Dispensasi atau Bebas Syarat
Doctrine yang dikemukakan oleh W.F. Prins mengenai fenomena diskresi “Dispensasi atau Bebas Syarat” adalah dengan memberikan batasan makna dispensasi sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan dispensasi atau bebas syarat adalah perbuatan ang menyebabkan suatu peraturan undang – undang menjadi tidak berlaku bagi suatu hal yang istimewa”;
Pada hakekatnya, tujuan dari pemberian “dispensasi” adalah agar seseorang dapat melakukan suatu perbuatan hukum dengan menyimpang dari syarat – syarat yang ditentukan atau terdapat dalam suatu peraturan perundang – undangang atau Hukum Positif (positive law). Dalam hal pemberian dispensasi maka harus dipenuhi syarat – syarat tertentu yang diatur dalam peraturan perundang – undangan yang berlaku, seperti: dalam ketentuan Undang – Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, ditentukan dalam pasal 7 ayat (1) Tentang Perkawinan, sebagai berikut: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 yahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun”.
Sehubungan dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 7 ayat (1) Undang – Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dapat diberikan dispensasi artinya dapat diberikan pengecualian kepada seorang pria atau wanita yang belum mencapai umur yang telah ditentukan dalam pasal tersebut diatas dengan mengajukan suatu permohonan kepada penguasa atau pengadilan setempat dimana mereka bertempat tinggal, permohonan itu dapat diajukan oleh orang tua atau walinya, tetapi biasanya dispensasi dimintakan kepada pengadilan setempat, sesuai dengan bunyi pasal 7 ayat (2) undang – undang tersebut, yang berbunyi: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat diminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita”.
Dalam hal suatu dispensasi diberikan oleh Pengadilan atau Pengadilan , maka hal tersebut berarti Pengadilan telah membuat suatu ketetapan yang disebut voluntaire jurisdictie yaitu putusan Hakim atau Pengadilan berupa “penetapan” atas suatu permohonan yang tidak didasarkan karena adanya suatu sengketa atau perselisihan hukum, misalnya: pengangkatan seorang wali (voogd) atas anak dibawah umur yang tidak dikuasai oleh orang tuanya, pengangkatan seorang pengampu (curator) atas orang yang sakit ingatan atau tidak cakap menurut hukum. Disamping putusan Hakim atau Pengadilan yang bersifat voluntaire jurisdictie, terdapat pula putusan Hakim atau Pengadilan yang dikualifikasikan sebagai contentieuse jurisdictie yaitu keputusan Hakim atau Pengadilan yang memutuskan suatu perkara melalui persidangan karena didasarkan adanya suatu sengketa atau perselisihan hukum, misalnya sengketa utang piutang, sengketa jual – beli, sengketa kepemilikan hak atas tanah, dan sebagainya.
Created and Posted By: Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH. Lecturer, Advocate and Legal Consultant Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002