum dilakukan social engineering atau social planning yaitu cara – cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu, sehingga tatanan kehidupan masyarakat menjadi lebih ajeg (teratur). Dengan demikian, keberlakuan suatu norma hukum yang mewajibkan dilakukannya pencatatan perkawinan di Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan pasal 5 – 6 Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia dapat merubah konsepsi berpikir dan perilaku masyarakat Indonesia mengenai manfaat dan tujuan pencatatan perkawinan. Akan tetapi dalam keadaan yang senyatanya (das sein / in concreto) sangat sulit merubah jalinan nilai – nilai yang selama ini sudah terpolarisasi dalam praktek kehidupan masyarakat Indonesia terutama apabila hal tersebut berhubungan dengan faktor adat – istiadat (tradition) / kebudayaan (culture) dan agama atau kepercayaan masyarakat tersebut.
Pada hakekatnya, aturan tata – tertib mengenai perkawinan di lingkungan masyarakat Indonesia sudah ada sejak dahulu kala bahkan sampai saat ini masih dipertahankan sebagai suatu jalinan nilain – nilai secara turun – temurun. Konsepsi tersebut sesuai dengan pendapat Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH. yang menyatakan, ”Aturan tata – tertib perkawinan sudah ada sejak masyarakat sederhana yang dipertahankan anggota – anggota masyarakat dan para pemuka masyarakat adat dan atau para pemuka agama. Aturan tata – tertib itu terus berkembang maju dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan pemerintahan di dalam suatu negara. Di Indonesia aturan tata – tertib perkawinan itu sudah ada sejak zaman kuno, sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, sampai masa kolonial Belanda dan sampai Indonesia telah merdeka. Bahkan aturan perkawinan itu sudah tidak saja menyangkut warga negara Indonesia, tetapi juga menyangkut warga negara asing, karena bertambah luasnya pergaulan bangsa Indonesia”[1]. Bahkan aturan tata – tertib tersebut sering dianggap sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk dapat sahnya suatu perkawinan.
Eksistensi hukum adat di Indonesia juga sangat mempengaruhi kesadaraan masyarakat untuk melaksanakan pencatatan perkawinan. Ditinjau dari aspek sosial budaya, Indonesia terdiri dari masyarakat majemuk (plural society), dimana banyak terdapat golongan etnik, kebudayaan – kebudayaan dan adat – istiadat. Bagi kalangan masyarakat hukum adat tertentu terdapat asumsi bahwa perkawinan tidak perlu dicatat oleh karena perkawinan tersebut sudah sah apabila dilakukan menurut adat istiadat setempat, sebagaimana diintrodusir oleh Prof. H. Hilman Hadikusuma , SH., bahwa “Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada agama yang dianut masyarakat adat bersangkutan. Maksudnya jika telah dilaksanakan menurut tata tertib hukum agamanya, maka perkawinan itu sudah sah menurut hukum adat. Kecuali bagi mereka yang belum menganut agama yang diakui pemerintah, seperti halnya mereka yang masih menganut kepercayaan agama lama (kuno) seperti ‘sipelebegu’ (pemuja roh) di kalangan orang batak (perhatikan J.C. Vergeouwen, 1986:81) atau agama Kaharingan di kalangan orang – orang Daya Kalimantan Tengah (Koentjaraningrat / J. Danandjaja, 1983:137) dan lainnya, maka perkawinan yang dilakukan menurut tata tertib adat / agama mereka itu adalah sah menurut hukum adat setempat”[2]. Dengan anggapan demikian, pada umumnya masyarakat hukum adat di Indonesia merasa perkawinan yang telah dilakukan menurut hukum adatnya adalah telah sah sehingga tidak perlu dilakukan pencatatan menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku. Kenyataan kehidupan masyarakat Indonesia yang demikian mempengaruhi kebijakan politik hukum pemerintah di penataan pencatatan perkawinan.
Secara yuridis, suatu perkawinan menimbulkan implikasi terhadap hubungan hukum (hak dan kewajiban) suami – isteri, anak – anak (keturunan) dan harta kekayaan. Implikasi yuridis dari perkawinan tersebut sangat berhubungan erat dengan pencatatan perkawinan yang dituangkan dalam suatu akta atau surat. Sehingga akta atau surat (surat nikah / akta perkawinan) tersebut tidak hanya sekedar diperuntukkan sebagai tertib adminstrasi tetapi lebih dari itu dapat dipergunakan sebagai sarana / alat pembuktian secara hukum yang menerangkan telah dilangsungkannya suatu perkawinan serta akibat – akibat hukum lainnya yang timbul dari perkawinan tersebut. Akan tetapi, meskipun pencatatan perkawinan sangat bermanfaat namun sebagian masyarakat Indonesia masih mengabaikannya. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
- Bagaimana pengaruh nilai – nilai adat – istiadat dan agama atau kepercayaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat hukum adat.
Adanya suatu sistem nilai (value system) yang masih dipertahankan oleh masyarakat hukum adat di Indonesia didasarkan atas pendekatan pemikiran tradisional bahwa peraturan perundang – undangan / hukum positf (positive law) yang mengatur tentang pencatatan perkawinan hanya bersifat fakultatif. Peraturan perundang – undangan yang yang mengatur tentang pencatatan perkawinan sebagai tertib hukum (rechtsorde) lebih rendah tingkatannya daripada nilai – nilai adat – istiadat dan agama atau kepercayaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat hukum adat, sehingga dapat dikesampingkan. Sehingga dalam kerangka pemikiran masyarakat Indonesia tersebut tahapan pendekatan sosiologis yang memberi pemahaman dan kesadaran kepada masyarakat hukum adat Indonesia bahwa ketentuan mengenai pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan pasal 5 – 6 Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia adalah merupakan aturan yang bersifat imperatif / memaksa (dwangmaatregel).
Tahapan pendekatan yang demikian merupakan gabungan dari aktivita sosiologis yaitu “melakukan penelitian lapangan untuk meneliti apakah undang – undang, dakwah dan penyuluhan itu telah dilaksanakan oleh masyarakat, berapa jumlahnya, persentasenya, dan apa penyebanya”, serta aktivita intelektualis yaitu “pembahasan data dari penelitian secara detail untuk menemukan asas dan melahirkan teori yang memodifikasi materi materi misionaris menjadi lebih efektif”[3]. Sosiologi hukum sebagai social engineering atau social planning yaitu cara – cara untuk mermpengaruhi dan merubah pola pikir masyarakat dengan sistem yang teratur melalui peraturan perundang – undangan menjadi sangat relevan. Hal tersebut disebabkan bahwa di negara Indonesia masih banyak terdapat kelompok – kelompok sosial yang disebut gemeinschaft yaitu “bentuk kehidupan bersama dimana anggauta – anggautanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah dikodratkan; kehidupan tersebut dinamakan juga bersifat nyata dan organis, sebagaimana diumpamakan organ tubuh manusia atau hewan”[4]. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa ‘”di dalam sebuah gemeinschaft terdapat suatu common will, ada suatu pengertian (understanding) serta juga kaedah – kaedah yang timbul dengan sendirinya dari kelompok tersebut”[5].
Sebagai landasan teoritis perlunya dilakukan pembaharuan pola pemikiran masyarakat hukum (adat) Indonesia agar timbul perubahan nilai – nilai kearah kesadaran akan pentingnya pencatatan perkawinan adalah pendapat yang dikemukakan oleh Prof. Dr. H.R. Otje Salman, SH. dan Anthon F. Susanto, SH., M.Hum., yang menyatakan: “Untuk negara yang sedang membangun hukum dapat berperan di depan mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional atau modern. Disini hukum berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat mempunyai pengertian yang lebih luas dari konsepsi “law as a tool of social engineering”. Konsepsi ini membawa konsekuensi, bahwa perubahan yang diinginkan berjalan dengan teratur dan direncanakan. Hukum disini mungkin dapat mempunyai pengaruh langsung maupun tidak langsung di dalam mendorong terjadinya perubahan sosial. Sebagai suatu contoh, pada tahun 1970-an Pemerintah melancarkan suatu operasi pelarangan pemakaian koteka di daerah Irian Jaya. Ini dimaksudkan terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat, dari pola kebiasaan yang dipandang sudah kurang memenuhi rasa moralitas dalam melakukan pergaulan hidup dengan masyarakat pada umumnya. Contoh lain, dengan dikeluarkannya Undang – Undang Pendidikan Nasional (Undang – undang No. 2 tahun 1990), membawa konsekwensi adanya perubahan dalam pola pendidikan di Indonesia. Perubahan dalam pola ini, juga akan berakibat kepada berbagai aspek lain yang tadinya tidak terbiasa dilakukan untuk menyesuaikan dengan peraturan yang baru tersebut”[6].
Otje Salman dan Anthon F. Susanto melanjutkan pendapat teoritisnya yang menyatakan: “Peranan hukum sebagai sarana untuk mengubah masyarakat, mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan – perubahan yang dikehendaki atau perubahan – perubahan yang direncanakan. Di dalam suatu masyarakat yang sudah kompleks dimana peranan birokrasi penting dalam tindakan – tindakan sosial, maka mau tidak mau harus ada dasar hukum untuk sahnya suatu tindakan yang diputuskan”[7].
Jalinan atau sisitem nilai – nilai yang hidup, berkembang dan dipertahankan oleh masyarakat berkaitan dengan kebudayaan, adat – istiadat dan agama atau kepercayaan merupakan suatu sistem sosial sebagai wadah dan proses dari pola – pola interaksi sosial. Kelompok – kelompok masyarakat seperti halnya gemeinschaft merupakan kelompok kekerabatan ikatan nilai – nilai yang sangat kuat. Identitas dari kelompok kekerabatan tersebut antara lain, “adanya sistem kaedah – kaedah yang mencakup hak – hak dan kewajiban – kewajiban yang mengatur interaksi sosial antara warga – warga kelompok tersebut”[8].
Eksistensi hukum adat sebagai salah satu jalinan nilai – nilai (disamping budaya, agama dan kepercayaan) dalam masyarakat hukum adat di Indonesia sangat erat hubungannya dengan permasalahan pencatatan perkawinan di Indonesia. Dengan pengertian, kelompok masyarakat tertentu beranggapan bahwa hukum adat sebagai warisan para leluhur mempunyai strata yang lebih tinggi daripa peraturan perundang – undangan. Kenyataan tersebut menimbulkan konsekwensi pada pola pikir (pemikiran) kelompok masyarakat hukum adat bahwa pencatatan perkawinan tidak perlu dilakukan oleh karena hal tersebut tidak pernah ditentukan sebagai suatu kewajiban dalam hukum adat. Oleh karena itu, dalam konteks ini sesungguhnya lebih lanjut diperlukan “pendekatan sosiologis terhadap hukum adat untuk mengadakan: 1. Identifikasi hukum adat, 2. Identifikasi terhadap faktor – faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas hukum adat, 3. Identifikasi sampai sejauh mana efektivitas hukum adat. Pendekatan sosiologis tersebut terutama akan menghasilkan hukum dalam arti sebagai perikelakuan (behavior) yang mempunyai ciri – ciri tertentu”[9].
Hukum adat (adatrecht) mempunyai sifat kemasyarakatan yang berazaskan keseimbangan dan diliputi oleh suasana keagamaan. Hukum adat merumuskan aturan – aturan berhubungan dengan dasar – dasar dan susunan masyarakt setempat yang azas – azasnya dapat diperlakukan secara umum. Hukum adat di Indonesia umumnya juga mencakup mengenai perkawinan. Akan tetapi, apabila ditelusuri secara luas dan seksama maka tidak ada ketentuan dalam (hukum) adat dan norma – norma agama yang terdapat di Indonesia yang mengharuskan sebagai suatu kewajiban dilaksanakannya pencatatan perkawinan.
Demikian pula tinjauan dari aspek lain, yaitu meskipun secara hukum suatu perkawinan / pernikahan dianggap sah menurut undang – undang apabila telah memenuhi syarat – syarat yang ditentukan dan dicatat Pegawai Pencatat Nikah (PPN), akan tetapi masih banyak perkawinan / pernikahan yang dilangsungkan menurut agama Islam tidak dicatat di Kantor Urusan Agama. Begitu juga perkawinan yang dilakukan menurut agama Budha dan Hindu, masih banyak yang belum dicatat dalam administrasi negara. Sedangkan bagi penganut agama Kristen, masih banyak melangsungkan perkawinan hanya sebatas pemberkatan pernikahan di Gereja dan tidak dicatat di Kantor Catatn Sipil.
Dalam kerangka pemikiran secara dogmatis tersebut, masyarakat cenderung berorientasi pada fakta – fakta masa lalu dan bersifat imitatif. Nilai – nilai sejarah keagamaan tersebut dijadikan sebagai pedoman atau tata cara dalam melakukan pernikahan. Dalam dimensi berpikir yang demikian, di kalangan masyarakat Islam misalnya masih terdapat cara pandang antagonistik terhadap peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang pencatatan perkawinan, yaitu pandangan yang dihubungkan dengan aturan hukum yang bersumber dari Al – quran dan Sunnah, yang tidak mewajibkan adanya pencatatan perkawinan. Begitu juga kalangan masyarakat Kristiani tertentu yang hanya memahami sebagai suatu nilai hakiki bahwa perkawinan sudah cukup dianggap sah apabila telah dilakukan pemberkatan pernikahan oleh Pendeta.
- Bagaimana dampak kurangnya sosialisasi mengenai manfaat pencatatan perkawinan.
Kiranya dapat dikemukakan bahwa yang menjadi landasan teoritis dari asumsi – hipotetis “kurangnya sosialisasi mengenai manfaat pencatatan perkawinan” adalah pendapat Rocoe Pound yang menyatakan,”proses hukum pada hakekatnya adalah suatu proses rekayasa sosial (social engeneering). Hukum itu pada hakikatnya adalah sarana yang dapat digunakan untuk mengontrol dan merekayasa masyarakat. Hukum diselenggarakan dengan tujuan untuk mengoptimalkan pemuasan kebutuhan dan kepentingan (interest)”[10]. Dalam rangka sosialisasi tersebut maka rekayasa sosial yang tertuju pada diskresi menjadi sangat signifikan untuk memberi pemahaman kepada masyarakat tentang manfaat pencatatan perkawinan.
Diskresi untuk meningkatkan dan memantapkan sosialisasi mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan sebagaimana ditentukan dalam pasal 2 ayat (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan pasal 5 – 6 Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia adalah sangat penting. Sosialisasi tersebut harus dapat memberikan gambaran dan pemaparan yang bersifat komprehensif agar masyarakat memahami akibat hukum dan manfaat dari pencatatan perkawinan, sehingga ada persesuaian dengan nilai – nilai yang dianut oleh warga masyarakat. Melalui sarana sosialisasi tumbuh kesadaran hukum masyarakat untuk melaksanakan pencatan perkawinan. Dengan perkataan lain, sosialisasi merupakan sarana atau corong penyampaian diskresi sebagai suatu kaedah hukum. Hal ini sesuai dengan pemahaman masyarakat yaitu kaedah hukum sebagai diskresi pemerintah, sesuai pendapat Soejono Soekanto, Purnadi Purbacaraka yang mengatakan bahwa, “ Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi yang menyangkut pengambilan keputusan yang didasarkan pada hukum, akan tetapi yang juga didasarkan pada penilaian pribadi”[11].
Pada esensinya proses penegakkan hukum dan peraturan perundang – undangan adalah berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama (peaceful living together) di dalam masyarakat tersebut. Dengan perkataan lain, masyarakat dapat mempengaruhi proses penegakkan hukum (law enforcement). Sosialisasi merupakan bentuk diskresi pemerintah yang bersifat lunak (persuasian) agar masyarakat patu / taat pada hukum, dalam konteks ini melaksanakan pencatatan perkawinan. Agar diperoleh kesadaran hukum masyarakat, maka sosialisasi mengenai pencatatan perkawinan perlu dilakukan secara berulang – ulang dan secara terus – menerus. Hal ini sesuai dengan pendapat Soerjono Soekanto yang menyatakan: “Kadang – kadang dapat diterapkan cara mengadakan penerangan dan penyuluhan yang dilakukan berulang kali, sehingga menimbulkan suatu penghargaan tertentu terhadap hukum (cara ini lazim dikenal dengan sebutan pervasion)”[12].
Sosialisasi pentingnya pencatatan perkawinan di Indonesia masih belum dilakukan secara optimal, terus – menerus dan berkelanjutan, bahkan dapat dikatakan bahwa pemerintah belum sungguh – sungguh melakukan sosialisasi dengan metode yang tepat dan benar kepada masyarakat mengenai pencatatan perkawinan. Padahal sosialisasi sangat berperan dalam peningkatan kesadaran masyarakat agar taat atau patuh pada hukum dan peraturan perundang – undangan. Melalui sosialisasi peraturan perundang – undangan terjadi pembaharuan atau perubahan dalam pola – pola interaksi dan paradigma berpikir masyarakat berkaitan dengan pencatatan perkawinan. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa pembaharuan atau perubahan dalam budaya masyarakat dapat terjadi bukan hanya disebabkan oleh faktor paksaan (coercion), akan tetapi juga disebabkan faktor terbukanya alam pikiran masyarakat untuk menerima norma – norma sebagai jalinan nilai – nilai yang baru.
B.H. Raven mengatakan, “pengaruh merupakan proses perubahan pada seseorang dalam pemahamannya, sikap atau perikelakuannya, yang bersumber pada orang lain atau kelompok”[13]. Dengan demikian, sosialisai peraturan perundang – undangan mengenai pencatatan perkawinan adalah cara untuk mempengaruhi pemahaman, sikap atau perikelakuan seseorang agar berubah kearah kesadaran pentingnya pencatatan perkawinan.
Banyak masyarakat Indonesia penganut agama dan aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa masih memiliki pemahaman yang sederhan tentang sahnya suatu perkawinan / pernikahan. Bagi mereka perkawinan cukup dilakukan menurut agama dan kepercayaan sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang menyatakan, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Menurut pemahaman masyarakat tersebut, hal itu berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat agama dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (menurut agama Islam), pemberkatan pernikahan (menurut agama Kristen), atau ritual keagamaan lainnya (menurut agama Budha dan Hindu) maka perkawinan tersebut telah sah. Akibatnya banyak perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatn Sipil.
Pemberdayaan sosialisasi sebagai sarana untuk merubah karakteristik pola pikir masyarakat Indonesia sangat penting dan relevan dilakukan saat ini agar masyarakat mengetahui akibat hukum dari tidak dicatatnya perkawinan dalam administrasi negara dan akibat hukum dengan dilaksanakannya pencatatan perkawinan. Secara yuridis, akibat hukum tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, yaitu:
- Perkawinan dianggap tidak sah.
Msekipun perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan anda dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.
- Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarganya.
Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.
- Anak dan ibu tidak berhak atas nafkah dan warisan.
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya[14].
Selanjutnya dalam kegiatan sosialisasi tersebut perlu juga disampaikan kepada masyarakat mengenai akibat hukum atau manfaat dari pencatatan perkawinan / pernikahan. Secara umum, Ahmad Nuryani menguraikan manfaat dari pencatatan pernikahan, sebagai berikut:
- Mendapat perlindungan hukum
Bayangkan, misalnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jika sang istri mengadu kepada pihak yang berwajib, pengaduannya sebagai istri yang mendapat tindakan kekerasan tidak akan dibenarkan. Alasannya, karena sang isteri tidak mampu menunjukkan bukti-bukti otentik akta pernikahan yang resmi.
- Memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan
Akta nikah akan membantu suami isteri untuk melakukan kebutuhan lain yang berkaitan dengan hukum. Misalnya hendak menunaikan ibadah haji, menikahkan anak perempuannya yang sulung, pengurusan asuransi kesehatan, dan lain sebagainya.
- Legalitas formal pernikahan di hadapan hukum
Pernikahan yang dianggap legal secara hukum adalah pernikahan yang dicatat oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau yang ditunjuk olehnya. Karenanya, walaupun secara agama sebuah pernikahan yang tanpa dicatatkan oleh PPN, pada dasarnya illegal menurut hukum.
- Terjamin keamanannya
Sebuah pernikahan yang dicatatkan secara resmi akan terjamin keamanannya dari kemungkinan terjadinya pemalsuan dan kecurangan lainnya. Misalnya, seorang suami atau istri hendak memalsukan nama mereka yang terdapat dalam Akta Nikah untuk keperluan yang menyimpang. Maka, keaslian Akta Nikah itu dapat dibandingkan dengan salinan Akta Nikah tersebut yang terdapat di KUA tempat yang bersangkutan menikah dahulu[15].
Dengan mengetahui adanya dampak yuridis atau akibat – akibat hukum dan manfaat dari pencatatan perkawinan atau apabila tidak dilaksanakannya pencataan perkawinan / pernikahan maka diharapkan masyarakat mempunyai kesadaran untuk melakukan pencatatan perkawinan dalam administrasi negara di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil. Melalui kesadaran hukum tersebut akan timbul jalinan nilai – nilai baru ke arah perubahan paradigma berprilaku atau bersikap tindak dalam lapangan hukum perkawinan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa terdapat korelasi yang bersifat kausalitas antara kebijakan pemerintah untuk melakukan sosialisasi mengenai pencatatan perkawinan melalui metode yang tepat dan benar dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk melakukan pencatatan setiap perkawinan yang dilakukan.
BAB III
PENUTUP
- KESIMPULAN
– Pada umumnya masyarakat hukum adat di Indonesia beranggapan bahwa perkawinan yang telah dilakukan menurut hukum adatnya adalah telah sah sehingga tidak perlu dilakukan pencatatan menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku. Kenyataan kehidupan masyarakat Indonesia yang demikian mempengaruhi kebijakan politik hukum pemerintah di penataan pencatatan perkawinan.
– Maksud dari diadakannya pencatatan perkawinan dalam suatu akta atau surat adalah sebagai tertib adminstrasi negara dan dapat dipergunakan sebagai sarana / alat pembuktian secara hukum yang menerangkan telah dilangsungkannya suatu perkawinan serta akibat – akibat hukum lainnya yang timbul dari perkawinan tersebut.
– Pencatatan Perkawinan dilaksanakan dengan tujuan agar terdapat kepastian hukum terhadap suatu perkawinan.
– Meskipun pencataan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundang – undangan yang bersifat imperatif yaitu pasal 2 ayat (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan pasal 5 – 6 Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, namun sebagian masyarakat Indonesia masih mengabaikannya.
– Kebijakan hukum pemerintah dalam pelaksanaan pencatatan perkawinan, sangat dipengaruhi oleh faktor – faktor; 1) nilai – nilai adat – istiadat dan agama atau kepercayaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat hukum ada, dan 2) sosialisasi mengenai manfaat pencatatan perkawinan.
– Secara sosiologis, dewasa ini perlunya dilakukan pembaharuan pola pemikiran masyarakat hukum (adat) Indonesia agar timbul perubahan nilai – nilai kearah kesadaran akan pentingnya pencatatan perkawinan, sebab secara empiris tidak ada ketentuan dalam (hukum) adat dan norma – norma agama yang terdapat di Indonesia yang mengharuskan sebagai suatu kewajiban dilaksanakannya pencatatan perkawinan.
– Banyak kelompok masyarakat di Indonesia beranggapan bahwa hukum adat sebagai warisan para leluhur mempunyai strata yang lebih tinggi daripa peraturan perundang – undangan. Kenyataan tersebut menimbulkan konsekwensi pada pola berpikir kelompok masyarakat tersebut bahwa pencatatan perkawinan tidak perlu dilakukan oleh karena hal tersebut tidak pernah ditentukan sebagai suatu kewajiban dalam hukum adat.
– Secara faktual, masih banyak perkawinan / pernikahan yang dilangsungkan menurut agama Islam tidak dicatat di Kantor Urusan Agama. Demikian juga perkawinan yang dilakukan menurut agama Budha dan Hindu, masih banyak yang belum dicatat dalam administrasi negara. Sedangkan bagi penganut agama Kristen, masih banyak melangsungkan perkawinan hanya sebatas pemberkatan pernikahan di Gereja dan tidak dicatat di Kantor Catatn Sipil.
– Sosialisasi mengenai pencatatan perkawinan sebagai suatu kebijakan / diskresi pemerintah harus dapat memberikan gambaran dan pemaparan yang bersifat komprehensif agar masyarakat memahami akibat hukum dan manfaat dari pencatatan perkawinan, sehingga ada persesuaian dengan nilai – nilai yang dianut oleh warga masyarakat.
– Kebijakan sosialisasi sebagai sarana untuk merubah karakteristik pola pikir masyarakat Indonesia sangat penting dan relevan dilakukan saat ini agar masyarakat mengetahui akibat hukum dari tidak dicatatnya perkawinan dalam administrasi negara dan akibat hukum dengan dilaksanakannya pencatatan perkawinan.
- SARAN
– Urgensi pencatatan perkawinan adalah sangat penting dilaksanakan demi kepastian dan ketertiban dalam hukum, oleh karena pemerintah harus secara sungguh – sungguh melakukan sosialisasi terhadap masyarakat terutama kelompok – kelom[pok masyarakat hukum adat mengenai tujuan dan manfaat pencatatn perkawinan.
– Pemerintah harus melakukan pendekatan sosiologis berdasarkan metode aktiva intelektualis agar dapat merubah sistem dan jalinan nilai – nilai masyarakat yang dipengaruhi unsur – unsur adat, budaya dan agama atau aliran kepercayaan agar timbul kesadaran hukum masyarakat terhadap pentingnya pencatatan perkawinan.
– Agar tercapai program tertib administrasi dalam bidang pencatatan perkawinan di negara Indonesia dan dalam rangka mewujudkan adanya persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan, maka sudah sepatutnya pemerintah mengakui dan melakukan pencatatan dalam administrasi negara di Kantor Catatan Sipil terhadap perkawinan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat penganut aliran kepercayaan.
______________________________________
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Fuady, Munir. Teori – Teori Dalam Sosiologi Hukum. Jakarta (Penerbit: Kencana Prenada Media Group) 2011;
Hadikusuma, H. Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung (Penerbit: Mandar Maju) 2007;
Nuryani, Ahmad. Dasar Hukum Pencatatan Pernikahan di Indonesia. Jakarta (Media Online) 2012;
P., Trubus Rahardiansah, Endar Pulungan. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta (Penerbit: Universitas Trisakti) 2005;
Salman, Anthon F. Susanto. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Bandung (Penerbit: PT. Alumni) 2012;
Soekanto, Soerjono. Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum. Bandung (Penerbit: PT. Alumni) 1979;
——-–. Mengenal Sosiologi Hukum. Bandung (Penerbit: Alumni) 1982;
——–. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta (Penerbit: PT. RajaGrafindo Persada) 2008;
——–. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta (Penerbit: CV. Rajawali) 1982;
Soekanto, Soerjono, Mustafa Abdullah. Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat. Jakarta (Penerbit: CV. Rajawali) 1982;
Soekanto, Soerjono Soekanto. Pokok – Pokok Hukum Adat. Bandung (Penerbit: PT. Alumni) 1981;
YLBH APIK Jakarta. Pentingnya Pencatatan Perkawinan. Jakarta (Media Online) 2012;
Zamzami, Mukhtar. Materi Kuliah Sosiologi Hukum, Memahami Sosiollogi Hukum. Jakarta (Universitas Jaya Baya) 2012;
_____________________________
[1]H. Hilman Hadikusuma.Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama.Jakarta (Penerbit: Mandar Maju,2007).halaman 1.
[2] H. Hilman Hadikusuma.ibid. halaman 26.
[3] Mukhtar Zamzami. Materi Kuliah, Memahami Sosiologi Hukum. Jakarta (Universitas Jayabaya, 2012).
[4] Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta (Penerbit: CV. Rajawali, 1982) halaman 128 – 129.
[5] Soerjono Soekanto. Ibid. Halaman 130.
[6] Otje Salman, Anthon F. Susanto. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Bandung (Penerbit: PT. Alumni Bandung, 2012) halaman 88.
[7] Salman, SH., Anthon F. Susanto. Ibid. Halaman 88.
[8] Soekanto, Soerjono Soekanto. Pokok – Pokok Hukum Adat. Bandung (Penerbit: Alumni, 1981) halaman 146.
[9] Soekanto, Soerjono Soekanto. Ibid. Halaman 173.
[10] Trubus Rahardiansah P., Endar Pulungan. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta.(Penerbit: Universitas Trisakti, 1987) halaman 227.
[11] Soerjono Soekanto. Mengenal Sosiologi Hukum. Bandung (Penerbit: Alumni, 1982) Halaman 34
[12] Soerjono Soekanto. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum. Jakarta (Penerbit: Raja Grafindo Persada, 2008) halaman 49.
[13] Soerjono Soekanto. Beberapa Catatan Tentang Psikhologi Hukum. Bandung (Penerbit: Alumni, 1979) halaman 37.
[14] YLBH APIK Jakarta. Pentingnya Pencatatan Perkawinan. Media Online
[15] Ahmad Nuryani. Dasar Hukum Pencatatan Pernikahan di Indonesia. Media Online.
Writer and Copy Right: Dr. Appe Hutauruk, SH., MH. Lecturer, Advocate and Legal Consultant