TEORI PERUNDANG – UNDANGAN DAN YURISPRUDENSI DALAM PRAKTEK PENEGAKKAN HUKUM

Library, books on table and background for studying, learning and research in education, school or college. Reading, philosophy and open, vintage or history print book, university blurred background

TEORI PERUNDANG – UNDANGAN DAN YURISPRUDENSI
DALAM PRAKTEK PENEGAKKAN HUKUM

Pada prinsipnya, undang – undang dalam arti materil  dapat dibagi 2 (dua), yaitu:

  1. Peraturan Pusat (Algemene Verordening), ialah peraturan tertulis yang dibuat oleh Pemerintah Pusat, yang berlaku umum diseluruh atau sebagian wilayah negara, misalnya; Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang – Undang Kepolisian, Undang – Undang Ketenagakerjaan, Undang – Undang Partai Politik, Undang – Undang Imigrasi dan sebagainya;
  2. Peraturan Setempat (Locale Verordening), ialah peraturan tertulis yang dibuat oleh penguasa atau Pemerintah Daerah (setempat) dan hanya berlaku di daerah atau tempat itu saja, misalnya Peraturan Daerah (PERDA), Keputusan Gubernur Kepala Daerah, Peraturan Gubernur (PERGUB) dan sebagainya.

Dalam praktek penyelenggaraan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik, termasuk penyelenggaraan penegakkan hukum dalam level semua kelembagaan negara (Legeslatif, Eksekutif dan Yudikatif), maka dikenal adanya asas – asas  perundang – undangan, sebagai berikut:

  1. Undang – Undang tidak berlaku surut;
  2. Undang – undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;
  3. Undang – Undang yang bersifat khusus mengenyampingkan undang – undang yang bersifat khusus (Lex specialis derogat lex generalis);
  4. Undang – undang yang berlaku belakangan membatalkan undang – undang yang berlaku terdahulu (Lex posteriore derogat lex priori);
  5. Undang – undang tidak dapat diganggu – gugat;
  6. Undang – undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan materil dan spiritual bagi masyarakat maupun individu melalui pembaharuan atau pelestarian (azas Welvaarstaat).

Azas   “undang – undang tidak berlaku surut “  terdapat dalam:

  • Pasal 3 Agemene Bepalingen van Wetgeving (AB) yang berbunyi: ”De Wet verbindt alleen voor het toekomende en heeft geen terugwerkende kracht  (undang – undang hanya mengikat untuk masa mendatang dan tidak mempunyai kekuatan yang berlaku surut)”;
  • Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:  ”Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling  (Tiada peristiwa/perbuatan dapat dipidana, kecuali atas dasar kekuatan suatu aturan perundang – undangan pidana  berupa hukum pidana tertulis  yang mendahulukan /telah dibuat terdahulu atau telah dibuat sebelumnya)”.

Maksud dari “undang – undang yang bersifat khusus mengeyampingkan undang – undang yang bersifat umum” adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diberlakukan undang – undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diberlakukan undang – undang yang menyebutkan peristiwa yang lebih luas atau yang lebih umum yang dapat pula mencakup peristiwa khusus tersebut, contoh yang terdapat dalam pasal  1 ayat 2 KUHP yang berbunyi:”Bij verandering in de wetgeving na het tijdstip waarop het feit begaan is, worden de voor den verdachte gunstigste bepalingen toegepast (Apabila terjadi perubahan dalam perundang – undangan setelah saat peristiwa terjadi, maka diperlakukan ketentuan yang paling menguntungkan terdakwa)”;

Terhadap azas “undang – undang yang berlaku belakangan membatalkan undang – undang yang berlaku terdahulu”, dimungkinkan pengecualian sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) KUHP oleh karena berdasarkan pasal tersebut undang – undang lama yang makna atau tujuannya bertentangan dengan undang – undang baru dapat diberlakukan, asalkan memenuhi syarat – syarat tertentu;

Berkaitan dengan azas “undang – undang tidak dapat diganggu – gugat”, maka terhadap sah atau tidaknya keberlakuan suatu undang – undang dan / atau termasuk pasal – pasal tertentu dalam undang – undang tersebut hanya dapat diuji secara materil (judicial review)   kepada Mahkamah Konstitusi;

Agar pembuat undang – undang (law maker) tidak sewenang – wenang membuat suatu peraturan perundang – undangan, atau undang – undang itu tidak menjadi huruf mati (doode letter / black law letter) maka perlu dipenuhi beberapa syarat, yaitu:

  1. Syarat Keterbukaan yaitu bahwa sidang – sidang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan perikelakuan anggota fungsi eksekutif dalam pembuatan undang – undang diumumkan, dengan harapan akan adanya tanggapan dari masyarakat;
  2. Memberikan hak kepada warga masyarakat untuk mengajukan usul – usul tertulis maupun secara lisan kepada penguasa / pemerintah, dengan cara – cara:
  • Penguasa / pemerintah setempat mengundang mereka yang berminat untuk menghadiri suatu pembicaraan penting yang menyangkut suatu peraturan di bidang tertentu;
  • Suatu departemen mengundang organisasi – organisasi tertentu untuk memberikan usul – usul tentang rancangan undang – undang tertentu;
  • Diadakan acara dengar pendapat (hearing) di Dewan Perwakilan Rakyat;
  • Pembentukan komisi – komisis penasehat yang terdiri dari tokoh – tokoh dan ahli – ahli.

Dalam praktek penegakkan hukum (law enforcement practice), terdapat beberapa cara menafsirkan undang – undang, antara lain:

  1. Penafsiran Gramatikal, yaitu penjelasan undang – undang menurut susunan kata – katanya;
  2. Penafsiran Sistematikal, yaitu menafsirkan undang – undang atau pasal – pasalnya dalam hubungan keseluruhannya, antara pasal undang – undang yang satu dengan yang lain;
  3. Penafsiran Historikal, mencakup:
    • Penafsiran dengan melihat perkembangan terjadinya undang – undang, melihat bahan – bahan perundingan / parlementer dan sebagainya (wetshistorisch);
    • Penafsiran dengan melihat lembaga hukum yang diatur dalam undang – undang (rechtshistorisch);
  4. Penafsiran Teleologikal, yaitu menjelaskan undang – undang dengan menyelidiki maksud pembuatannya dan tujuan dibuatnya undang – undang itu;
  5. Penafsiran ekstensif, yaitu menafsirkan dengan memperluas arti suatu istilah atau pengertian undang – undang tersebut atau pasal – pasal dalam undang – undang itu;
  6. Penafsiran Restriktif, yaitu cara penafsiran yang mempersempit arti suatu istilah atau pengertian undang – undang tersebut atau pasal – pasal dalam undang – undang itu;

Dalam ilmu hukum, dikenal cara mempergunakan (pasal) undang – undang melalui komposisi atau konstruksi, yaitu:

  1.  Analogi atau pengluasan berlakunya kaidah undang – undang;
  2. Penghalusan hukum atau pengkhususan berlakunya kaidah undang – undang;
  3. Penggunaan “a contrario”, yaitu memastikan sesuatu yang tidak disebut oleh (pasal) undang – undang secara kebalikan.

Terminologi  “yurisprudensi”  berasal dari bahasa latin yaitu Jurisprudentia yang berarti pengetahuan hukum (rechtsgeleerdheid).  Kata “yurisprudensi” sebagai istilah teknis Indonesia, sama artinya dengan kata “jurisprudentie” (dalam bahasa Belanda), “jurisprudence” (dalam bahasa Perancis) yaitu Peradilan Tetap atau Hukum Peradilan.

Kata “Jurisprudence” (dalam bahasa Inggris) berarti teori ilmu hukum (Algemene Rechtsleer, General Theory of Law), sedangkan untuk pengertian yurisprudensi dipergunakan istilah – istilah “Case Law”, atau  “Judge made Law”. Kata “Jurisprudenz” (dalam bahasa Jerman) berarti ilmu hukum dalam arti yang sempit (aliran Ajaran Hukum), misalnya: Begriff – jurisprudenz, Interressen – jurisprudenz, dan sebagainya. Sedangkan istilah teknis bahasa Jerman untuk pengertian yurisprudensi adalah “Ueberliefferung”;

Mengenai pentingnya yurisprudensi dalam peradilan (tugas hakim), ada beberapa anggapan yaitu:

  1. Anggapan dari aliran Legisme, menyatakan yurisprudensi tidak atau kurang penting, oleh karena dianggap bahwa semua hukum terdapat dalam undang – undang. Hakim dalam melakukan tugasnya terikat pada undang – undang, sehingga pekerjaannya hanya melakukan pelaksanaan undang – undang belaka (wetstoepassing) dengan jalan jurisdische – syllogism yaitu suatu deduksi logis dari suatu perumusan yang luas (preposisi mayor) kepada suatu keadaan khusus (preposisi minor) sehingga sampai pada suatu kesimpulan (conclusion).  Aliran Legisme,  yang primer dalam hukum adalah pengetahuan tentang undang – undang, sedangkan mempelajari yurisprudensi adalah masalah sekunder;
  2. Anggapan dari aliran Freie Rechtsbewegung, menyatakan  bahwa dalam melaksanakan tugasnya seorang hakim bebas untuk melakukannya menurut undang – undang atau tidak. Hal tersebut disebabkan pekerjaan hakim adalah melakukan penciptaan hukum (rechtsschepping), akibatnya adalah bahwa memahami yurisprudensi merupakan hal yang primer, sedangkan undang – undang merupakan hal yang sekunder;
  3. Anggapan dari aliran Rechtsvinding menyatakan  memang benar bahwa hakim terikat pada undang – undang, akan tetapi tidaklah seketat sebagaimana dimaksud oleh aliran legisme, oleh karena hakim juga mempunyai kebebasan. Akan tetapi kebebasan hakim bukanlah seperti anggapan aliran freie rechtsbewegung, sehingga dalam melakukan tugasnya hakim mempunyai apa yang disebut sebagai kebebasan yang terikat (gebonden – vrijheid) atau keterikatan yang bebas (vrije – gebondenheid). Oleh sebab itu, tugas hakim disebutkan sebagai melakukan rechtsvinding yang artinya adalah menyelaraskan undang – undang pada tuntutan zaman (aanpassen van de wet de eisen van de tijd).

Kebebasan yang terikat atau keterikatan yang bebas dalam tugas hakim terbukti dari adanya beberapa wewenang hakim, yaitu:

  1. Penafsiran undang – undang (wetsinterpretatie);
  2. Komposisi, yang mencakup:
  • Analogi (abstraksi)
  • Rechtsverfijning (Determinatie), yaitu membuat pengkhususan dari suatu azas dalam undang – undang yang mempunyai arti luas (dari luas ke khusus).

Azas – azas yurisprudensi terdiri dari:

  1. Azas Precedent  (Stare Decisis), dianut di negara – negara Anglo Saxon (seperti Inggris, Amerika Serikat), menyatakan bahwa petugas peradilan (hakim) terikat atau tidak boleh menyimpang dari putusan – putusan yang terlebih dahulu dari hakim yang lebih tinggi atau sederajat tingkatnya;
  2. Azas Bebas, dianut di negara – negara Eropa Kontinental (seperti Belanda, Perancis), menyatakan bahwa petugas Pengadilan (Hakim) tidak terikat pada  putusan – putusan yang terlebih dahulu dari Hakim yang lebih tinggi atau sederajat tingkatnya.

Meskipun dalam praktek peradilan terdapat  kekangan (atau kekakuan)  dalam asas Precedent  (Stare Decisis), namun demikian terhadap azas precedent  tersebut iberlakukan  pengecualiannya, dalam hal:

  1. Apabila putusan terdahulu diterapkan pada peristiwa yang sedang dihadapi dipandang “plainly unreasonable and inconvenient”;
  2. Sepanjang mengenai dictum yaitu “whatever else the judges said that not necessary to their decision”.

 

Created and Posted By: 
Dr. Appe Hutauruk, SH., MH.
 Lecturer, Advocate and Legal Consultant 


Leave a Reply

News Feed