NASIONALISASI HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

NASIONALISASI HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

 

Ketentuan Pasal 26 Burgerlijk Wetboek (BW) atau yang kita kenal dengan nama Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyebutkan,”Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”. Sedangkan Pasal 1 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, memberikan definisi bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pada tanggal 2 Januari 1974 ditetapkan keberlakuan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1,  dan kemudian diikuti dengan diterbitkannya “PERATURAN ORGANIK” atas undang – undang perkawinan tersebut  pada tanggal 1 April 1975 yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sebagaimana termuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12. Dengan diundangkannya Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maka secara yuridis formil (formal juridical), ketentuan mengenai perkawinan dalam TATA HUKUM Indonesia (positive law, ius constitutum) telah merujuk pada “HUKUM NASIONAL”  yang menggantikan kedudukan/posisi Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang notabene adalah produk Pemerintah Hindia Belanda, sepanjang mengenai pekawinan dan aspek – aspek lain yang berhubungan dengan perkawinan. Peristiwa peralihan konsepsi  hukum  sebagaimana yang dideskripsikan tersebut, sangat relevan apabila disebut “Nasionalisasi Hukum”.

Apabila ditinjau dari materi/substansi yang terkandung dalam  Undang – Undang  Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Peraturan Pemerintah  Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maka dapat dicermati bahwa kedua peraturan perundang – undangan tersebut tidak hanya merumuskan ketentuan – ketentuan “hukum substantif” tetapi juga memuat aturan – aturan mengenai “hukum ajektif”. Dapat dijelaskan bahwa “hukum substantif” adalah “hukum materil”, sedangkan “hukum ajektif” adalah “hukum formil” atau “hukum acara”. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan yang dikemukakan oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul “Aneka Cara Pembedaan Hukum”, sebagai berikut, “Secara singkat Zwarensteyn merumuskan hukum substantif dan hukum ajektif, sebagai berikut (Hendrik Zwarensteyn:1975): “Substantive law regulates our rights and duties, whereas adjective (also called procedural) law regulates the methods of enforcing rights and duties”. Inti dari rumusan – rumusan diatas adalah pada hak – hak dan kewajiban – kewajiban subyek hukum. Di dalam hukum substantif hal tersebut dirumuskan, sedangkan hukum ajektif memberikan pedoman bagaimana penegakkannya atau mempertahankannya didalam praktek  (termasuk bagaimana mengatasi pelanggaran terhadap hak – hak dan kewajiban – kewajiban tersebut)”[1].

Dalam   Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan termaktub asas – asas umum yang menjadi pedoman atau patokan dalam “Hukum Perkawinan Nasional”. Asas – asas tersebut diidentifikasi oleh Soerjono Soekanto, sebagai berikut:

  1. Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin yang harus didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak, yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
  2. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing – masing.
  3. Setiap perkawinan harus dicatat.
  4. Suami dan isteri mempunyai kedudukan yang seimbang, baik didalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan hidup bersama di masyarkat.
  5. Seorang pria dan seorang wanita masing – masing hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang suami walaupun seorang pria atas dasar alasan dan syarat – syarat tertentu boleh beristeri lebih dari seorang.
  6. Batas usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita dan izin orang tua masih tetap diperlukan apabila yang bersangkutan belum mencapai usia 21 tahun.
  7. Dalam hubungan – hubungan dan keadaan – keadaan tertentu, dilarang orang untuk melangsungkan perkawinan, dan didalam hal – hal tertentu pula perkawinan dapat dicegah dan dibatalkan.
  8. Perceraian hanya dapat dilangsungkan atas dasar alasan – alasan yang telah ditentukan, dan setelah perceraian kewajiban orang tua terhadap anak tetap ada.
  9. Perjanjian dapat diadakan sebelum atau pada waktu perkawinan dilangsungkan.
  10. Semua harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dari suami isteri, kecuali apabila ditentukan lain menurut perjanjian perkawinan.
  11. Perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang warga negara Indonesia dengan seorang warga negara asing, perkawinan mana dapat dilangsungkan di luar negeri.
  12. Anak dianggap sah apabila dilahirkan karena perkawinan yang sah[2].

Berdasarkan asas – asas perkawinan yang terdapat dalam  Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, maka dapat dimengerti bahwa secara umum hal – hal mengenai perkawinan yang terdapat dalam ketentuan Buku I (Buku KESATU)   Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Perihal/Tentang Orang (van Personenrecht), yang memuat pengaturan Hukum tentang Diri Seseorang dan Hukum Keluarga,  dalam hal tertentu masih ada yang diresepsi dalam praktek penerapan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Kenyataan tersebut dapat dilihat dalam ketentuan – ketentuan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang cakupannya sudah lebih luas sifatnya antara lain; dasar perkawinan (diatur dalam Pasal 1 s/d Pasal 5), syarat – syarat perkawinan (diatur dalam Pasal 6 s/d Pasal 12), pencegahan perkawinan (diatur dalam Pasal 13 s/d Pasal 21), batalnya perkawinan (diatur dalam Pasal 22 s/d Pasal 28), perjanjian perkawinan (diatur dalam Pasal 29), hak dan kewajiban suami/isteri (diatur dalam Pasal 30  s/d Pasal 34), harta kekayaan (harta benda) dalam perkawinan (diatur dalam Pasal 35 s/d Pasal 37), akibat – akibat putusnya perkawinan putusnya perkawinan serta akibatnya) (diatur dalam Pasal 38 s/d Pasal 41), kedudukan anak (diatur dalam Pasal 42 s/d Pasal 44), hak dan kewajiban antara orang tua dan anak (diatur dalam Pasal 45 s/d Pasal 49), perwalian (diatur dalam Pasal 50 s/d Pasal 54), pembuktian asal – usul anak (diatur dalam Pasal 55), perkawinan di luar Indonesia (diatur dalam Pasal 56), perkawinan campuran (diatur dalam Pasal 57 s/d Pasal 62),  yurisdiksi pengadilan (diatur dalam Pasal 63). Selanjutnya ketentuan – ketentuan dalam   Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tersebut, secara lebih konkrit diterjemahkan realisasinya melalui   Peraturan Pemerintah  Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang pada pokoknya mengatur hal – hal sebagai berikut; ketentuan umum (diatur dalam Pasal 1), pencatatan perkawinan (diatur dalam Pasal 2 s/d Pasal 9), tatacara perkawinan (diatur dalam Pasal 10 s/d 11), akta perkawinan (diatur dalam Pasal 12 s/d Pasal 13), tatacara perceraian (diatur dalam Pasal 14 s/d Pasal 36), pembatalan perkawinan (diatur dalam Pasal 37 s/d 38), waktu tunggu (diatur dalam Pasal 39), ketentuan mengenai seorang suami beristeri lebih dari satu (diatur dalam Pasal 40 s/d Pasal 44), ketentuan pidana (diatur dalam Pasal 45).

 

Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir terdapat kesamaan/persamaan mengenai syarat – syarat perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau yang disebut juga Burgerlijk Wetboek (BW), maupun yang ditentukan dalam  Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Persyaratan dimaksud terutama yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat – syarat sahnya suatu perjanjian atau perikatan, oleh karena apabila merujuk pada pengertian atau batasan makna (definition) baik yang diintrodusir oleh  Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) maupun Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, maka ditemukan terminus “pertalian” dan “ikatan” yang berkonotasi sama dengan pengertian perikatan atau perjanjian.  Pada prinsipnya  syarat – syarat untuk sahnya perkawinan dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata adalah sebagai berikut:

  1. Syarat Kesepakatan, dalam arti ada persetujuan yang bebas dari pihak – pihak yang akan melangsungkan perkawinan (Pasal 28 KUHPerdata, Pasal 6 ayat 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)
  2. Syarat Kecakapan, dalam arti pihak – pihak yang akan melangsungkan perkawinan telah berumur sesuai dengan ketentuan undang – undang perkawinan.
  3. Syarat hal tertentu yang diperjanjikan, dalam arti pihak – pihak yang akan melangsungkan perkawinan sepakat untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
  4. Suatu sebab (oorzaak) yang halal, dalam arti tidak ada ketentuan peraturan perundang – undangan yang melarang kedua belah pihak untuk melangsungkan perkawinan.

 

Akan tetapi, dari syarat – syarat untuk sahnya melangsungkan perkawinan sebagaimana diuraikan diatas, apabila dilakukan perbandingan dapat pula disebutkan perbedaan – perbedaan prinsip yang terdapat dalam ketentuan – ketentuan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan  Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, antara lain:

  1. Batas usia minimal untuk melangsungkan perkawinan;
  • Menurut ketentuan Pasal 29 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), maka kedua belah pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan yaitu untuk seorang laki – laki 8 tahun dan untuk seorang perempuan 15 tahun.
  • Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.
  • Note: Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU – XV/2017, maka telah dilakukan perubahan dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengenai perbedaan usia minimal untuk dapat kawin bagi laki – laki dan perempuan, karena ketentuan sebelumnya dianggap diskriminatif. Sehingga ketentuan sekarang yang ditetapkan adalah sama yaitu baik laki – laki maupun perempuan harus minimal berusia 19 (Sembilan belas) tahun.
  1. Waktu tunggu untuk melangsungkan perkawinan:
  • Menurut ketentuan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), “untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin harus lewat 300 (tiga ratus) hari dahulu sesudah putusnya perkawinan pertama”.
  • Menurut ketentuan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menentukan waktu tunggu sebagai berikut:
  1. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
  2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang – kurangnya 90 (Sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (Sembilan puluh) hari.
  3. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
  4. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
  5. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedang bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

 

Perlu dipahami bahwa baik menurut  Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) maupun   Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, maka yang dimaksud dengan dewasa (baik laki – laki/pria maupun perempuan/wanita) untuk dapat melangsungkan perkawinan adalah apabila telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun. Oleh karena itu, konsekwensi yuridis dari ketentuan tersebut maka kedua belah pihak yang masih dibawah umur yang bermaksud melakukan perkawinan maka harus mendapat izin atau persetujuan dari orang tuanya. Dalil yuridis ini diperjelas oleh Subekti dalam bukunya yang berjudul “Pokok – Pokok Hukum Perdata” dengan mengatakan,”Tentang hal izin  dapat diterangkan bahwa kedua orang tua harus memberikan izin, atau ada kata sepakat antara ayah dan ibu masing – m–sing pihak. Jikalau ada wali, wali inipun harus memberikan izin, dan kalau wali ini sendiri  hendak kawin dengan anak yang dibawah pengawasannya, harus ada izin dari wali pengawas (toeziende voogd). Kalau kedua orang tua sudah meninggal, yang memberikan izin ialah kakek – nenek, baik pihak ayah maupun pihak ibu, sedangkan izin wali masih pula tetap diperlukan”[3].

___________________________________________________

[1]) Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto. Aneka Cara Pembedaan Hukum. Penerbit Alumni. Bandung, 1980. halaman  28.

[2])Soerjono Soekanto. Intisari Hukum Keluarga. Penerbit Alumni. Bandung, 1980. halaman 5 – 6.

[3]) Subekti. Pokok – Pokok Hukum Perdata. Penerbit PT. Intermasa. Jakarta, tahun 1994. halaman 24.

 

Writer and Copy Right:
Dr. (Cand.) Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant
Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002

 

LAW  FIRM APPE  HAMONANGAN   HUTAURUK & ASSOCIATES
KETUA  UMUM  DPP LSM  KOMAKOPEPA
AKTIVIS’98

Leave a Reply

News Feed