ASAS – ASAS KONTRAK

Business meeting, reading documents and people, clients or partner policy, contract and lawyer or consultant advice. Paperwork, review and woman with legal advisor for information, support or helping

ASAS – ASAS KONTRAK

 

Terminologi perjanjian (agreement) atau kontrak (contract) dalam interaksi hubungan kerjasama (working together) kerapkali dipahami secara keliru oleh masyarakat termasuk kalangan pelaku dunia usaha (businessmen), seolah – olah kedua istilah tersebut memiliki konotasi makna yang berbeda. Burgerlijk wetboek (BW)  mengintrodusir istilah perjanjian atau kontrak dengan sebutan overenkomst, untuk makna yang sama dengan  contract, sebagaimana termaktub dalam Buku III Title Kedua Tentang “Perikatan – perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Perjanjian” yang dalam diterjemahkan dari bahasa Belanda, “Van verbintenissen die uit contract of Overeenkomst geboren worden”.

Merujuk pada ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang – undang  Hukum Perdata (KUHPerdata)  yang dimaksud dengan  Perjanjian adalah “suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Sedangkan pengertian  Kontrak atau Perjanjian adalah kesepakatan antara 2 (dua) orang/pihak  atau lebih mengenai hal tertentu yang disetujui/disepakati secara sukarela  oleh para pihak yang mengikatkan dirinya dalam kontrak/perjanjian tersebut. Dalam konteks yuridis formil, maka  setiap pembuatan kotrak atau perjanjian menurut Tata Hukum Indonesia secara imperatif harus memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata  juncto 1338 KUHPerdata.  Sementara apabila konsepsi yang ditegaskan dalam  Pasal 1320 KUHPerdata  juncto 1338 KUHPerdata  dihubungkan dengan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, maka terdapat hubungan kausalitas dengan batasan makna Kontrak atau Perjanjian yang memerlukan persetujuan PIHAK TERTENTU, oleh karena pada pokoknya disebutkan, “seseorang dikatakan dewasa yaitu telah berusia 18 tahun atau telah menikah. Apabila orang yang belum dewasa hendak melakukan sebuah perjanjian, maka dapat diwakili oleh orang tua atau walinya”. Hal yang sama dapat pula ditemukan dalam ketentuan Pasal 433 KUHPerdata (BW) yang menyebutkan,”Orang yang cacat mental dapat diwakili oleh pengampu atau kuratornya”.  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam hal tertentu, suatu pihak dalam membuat Kontrak atau Perjanjian dengan pihak lain, berdasarkan ketentuan/perintah hukum oleh karena alasan tertentu HARUS MENDAPAT PERSETUJUAN/IJIN DAN/ATAU DIWAKILI OLEH PIHAK LAIN.

Sebagai komparasi  dapat dikemukakan beberapa pengertian KONTRAK yang dikemukan DOKTRIN,  antara lain:

  • SUBEKTI memberikan definisi kontrak yaitu “suatu peristiwa perjanjian antara seorang dan seorang lainnya atau lebih untuk melaksanakan sesuatu hal dan menyebabkan perikatan antara kedua bela pihak tersebut”.
  • WIRJONO PRODJODIKORO menegaskan Kontrak merupakan suatu persetujuan secara hukum mengenai harta benda antara kedua pihak yang berjanji, dimana satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal dan pihak lain memiliki hak untuk menuntut kontrak itu”.
  • HARLIEN BUDIONO menjelaskan “Kontrak atau perjajian adalah perbuatan hukum yang mana orang yang terlibat dalam kontrak disebut pihak-pihak. Para Pihak bertujuan untuk menimbulkan, mengubah, menghapusnya hak melalui proses hukum”.

 

Dalam ilmu hukum, dikenal beberapa asas hukum terhadap suatu kontrak, yaitu:

  1. Asas kontrak sebagai hukum mengatur;
  2. Asas kebebasan berkontrak;
  3. Asas pacta sunt servanda;
  4. Asas konsensual’
  5. Asas obligator;

 

ASAS KONTRAK SEBAGAI HUKUM MENGATUR

Hukum mengatur (aanvullen recht, optional law) adalah peraturan – peraturan hukum yang berlaku bagi subyek hukum, misalnya para pihak dalam suatu kontrak. Akan tetapi, ketentuan hukum seperti ini tidak mutlak berlakunya karena jika para pihak mengatur sebaliknya, maka yang berlaku adalah apa yang diatur oleh para pihak tersebut. Jadi, peraturan yang bersifat hukum mengatur dapat dikesampingkan oleh para pihak. Pada prinsipnya hukum kontrak termasuk ke dalam kategori hukum mengatur, yakni sebagian besar (meskipun tidak seluruhnya) dari hukum kontrak tersebut dapat dikesampingkan oleh para pihak dengan mengaturnya sendiri. Karena itu, hukum kontrak ini disebut sebagai hukum yang mempunyai sistem terbuka (open system). sebagai lawan dari hukum mengatur, adalah apa yang disebut dengan “hukum memaksa” (dwingend recht, mandatory law). Dalam hal ini, yang dimaksudkan oleh hukum memaksa  adalah aturan hukum yang berlaku secara memaksa atau mutlak, dalam arti tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak yang terlibat dalam suatu perbuatan hukum, termasuk oleh para pihak dalam suatu kontrak.

 

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK

Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) ini merupakan konsekwensi dari berlakunya asas kontrak sebagai hukum yang mengatur. Dalam hal ini yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang mengajarkan bahwa para pihak dalam suatu kontrak pada prinsipnya bebas untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasannya untuk mengatur sendiri isi kontrak tersebut. Asas kebebasan berkonrak ini dibatasi oleh rambu – rambu hukum, sebagai berikut:

  1. Harus memenuhi syarat sebagai suatu kontrak;
  2. Tidak dilarang oleh undang – undang;
  3. Tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku;
  4. Harus dilaksanakan dengan itikad baik;

 

ASAS PACTA SUNT SERVANDA

Istilah “pacta sunt servanda” berarti “janji mengikat”. Yang dimaksudkan adalah bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak, mengikat para pihak tersebut secara penuh sesuai isi konrak tersebut. Istilah terkenalnya adalah “my word is my bonds”, atau sesuai dengan tamsilan bahasa Indonesia bahwa “jika sapi dipegang talinya, jika manusia dipegang mulutnya”. Karena itu, apabila suatu pihak dalam kontrak tidak menuruti kontrak yang telah dibuatnya, oleh hukum disediakan sarana ganti rugi atau bahkan dapat dilakukan pelaksanaan kontrak secara paksa.

 

ASAS KONSENSUAL 

Yang dimaksud dengan asas konsensual dari suatu kontrak adalah bahwa jika suatu kontrak telah dibuat, maka dia telah sah dan mengikat secara penuh, bahkan pada prinsipnya persyaratan tertulispun tidak disyaratkan oleh hukum, kecuali untuk beberapa jenis kontrak tertentu, yang memang diharuskan syarat tertulis. Syarat tertulis tersebut misalnya diharuskan untuk jenis kontrak, sebagai berikut:

  1. Kontrak perdamaian;
  2. Kontrak pertanggungan;
  3. Kontrak penghibahan;
  4. Kontrak jual beli tanah;

 

ASAS OBLIGATOIR

Asas obligatoir adalah suatu asas yang menentukan bahwa jika suatu kontrak telah dibuat, maka para pihak telah terikat, tetapi keterikatannya itu hanya sebatas timbulnya hak dan kewajiban semata – mata. Sedangkan prestasi belum dapat dipaksakan karena kontrak kebendaan (zakelijke overeenkomst) belum terjadi. Jadi, jika terhadap kontrak jual beli misalnya, maka dengan kontrak saja, hak milik belum berpindah, jadi baru terjadi kontrak obligatoir saja. Hak milik baru berpindah setelah adanya kontrak kebendaan tersebut atau yang sering disebut juga dengan serah terima (levering). Hukum kontrak Indonesia memberlakukan asas obligatoir ini karena hukum kontrak Indonesia berdasarkan pada Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. Sungguh pun hukum adat tentang kontrak tidak mengakui asas obligatoir karena asas hukum adat memberlakukan asas kontrak riil. Artinya, suatu kontrak haruslah dibuat secara riil, dalam hal ini harus dibuat secara “terang” dan “tunai”. Dalam hal ini kontrak haruslah dilakukan di depan pejabat tertentu, misalnya di depan penghulu adat atau ketua adat, yang sekaligus juga dilakukan levering – nya.Jika hanya sekedar janji – jani saja, seperti dalam sistem obligatoir, dalam hukum adat kontrak seperti itu tidak mempunyai kekuatan sama sekali.

Created and Post By:
Dr. Appe  Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant 

 

LAW  FIRM APPE  HAMONANGAN   HUTAURUK & ASSOCIATES
KETUA  UMUM  DPP LSM  KOMAKOPEPA
AKTIVIS’98

Leave a Reply

News Feed