KAJIAN BEBERAPA TEORI HUKUM PIDANA
DALAM PENJATUHAN SANKSI PIDANA (PEMIDANAAN)
Konsep TEORI RELATIF menentukan bahwa “pemidanaan” tidak dimaksudkan untuk melaksanakan “tuntutan absolut dan keadilan”. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, J. ANDENAES berpendapat bahwa “teori relatif dapat disebut sebagai Teori Perlindungan Masyarakat (The theory of social defence)”. Sedangkan NIGEL WALKER, menyatakan bahwa teori relatif lebih tepat disebut teori atau aliran reduktif (the reductive point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini ialah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Para penganut teori atau aliran reduktif (the reductive point of view) disebut sebagai golongan REDUCERS (Penganut Teori Reduktif). Teori relatif sering juga disebut TEORI TUJUAN (UTILITARIAN THEORY) yang menyatakan bahwa “Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan – tujuan tertentu yang bermanfaat”. Dasar pembenaran atas penerapan/ pemberian atau penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan/tindak pidana (criminal offender) menurut teori relatif adalah terletak pada tujuannya, yaitu pidana dijatuhkan bukan QUIA PECCANTUM EST (Karena orang membuat kejahatan) melainkan NE PECCETUR (Supaya orang jangan melakukan kejahatan).
Pendapat hukum (doctrine) terkenal SENECA seorang filsuf Romawi, menyatakan: “Nemo prudens punit quia peccatum est, sed ne peccatur (No reasonable man punishes because there has been a wrong doing, but in order that should be no wrong – doing = Tidak seorang normalpun dipidana karena telah melakukan perbuatan jahat, tetapi ia dipidana agar tidak ada perbuatan jahat)”.
Perbedaan ciri – ciri pokok atau karakteristik antara teori RETRIBUTIVE dan teori UTILITARIAN dikemukakan oleh KARL O. CHRISTIANSEN sebagai berikut:
- Karkateristik RETRIBUTION THEORY adalah:
- Tujuan pidana adalah semata – mata untuk pembalasan;
- Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung sarana – sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;
- Kesalahan merupakan satu – satunya syarat untuk adanya pidana;
- Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;
- Pidana melihat ke belakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar;
- Karakteristik UTILITARIAN THEORY adalah:
- Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);
- Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;
- Hanya pelanggaran -0pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
- Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;
- Pidana melihat kemuka (bersifat prosfektif); pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat;
Berkaitan dengan tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan, biasanya dibedakan antara istilah prevensi spesial dan prevensi general atau sering juga digunakan istilah “special deterrence” dan “general deterrence”. Pengertian prevensi spesial dimaksudkan sebagai parameter untuk mengukur sejauhmana pengaruh pidana terhadap terpidana. Jadi pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Dalam hal demikian, pidana bertujuan agar perilaku orang yang ditetapkan sebagaiTerpidana/Narapidana berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat. Teori tujuan pidana serupa ini dikenal dengan sebutan REFORMATION atau REHABILITATION THEORY. Sedangkan pengertian prevensi general dimaksudkan untuk mengukur sejauh mana pengaruh pidana terhadap masyarakat pada umumnya. Pokok pengertiannya adalah “pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan pidana”.
Menurut JOHANNES ANDENAES ada tiga bentuk pengaruh dalam pengertian general prevention, yaitu:
- Pengaruh pencegahan;
- Pengaruh untuk mendorong kebiasaan perbuatan patuh pada hukum;
Pengertian general prevention menurut Johannes Andenaes tidak hanya tercakup adanya pengaruh pencegahan (deterrent effect) tetapi juga termasuk didalamnya pengaruh moral atau pengarug yang bersifat pendidikan sosial dari pidana (the moral or social pedagogical influence of punishment).
Teori yang menekankan pada tujuan untuk mempengaruhi atau mencegah agar orang lain tidak melakukan kejahatan dikenal dengan sebutan TEORI DETERRENCE. Pengertian pencegahan (deterrence) yang sempit, maka menurut Johannes Andenaes pengertian general prevention tidak sama dengan pengertian general deterrence.
Berkaitan dengan apa yang dikemukakan Johannes Andenaes, maka VAN VEEN berpendapat bahwa prevensi general mempunyai tiga fungsi, yaitu:
- Menegakkan kewibawaan (gezagshandhaving);
- Menegakkan norma (normhandhaving);
- Membentuk norma (normvorming);
Selain prevensi spesial dan prevensi general, VAN BEMMELEN memasukkan juga dalam golongan teori relatif apa yang disebutnya “daya untuk mengamankan (de beveiligende werking)”. Dalam hal ini dijelaskan bahwa merupakan kenyataan, khususnya pidana pencabutan kemerdekaan, lebih mengamankan masyarakat terhadap kejahatan selama penjahat tersebut berada di dalam penjara daripada kalau dia tidak dalam penjara.
Disamping pembagian secara tradisional teori – teori pemidanaan seperti teori absolut dan teori relatif, ada teori ketiga yang disebut teori gabungan (vetenigings theorieen). Penulis yang pertama mengemukakan teori gabungan ini adalah PELLEGRINO ROSSI (1787 – 1848). Sekalipun ia menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun dia berpendirian bahwa pidana mempunyai pelbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general.
Para pakar Hukum Pidana lain yang berpendapat bahwa “pidana mengandung pelbagai kombinasi tujuan” adalah BINDING, MERKEL, KOHLER, RICHARD SCHMID dan BELING. Dalam berbagai literasi, para Ahli Hukum Pidana tersebut mengintrodusir doctrine yang memperhitungkan pembalasan, prevensi general serta perbaikan sebagai tujuan pidana.
Ahli hukum pidana terkemuka lainnya, RICHARD D. SCHWARTZ dan JEROME H. SKOLNICK menyatakan bahwa sanksi pidana dimaksudkan untuk:
- Mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (to prevent recidivism);
- Mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan si terpidana (to deter other from the performance of similar acts);
- Menyediakan saluran untuk mewujudkan motif – motif balas dendam (to provide a channel for the expression of retaliatory motives);
JOHN KAPLAN yang secara argumentatif yuridis telah mengemukakan adanya 4 (empat) teori mengenai dasar – dasar pembenaran pidana (yaitu teori retribution, deterrence, incapacitation, dan rehabilitation), mengemukakan juga komparasi yuridis atas pendapatnyatersebut dengan mengemukakan pemahaman mengenai dasar – dasar pembenaran atas tindakan pemidanaan, yaitu:
- Untuk menghindari balas dendam (avoidance of blood feuds);
- Adanya pengaruh yang bersifat mendidik (the educational effect);
- Mempunyai fungsi memelihara perdamaian (the peace – keeping function);
EMILE DURKHEIM menyatakan bahwa fungsi pidana adalah untuk menciptakan kemungkinan bagi pelepasan emosi – emosi yang ditimbulkan atau diguncangkan adanya oleh kejahtan (the function of punishment is to create a possibility for the realse of emotions that are arosed by the crime).
FOUCONNET menyatakan bahwa penghukuman dalam arti pemidanaan, dan pelaksanaan pidana pada hakekatnya merupakan penegasan kembali nilai – nilai kemasyarakatan yang telah dilanggar dan dirubah oleh adanya kejahatan itu (… the conviction and the execution of the sentences is essentially a ceremonial reaffirmation of the societal values that are violated and challenged by the crime).
Hakekat pemidanaan yang dinyatakan oleh ROGER HOOD sebagai sarana preventif yaitu sasaran pidana disamping untuk mencegah si terpidana atau pembuat potensiil melakukan tindak pidana, juga dimaksudkan untuk:
- Memperkuat kembali nilai – nilai sosial (reinforcing social values);
- Menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan (allaying public fear of crime);
Doctrine yang dikemukakan oleh Ahli Hukum G. PETER HOEFSNAGELS menjelaskan secara eksplisit bahwa tujuan pemidanaan (penerapan sanksi pidana) adalah untuk:
- Penyelesaian konflik (conflict resolution);
- Mempengaruhi para pelanggar dan orang – orang lain ke arah perbuatan yang kurang lebih sesuai dengan hukum (influencing offenders and possibly other than offenders toward more or less law – conforming behavior);
R. RIJKSEN mengadakan pembedaan antara dasar hukum dari pidana dan tujuan pidana. Dasar hukum dari pidana terletak pada pembalasan terhadap kesalahan yakni dalam pembalasan itu terletak pembenaran daripada wewenang pemerintah untuk untuk memidana (strafbevoegdheid van de overheid). Apakah penguasa juga akan menggunakan wewenang itu tergantung dari tujuan yang dikehendaki. Tujuan – tujuan tersebut menurut R. Rijksen serta beberapa Ahli Hukum lain seperti VAN VEEN, HULSMAN dan HOEFNAGELS adalah “penegakkan wibawa, penegakkan norma, menakut – nakuti, mendamaikan, mempengaruhi tingkah laku dan menyelesaikan konflik”.
ROESLAN SALEH dalam bukunya yang berjudul “Suatu Reorientasi Dalam Hukum Pidana”, mengintrodusir pengertian bahwa pada hakekatnya ada 2 (dua) poros yang menentukan garis – garis hukum pidana, yaitu:
- Segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan;
- Segi pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dari dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum;
Dengan demikian, pidana adalah selalu memberikan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas pefrbuatan yang tidak hukum. Disamping itu Roeslan Saleh mengatakan bahwa pidana mengandung hal – hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat;
Prof. Dr. Jacob Elfinus Sahetapy, SH., MA. (seorang Pakar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia) menegaskan, “Tidak dapat disangkal bahwa dalam pengertian pidana tersimpul unsur penderitaan. Tetapi penderitaan dalam tujuan membebaskan bukanlah semata – mata untuk penderitaan agar si pelaku menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu pembalasan dendam melainkan derita itu harus dilihat sebagai obat atau sebagai kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberi kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan”. Pendapat hukum yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Jacob Elfinus Sahetapy, SH., MA. tersebut, bersesuaian dengan pendapat hukum dari Prof. TER HEIDE dalam karya tulisnya yang berjudul VRIJHEID,OVER DE ZIN VAN DE STRAF yang mempresentasikan dogma yuridis bahwa “ ‘Tidak seorangpun berbuat jahat dengan sadar’ adalah paham determinisme yang dikemukakan PLATO dan bukan pesimisme: manusi dapat belajar, dapat mengembangkan diri. Kalau penderitaan dan pidana dapat mendorong perkembangan ini, maka perkembangan tersebut adalah jalan menuju kebebasan, maka makna dari pidana adalah kebebasan manusia (de zin van de straf: de vrijheid van de mens)“.
Dalam konteks pemidanaan terhadap para pelaku kejahatan/tindak pidana (criminal offender) selanjutnya Prof. Dr. Jacob Elfinus Sahetapy, SH., MA. dalam desertasinya yang berjudul “Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana” menegaskan bahwa “pemidanaan bertujuan pembalasan. Pidana harus dapat membebaskan si pelaku dari cara atau jalan yang keliru yang telah ditempuhnya. Makna membebaskan tidak identik dengan pengertian rehabilitasi atau reformasi. Makna membebaskan menghendaki agar si pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pikiran yang jahat, yang keliru, melainkan ia harus pula dibebaskan dari kenyataan sosial dimana ia terbelenggu”.
BISMAR SIREGAR (lahir di Sipirok – Sumatera Utara tanggal 15 September 928 dan meninggal di Jakarta tanggal 19 April 2012, seorang mantan Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia periode 1984 s/d 2000) dalam makalah ilmiahnya yang berjudul “Tentang Pemberian Pidana”, yang dipaparkan pada Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional di Semarang tahun 1980, menyatakan antara lain: “…… yang pertama – tama patut diperhatikan dalam pemberian pidana, bagaimana caranya agar hukuman badaniah mencapai sasaran, mengembalikan keseimbangan yang telah terganggu akibat perbuatan si tertuduh, karena tujuan penghukuman tiada lain mewujudkan kedamaian dalam kehidupan manusia”.
Tujuan pidana sebagai fokus utama dalam criminal justice system process adalah sangat penting (urgent) dan bersifat prinsip berkaitan dengan pemberian atau penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan/tindak pidana (criminal offender), maka didalam Konsep Rancangan Buku I KUHP Nasional yang disusun oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) pada tahun 1972 dirumuskan ketentuan dalam Pasal 2 sebagai berikut:
(1) Maksud tujuan pemidanaan ialah:
- untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk;
- untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna;
- untuk menghilangkan noda – noda yang diakibatkan oleh tindakan pidana;
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Rumusan tujuan penjatuhan/pemberian pidana yang termaktub dalam Konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1982/tahun 1983, adalah sebagai berikut:
(1) Pemidanaan bertujuan untuk:
- ke – 1 mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
- ke – 2 mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikan orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat;
- ke –3 menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan kesimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
- ke – 4 membebaskan rasa bersalah pada terpidana;
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Writer and Copy Right: Dr. (Cand.) Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH. Lecturer, Advocate and Legal Consultant Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002