BIROKRASI PEMERINTAHAN YANG BAIK ~ BERSIH DAN BEBAS KORUPSI

Uncategorized

BIROKRASI PEMERINTAHAN YANG BAIK, BERSIH DAN BEBAS KORUPSI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 

Pada dekade awal abad ke-21, bangsa Indonesia menghadapi gelombang besar pada masa reformasi berupa meningkatnya tuntutan demokratisasi, desentralisasi, dan globalisasi. Meskipun sesungguhnya  keadaan serupa pernah terjadi pada beberapa kurun waktu yang lampau,/ namun tuntutan saat ini mangandung nuansa yang berbeda sesuai dengan kemajuan jaman. Globalisasi yang menyentuh berbagai bidang tata  pemerintahan negara menuntut reformasi sistem perekonomian dan birokrasi, sehingga memungkinkan interaksi perekonomian antar daerah dan antar bangsa berlangsung lebih efisien dan efektif.  Dalam upaya menyikapi tuntutan agenda reformasi tersebut, maka  yang perlu dikembangkan adalah kesadaran dan komitmen yang tinggi untuk menerapkan nilai – nilai  luhur dan prinsip tata kelola (good governance) dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan negara, sebagaimana secara eksplisit diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

United Nations Development Program (UNDP) dalam dokumen kebijakannya yang berjudul Governance for Sustainable Human Develop­ment” (1977), mendefinisikan kepemerintahan (governance) sebagai berikut: “Governance is the exercise of economic, political, and administrative au­thority to a country’s affairs at all levels and means by which states promote social cohesion, integration, and ensure the well being of their population” (Kepemimpinan adalah pelaksanaan kewenangan/kekuasaan dalam bidang ekonomi, politik, dan administratif untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrumen kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan, integritas dan kohesitas  sosial dalam masyarakat).

B. Tujuan Penulisan

          Tujuan dalam penulisan  makalah (karya ilmiah)  ini adalah  untuk memberikan deskripsi  dan wawasan agar  dapat memahami dan mengetahui apa pengertian Pemerintahan yang baik dan berwibawa.

C. Rumusan Masalah

          Rumusan masalah dalam makalah ini dapat dikwalifikasikan, sebagai berikut:

  1. Bagaimana yang dimaksud dengan pemerintahan yang baik dan bersih?
  2. Bagaimana penerapan good governance  yang bebas korupsi di Indonesia?

 

D. Ruang lingkup

Penulisan makalah ini dibatasi pada lingkup bagaimana upaya mewujudkan  pemerintahan yang baik, berwibawa  dan bebas korupsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, terutama dalam kaitannya  dengan menghadapai era globalisasi dan tuntutan reformasi.

E. Teknik Penulisan

Metode yang digunakan  dalam penyusunan makalah ini dengan menggunakan teknik pengumpulan data (data collecting) melalui  referensi pustaka (buku – buku, majalah, hasil seminar dan lain – lain), dan berbagai media sosial  melalui internet.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Government

          Pemerintah atau ”Government” dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “The authoritative direction and administration of the affairs of men/women in a nation, state, city, etc” (pengarahan dan administrasi yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam sebuah negara, negara bagian, kota, dan sebagainya). Ditinjau dari sisi semantik,  istilah atau terminologi  “governance”  berarti tata kepemerintahan dan “good governance”  bermakna tata kepemerintahan yang baik.

Di satu sisi istilah good governance dapat dimaknai secara berlainan, sedangkan sisi yang lain dapat diartikan sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan, perusahaan atau organisasi kemasyarakatan, Apabila istilah ini dirujuk pada asli kata dalam bahasa Inggris: governingmaka artinya adalah mengarahkan atau mengendalikan, Karena itu good  governance dapat diartikan sebagai tindakan untuk mengarahkan, mengen­dalikan, atau mempengaruhi masalah publik. Oleh karena itu ranah good gov­ernance tidak terbatas pada negara atau birokrasi pemerintahan, tetapi juga  pada ranah masyarakat sipil yang dipresentasikan oleh organisasi non – pemerintah dan sektor swasta. Singkatnya, tuntutan terhadap good governance tidak hanya ditujukkan kepada penyelenggara negara atau pemerintah, melainkan juga pada masyarakat di luar struktur birokrasi pemerintahan.

Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintahan yang baik adalah baik dalam proses maupun hasilnya. Semua unsur  dalam pemerintahan bisa bergerak secara sinergii, tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat, serta terbebas dari gerakan-gerakan anarkis yang bisa menghambat proses dan laju pembangunan. Pemerintahan juga bisa dikatakan baik jika produktif dan memperlihatkan hasil dengan indikator kemampuan ekonomi rakyat meningkat, baik dalam aspek produktivitas maupun dalam daya belinya; kesejahteraan spiritualnya meningkal dengan indikator rasa aman, bahagia, dan memiliki rasa kebangsaan yang tinggi.[1][1]

Secara umum istilah good governance memiliki pengertian akan segala hal yang terkait dengan tindakan atau tingkah laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau mempengaruhi urusan publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Andi Faisal Bakti, istilah good governance memiliki pengertian pengejawantahan nilai-nilai luhur dalam mengarakan warga Negara kepada masyarakat dan pemerintahan yang berkeadaban melalui wujud pemerintahan yang suci dan damai. Bersesuaian  dengan pendapat Andi Faisal Bakti, maka Santosa menjelaskan bahwa good governance adalah pelaksanaan politik, ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa. Pelaksanaan kewenangan tersebut bisa dikatakan baik jika dilakukan dengan efektif dan efisien, responsif terhadap kebutuhan rakyat, dalam suasana demokratis, akuntabel serta transparan.Sebagai sebuah paradigm pengelolaan lembaga Negara, clean and good governance dapat terwujud secara maksimal jika ditopang oleh dua unsur yang saling terkait yaitu negara dan masyarakat madani yang di dalamnya terdapat sektor swasta.[2][2]

Penerapan good governance di Indonesia dilatarbelakangi oleh dua hal yang sangat mendasar:

–       Tuntutan eksternal:  Pengaruh  globalisasi  telah  memaksa  kita  untuk  menerapkan Good governance. Good Govermence telah menjadi ideologi baru negara dan lembaga donor internasional dalam mendorong negara-negara anggotanya menghormati prinsip-prinsip ekonomi pasar dan demokrasi sebagai prasyarat dalam pergaulan internasional. Istilah  good governance mulai mengemuka di Indonesia pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan interaksi antara pemerintah Indonesia dengan negara-negara luar dan lembaga-lembaga donor yang menyoroti kondisi objektif situasi perkembangan ekonomi dan politik daiam negeri Indonesia.

–       Tuntutan internal: Masyarakat melihat dan merasakan bahwa salah satu penyebab terjadinya krisis multidimensional saat ini adalah terjadinya abuse of power yang terwujud dalam bentuk KKN (korupsi, kolusi, dan spotisme) dan sudah sedemikian rupa mewabah dalam segala aspek kehidupan. Proses check and balance tidak terwujud dan dampaknya lenyeret bangsa Indonesia pada keterpurukan ekonomi dan ancaman isintegrasi. Berbagai kajian ihwal korupsi di Indonesia memperlihatkan Drupsi berdampak negatif terhadap pembangunan melalui kebocoran, \ark up yang menyebabkan produk high cost dan tidak kompetitif di asar global (high cost economy), merusakkan tatanan masyarakat dan ?hidupan bernegara. Masyarakat menilai praktik KKN yang paling lencolok kualitas dan kuantitasnya adalah justru yang dilakukan oleh ibang-cabang pemerintahan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal ini lengarahkan wacana pada bagaimana menggagas reformasi birokrasi emerintahan (governance reform).

Realitas sejarah ini menggiring kita pada wacana bagaimana mendorong a menerapkan nilai-nilai transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan tralisasi penyelenggaraan pemerintahan. Good governance ini dapat sil bila pelaksanaannya dilakukan dengan efektif, efisien, responsif terhadap kebutuhan rakyat, serta dalam suasana demokratis, akuntabel, dan transparan.[3][3]

B. Prinsip-prinsip Pokok Good Governance

Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan sembilan aspek fundamental dalam good governance yang harus diperhatikan yaitu :

  1. Partisipasi (participation)

Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan prinsip demokrasi yaitu kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif.

  1. Penegakan Hukum(rule of law)

Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Tanpa ditopang oleh sebuah aturan hukum dan penegakannya secara konsekuen, partisipasi publik dapat berubah menjadi tindakan publik yang anarkis. Santoso menegaskan bahwa proses mewujudkan cita-cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan rule of law dengan karakter-karakter sebagai berikut :

a. Supremasi hukum

b. Kepastian hukum

c. Hukum yang responsitif

d. Penegakan hukum yang konsisten dan non diskriminatif

e. Independensi peradilan

 

  1. Transparansi (transparency)

Transparansi (keterbukaan umum) adalah unsur lain yang menopang terwujudnya good governance. Akibat tidak adanya prinsip transparansi ini, menurut banyak ahli Indonesia telah terjerembab dalam kubangan korupsi yang berkepanjangan dan parah. Untuk itu, pemerintah harus menerapkan transparansi dalam proses kebijakan publik. Menurut Gaffar, terdapat 8 (delapan) aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara transparan, yaitu :

a. Penetapan posisi, jabatan dan kedudukan

b. Kekayaan pejabat publik

c. Pemberian penghargaan

d. Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan

e. Kesehatan

f. Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik

g. Keamanan dan ketertiban

h. Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat

 

4. Responsif (responsive)

Affan menegaskan bahwa pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakat-masyarakatnya, jangan menunggu mereka menyampaikan keinginannya, tetapi mereka secara proaktif mempelajari dan menganalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat, untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum.

  1. Konsensus (consensus)

Prinsip ini menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah melalui konsensus. Model pengambilan keputusan tersebut, selain dapat memuaskan sebagian besar pihak, juga akan menjadi keputusan yang mengikat dan milik bersama, sehingga akan memiliki kekuatan memaksa bagi semuakomponen yang terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut.

  1. Kesetaraan (equity)

Clean vand good governance juga harus didukung dengan asa kesetaraan, yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Asas ini harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua penyelenggara pemerintahan di Indonesia karena kenyatan sosiologis bangsa kita sebagai bangsa yang majemuk, baik etnis, agama, dan budaya.

  1. Efektivitas dan efisiensi

Konsep efektivitas  dalam sektor kegiatan-kegiatan publik memiliki makna ganda, yakni efektivitas dalam pelaksanan proses-proses pekerjaan, baik oleh pejabat publik maupun partisipasi masyarakat, dan kedua, efektivitas dalam konteks hasil, yakni mampu membrikan kesejahteraan pada sebesar-besarnya kelompok dan lapisan sosial.

  1. Akuntabilitas (accountability)

Asas akuntabilitas adalah pertanggung jawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Secara teoritik, akuntabilitas menyangkut dua dimensi yakni akuntabilitas vertikal yang memiliki pengertian bahwa setiap pejabat harus mempertanggung jawabkan berbagai kebijakan dan pelaksanaan  tugas-tugasnya terhadap atasan yang lebih tinggi, dan yang kedua akuntabilitas horisontal yaitu pertanggungjawaban pemegang jabatan publik pada lembaga yang setara.

  1. Visi Strategis

Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang. Tidak sekedar memiliki agenda strategis untuk masa yang akan datang, seseorang yang memiliki jabatan publik atau lembaga profesional lainnya, harus memiliki kemampuan menganalisa persoalan dan  tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga yang dipimpinnya.[4][4]

C. Konsepsi Good Governance

Pemerintah atau government dalam bahasa Inggris adalah: “The auhoritative direction and administration of the affairs of men/women in a na-loft, state, city, etc.” Atau dalam bahasa Indonesia berarti “Pengarahan dan idministrasi yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam sebuah neg-ira, negara bagian, kota, dan sebagainya.” Bisa juga berarti “The governing )Ody of nation, state, city, etc.” Atau lembaga atau badan yang menyeleng-[arakan pemerintahan negara, negara bagian atau kota, dan sebagainya.

Sedangkan istilah “kepemerintahan” atau dalam bahasa Inggris “governance” adalah “The act, fact, manner of governing,” berarti: tindakan, fakta, pola, dan kegiatan atau penyelenggaraan pemerintahan.” Dengan demikian ‘governance adalah suatu kegiatan (proses), sebagaimana dikemukakan oleh Kooiman (l993) bahwa govrrnanco lebih merupakan “…serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintahan dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut.”

Istilah “governance” tidak hanya berarti kepemerintahan sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarah-an, pembinaan penyelenggaraan serta bisa juga diartikan pemerintahan. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila terdapat istilah public gover­nance, private governance, corporate governance, dan banking governance. Governance sebagai terjemahan dan pemerintahan kemudian berkembang dan menjadi populer dengan sebutan kepemerintahan atau tata kelola, se-dangkan praktik terbaiknya disebut kepemerintahan atau tata kelola yang baik (good governance).

Secara konseptual, pengertian kata baik (good) dalam istilah kepeme­rintahan yang baik (good governance) mengandung dua pemahaman:

  1. Nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuaa rakyat dalam mencapai tujuan (nasional) kemandirian, pembangunarr berkelanjutan, dan keadilan sosial.
  2. Aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut.

Selanjutnya, lembaga administrasi negara mengemukakan bahwa good governance berorientasi pada:

  1. Orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional.
  2. Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi pertama mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan ele men-elemen konstitusinya seperti: legitimacy (apakah pemerintah dipilih oleh dan mendapat kepercayaan dari rakyatnya), accountability scur-ing of human right, autonomy, and devolution of power dan assurance of civian control. Sedangkan orientasi kedua, bergantung pada sejauh mana struktur serta mekanisme politik dan administrasinya berfungs/ so cara efektif dan efisien.

Lembaga Administrasi Negara (tahun 2000) menyimpulkan bahwa wujud good  governance adalah menyelenggarakan pemerintahan  negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif diantara domain domain negara, sektor swasta, dam masyarakat.

Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 merumuskan arti good governance sebagai berikut: “Kepemerintahan yang mengemban menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntaDintas, transparansi, )dayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi hukum, dan lapat diterima oleh seluruh masyarakat“.

Dengan demikian, pada dasarnya pihak-pihak yang berkepentingan dalam kepemerintahan (governance stakeholders) dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu :

  1. Negara/Pemerintahan. Konsepsi kepemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh darr itu melibatkan pula sektor swasta dan kelembagaan masyarakat madani.
  2. Sektor Swasta. Pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi sistem pasar, seperti: industri pengelolaan perda-gangan, perbankan, dan koperasi, termasuk kegiatan sektor informal.
  3. Masyarakat Madani. Kelompok masyarakat dalam konteks kenegaraan pada dasarnya berada di antara atau di tengah-tengah antara pemerintah dan perorangan, yang mencakup baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi.

 

D. Karakteristik Dasar Good Governance

Ada tiga karakteristik dasar good governance:

  1. Diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi se-buah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi. Dengan kata lain, plu­ralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Plural­isme bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis, dan merupakan sumber dan motivator terwujudnya kreativitas yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan. Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit akan tercipta apabila manusia memiliki sikap inklusif dan kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan, identitas sejati atas parameter-parameter otentik agama tetap terjaga.
  2. Tingginya sikap lolcransi, baik terhadap saudara sesama agama maupun terhadap umat agama lain. Secara sederhana, Toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain. Senada dengan hal itu, Quraish Shihab menyatakan bahwa agama tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama, namun juga mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan, dan saling menghormati.
  3. Tegaknya prinsip demokrasi. Demokrasi bukan sekadar kebebasan dan persaingan, demokrasi juga merupakan suatu pilihan untuk bersama-sama membangun dan memperjuangkan perikehidupan warga dan ma-syarakat yang semakin sejahtera.

     Masyarakat madani mempunyai ciri-ciri ketakwaan yangtinggi kepada Tuhan, hidup berdasarkan sains dan teknologi, berpendidikan tinggi, menga-malkan nilai hidup modern dan progresif, mengamalkan nilai kewarganega-raan, akhlak, dan moral yang baik, mempunyai pengaruh yang luas dalam proses membuat keputusan, serta menentukan nasib masa depan yang baik melalui kegiatan sosial, politik, dan lembaga masyarakat.[5][5]

E. Pengerian Korupsi

Menurut Kartini Kartono korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang mengambil keuntungan pribadi dengan merugikan kepentingan umum atau negara.

I. Asal usul korupsi di negara berkembang

Sesungguhnya sejarah perkembangan korupsi beserta upaya pemberatasannya, terutama dalam skala mega, sudah berlangsung sejak tengah dasawarsa 1950-an. Dimulai ketika terjadi abuse of power oleh menteri ekonomi kala itu, Iskak Tjokroadisuryo, pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Korupsi berupa pemberian lisensi impor dari Politik Benteng dengan tak memberikannya kepada pengusaha pribumi yang kompeten dan diberikan kepada konco-konconya. Lisensi-lisensi tersebut akhirnya dijual kepada pengusaha keturunan Cina, sehingga dikenal istilah ”pengusaha Ali-Baba”.

PM Burhanuddin Harahap yang bekerja sama dengan TNI AD mengambil kebijakan antikorupsi yang efektif, yakni meluruskan pelaksanaan Politik Benteng. Karena kabinet ini umurnya pendek, upaya penegakan pemerintahan bersih tenggelam dengan suasana konflik politik antarpartai dalam Konstituante yang akhirnya Presiden Soekarno membubarkan Konstituante itu pada 5 juli 1959. Pada saat yang hampir sama, Soekarno melakukan nasionalisasi perusahaan asing. Karena ketidaksiapan dalam mengisi pengganti manajemen dari asing ke tangan nasional, maka dari sini pula sejarah bancakan perusahaan negara (belakangan dikenal BUMN), banyak dilakukan pihak-pihak partai.

Kedahsyatan korupsi mengalami momentum pada pemerintahan lebih 30 tahun Orde Baru. Di mulai korupsi skala mega yang dialami Pertamina (1975) dengan kerugian diperkirakan sekitar 12,5 miliar dolar AS tanpa ada tindakan hukum kepada pihak-pihak yang terlibat. Kemudian dengan mengalirnya dana utang luar negeri rata-rata 5 miliar dolar AS per tahun (saat lengser Pak Harto stok utang sekitar 70 miliar dolar AS), investasi langsung perusahaan asing, eksploitasi sumber daya alam (terutama migas dan hutan) yang menjadi sumber dana domestik yang kolosal, maka pertumbuhan dan perkembangbiakan jenis korupsi dari yang tradisional (upeti, sogok, perkoncoan, premanisme, dll) maupun bentuk baru (kolusi birokrat-pengusaha, kolusi bankir-pengusaha, mafia peradilan, penggelapan pajak, komersialisasi jabatan, kick-back dan mark-up proyek-proyek, rekayasa finansial, monopoli-oligopoli serta monopsoni-oligopsoni komoditas strategis, dst).

Kesemua itu menjadikan potensi pertumbuhan ekonomi yang bisa mencapai 12 persen menjadi hanya 7 persen per tahun. Perkiraan kebocoran anggaran bisa mencapai 30 persen hingga lebih dari 50 persen. Pada saat krisis tahun 1977 terjadi capital flight. Simpanan orang Indonesia di luar negeri akibat pelbagai kebocoran alias korupsi tersebut menurut Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) sekitar 85 miliar dolaar AS (atau sekitar Rp 750 triliun). Upaya pembentasan korupsi kala Orba sejak awal sudah ada. Mulai dengan adanya Komisi 4 dengan penasihatnya mantan Wapres Bung Hatta. Namun rekomendasinyapun tak digubris. Kemudian di luar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah tercantum dalam UUD 45, pemerintah Soeharto membentuk Inspektorat Jenderal di tiap lembaga negara dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai kontrol yang dikendalikan langsung presiden.

Namun efektivitasnya bukan hanya diragukan bahkan menjadi sumber kobocoran baru dengan terjadinya pengaturan laporan keuangan dan pelbagai bentuk KKN. Akhirnya BPK pun menjadi mandul dan malahan menjadi pengganda kebocoran. Wapres yang fokus kepada pengawasan serta juga ada menko dan menneg PAN yang juga bertugas untuk pengawasan pun hampir tak pernah terdengar kiprahnya. Barangkali semua itu karena sifat pemerintahan dan sistem politik otoritarian dan sentralistik sehingga sistem check and balance dari DPR maupun yudikatif menjadi lumpuh. Pers pun dibungkam bahkan para aktivis kritis pun banyak ditangkap.

Reformasi yang dilakukan sejak 1998 hingga sekarang juga baru menyentuh secara politik. Dan korupsi pun makin mengalami ramifikasi baik vertikal (menyebar ke daerah) maupun horizontal (bukan hanya di pemerintah dan lembaga yudikatif tapi juga ke DPR) sehingga popular dengan adanya ”korupsi berjamaah”. Modus operandinya di samping yang tradisional dan modern tak pernah hilang bahkan tipikal pascamodern pun bermunculan seperti lenyapnya keuangan negara ratusan triliun karena gelontoran dana rekap perbankan. Kemudian pembobolan bank (skala triliunan antara lain BNI, Mandiri), illegal logging, illegal fishing, penyelundupan komoditas strategis (migas, gula, beras, dst). Yang lebih baru adalah politik uang dalam sistem politik di pusat (KPU, pemilihan ketua partai, promosi jabatan di pemerintahan dan BUMN, dst), di daerah (pilkada oleh DPRD maupun pilkada langsung), dan masih banyak lagi. Upaya pemberantasan korupsi di masa reformasi ini dimulai momentum dengan adanya kebebasan pers dan kebebesan politik umumnya.

Dalam pelembagaannya dimulai dengan pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) yang mulai terjadi sedikit gereget dengan terungkapnya daftar kekayaan berbagai pejabat tinggi yang abnormal. Misalnya terungkapnya misteri kekayaan Jaksa Agung MA Rahman dan pejabat lainnya meski satu pun dari temuan itu tak ada tindak lanjut secara hukum. Malahan oleh pemerintahan Megawati KPKPN ini pun ”dibubarkan” dan dintegrasikan kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Pada pemerintahan Megawati keberadaan KPTPK ini pun sulit berperan, karena konon sulitnya pemberian izin bagi pejabat untuk diperiksa.

Baru sejak pemerintahan SBY sedikit terkuak harapan dengan lebih lancarnya izin tersebut dengan mulai adanya pemeriksaan (misal kasus KPU dan Bank Mandiri) bahkan juga mulai ada yang divonis (kasus pimpinan DPRD Sumbar dan pejabat daerah lainnya, kasus Gubernur Abdullah Puteh dan Kharis Walid). Patut dicatat dengan sedikit ada harapan ini, tak luput dari peran BPK sejak dipimpin Billy Joedono dan diteruskan oleh Anwar Nasution yang menguak data-data penyelewengan skala mega di pelbagai lembaga strategis. Namun, kesan masih memburu kasus sensitif secara politis dalam pemberantasan korupsi ini masih belum pupus, karena untuk kasus lebih kolosal semisal kasus BLBI yang nilainya puluhan triliun masih belum tersentuh sama sekali.

Dengan perkembangan tersebut, Indonesia menurut berbagai lembaga pemeringkat internasional sejak awal tahun 90-an hingga sekarang selalu masuk kategori negara terkorup. Gejala korupsi ini seperti belum terbersit harapan untuk pemberantasannya. Hal ini karena korupsi telah kadung menjadi kebudayaan.[6][6]

Hal-hal yang menyebabkan terjadinya korupsi antara lain:

  1. Kemiskinan

Korupsi dengan latar belakang kemiskinan berasal dari kebutuhan.

  1. Kekuasaan

Kekuasaan sering membuat orang bertindak sewenang-wenang dan mengambil keuntungan dengan kekuasaan yang dimilikinya.

  1. Budaya

Dari hasil penelitian Prof. Toshiko Kinoshita, Guru Besar Universitas Waseda Jepang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan sistem keluarga besar, yaitu masyarakat yang mempunyai nilai bahwa kesuksesan seorang anggota keluarga harus pula dinikmati oleh seluruh anggota keluarga besar itu.

  1. Ketidaktahuan

Ini adalah alasan yang mengada-ada karena dana yang diberikan sering tidak diketahui peruntukannya. Karena tidak tahu dan tidak perlu mencari tahu maka ketika ada masalah dana tersebut dijadikan sebagai korupsi.

  1. Rendahnya kualitas moral masyarakat
  2. Lemahnya kelembagaan politik suatu negara

Kelembagaan yang pertama adalah sistem hukum dan penerapannya. Jika kasus korupsi tidak ditangani sungguh-sungguh maka akan mengembangkan nilai dimata publik bahwa korusi ”aman” dilakukan asal membayar ”harga tertentu”.

  1. Menjadi penyakit bersama.

Sebagai sebuah penyakit maka dengan cepat menular dari kawasan satu kekawasan lain.

II. Dampak korupsi

Beberapa hal yang diakibatkan dari korupsi antara lain menimbulkan:

  1. 1. Kegagalan mencapai tujuan yang ditetapkan pemerintah.
  2. Menular kesektor swasta dalam bentuk usaha mengejar laba dengan cepat dan berlebihan, menyisihkan investor baru dan mengurangi pertumbuhan sektor swasta.
  3. Kenaikan harga administrasi karena pembayar pajak membayar beberapa kalilipat untuk pelayanan yang sama.
  4. Mengurangi jumlah dana yang disediakan untuk publik.
  5. Merusak moral aparat pemerintah.
  6. Menurunkan rasa hormat kepada kekuasaan yang akhirnya menurunkan legitimasi pemerintah.
  7. Pribadi yang hanya memikirkan diri sendiri, tidak mau berkorban untuk kemakmuran bersama di masa mendatang.

 

F. Hubungan antara Clean and Good Governance dengan gerakan Anti Korupsi

Clean and good governance meniscayakan adanya transparansi disegala bidang. Hal ini untuk mengikis budaya korupsi yang mengakibatkan kebocoran anggaran dalam penggunaan uang negara untuk kepentingan individu atau golongan bukan untuk kesejahteraan rakyat.  Dalam menciptakan situasi perang terhadap korupsi Didin S Damanhuri menyusun grand design:

Pertama, apapun kebijakan antikorupsi yang diambil, haruslah disadari bahwa kebijakan dan langkah-langkah tersebut hendaknya ditempatkan sebagai ”totok nadi” yang strategis, berkelanjutan, dan paling bertanggung jawab di antara semua langkah total football, estafet dari semua pihak yang peduli terhadap pemberantasan korupsi, baik dari kaum agamawan, akademisi, parlemen, LSM, pers, dunia internasional, dan seterusnya

Kedua, menghindari politik belah bambu yang menggunakan KPTPK, Kejaksaan, dan Polri untuk memburu pihak-pihak yang secara politis harus dikalahkan dan membiarkan pihak-pihak yang dianggap kawan politik.

Ketiga, keseriusan untuk mencari solusi terbebasnya TNI dan Polri dari dunia politik dan bisnis secara tuntas.

Keempat, euforia elite politik di pusat dan daerah dalam menikmati kebebasan politik, kebebasan berpendapat, dan kebebasan pers yang seharusnya semakin mendewasakan kehidupan berdemokrasi yang ujung-ujungnya juga mampu membangkitkan kembali kehidupan ekonomi dengan ukuran rakyat yang semakin sejahtera.[7][7]

G. Hubungan antara Good and Clean Governance dengan Kinerja Birokrasi Pelayanan Publik.

Dalam rangka menyelamatkan keuangan negara, banyak upaya pemerintah yang sudah dilaksanakan diantaranya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Kemudian dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah semakin jelas keseriusan pemerintah dalam hal pembenahan sistem pengelolaan keuangan negara, mengutip pendapat pakar bahwa selama ini yang diterapkan nampaknya masih lemah dan cenderung membuka peluang yang sangat besar bagi terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran.

Penerapan PP Nomor 60 Tahun 2008 bukan hanya tanggungjawab BPKP tetapi seluruh instansi pemerintah guna mewujudkan Good Governance untuk menuju Clean Government. Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) PP 60 tahun 2008 jelas bahwa BPKP mempunyai tugas yang cukup berat. Tentu bukan soal yang mudah dalam mempersiapkan personil yang dapat melaksanakan tugas tersebut, perlu adanya kesepahaman dalam mencermati secara komprehensif apa yang tertuang dalam PP tersebut.[8][8]

Dengan tiga pilar pelayanan publik menjadi titik setrategis untuk memulai pengembangan dan penerapan Clean and good governance di Indonesia. Tiga pilar tersebut yakni:

  1. Pelayanan publik selama ini menjadi tempat dimana negara yang diwakili pemerintah berinteraksi dengan lembaga non pemerintah.
  2. Pelayanan publik tempat dimana berbagai aspek Clean and good governance dapat diartikulasikan lebih mudah.
  3. Pelayanan publik melibatkan semua unsur yaitu pemerintah, masyarakat dan mekanisme pasar.

 

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

  1. Pemerintah atau ”Government” dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “The authoritative direction and administration of the affairs of men/women in a nation, state, city, etc” (pengarahan dan administrasi yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam sebuah negara, negara bagian, kota, dan sebagainya). Ditinjau dari sisi semantik, kebahasaan governance berarti tata kepemerintahan dan good governance bermakna tata kepemerintahan yang baik.
  2. Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan sembilan aspek fundamental dalam good governance yang harus diperhatikan yaitu :
  • Partisipasi (participation)
  • Penegakan Hukum (rule of law)
  • Transparansi (transparency)
  • Responsif (responsive)
  • Konsesus (consesus)
  • Kesetaraan (equity)
  • Efektivitas dan efisiensi
  • Akuntabilitas (accountability)
  • Visi Strategis
  1. Pemerintah atau government dalam bahasa Inggris adalah: “The auhoritative direction and administration of the affairs of men/women in a na-loft, state, city, etc.” Atau dalam bahasa Indonesia berarti “Pengarahan dan idministrasi yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam sebuah neg-ira, negara bagian, kota, dan sebagainya.” Bisa juga berarti “The governing )Ody of nation, state, city, etc.” Atau lembaga atau badan yang menyeleng-[arakan pemerintahan negara, negara bagian atau kota, dan sebagainya.
  2. Ada tiga karakteristik dasar good governance:
  • Diakuinya semangat pluralisme.
  • Tingginya sikap Toleransi,
  • Tegaknya prinsip demokrasi.
  1. Menurut Kartini Kartono korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang mengambil keuntungan pribadi dengan merugikan kepentingan umum atau negara.

 

B. Saran

  1. Agar dapat terwujud pemerintahan yang bersih,berwibawa dan bebas dari korupsi maka setiap kebijakan pemerintah harus berdasarkan azas – azas umum pemerintahan yang baik.
  2. Pemerintah harus senantiasa  secara konsisten melakukan pengawasan melekat dan terpadu  terhadap instansi – instansi / lembaga – lembaga pelayanan publik.

______________________________________________________________

[1][1] Srijanti,dkk. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa.( Jakarta : Graha Ilmu, 2009)

[2][2] A. Ubaedillah dan Abdul Rozaq, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta : ICCE  UIN Syarif Hidayatullah, 2007) Cet. IV, halaman 215

[3][3] Ibid. Srijanti,dkk.

[4][4] Ibid, halaman 218-228

[5][5] Ibid Srijanti,dkk.

[6][6] Didin S Damanhuri, Kompleksitas Korupsi , (Bogor :Pengamat Ekonomi Politik dan Guru Besar Ekonomi IPB, sumber opini agung prabowo  AGP )

[7][7] Ibid Srijanti,dkk.

[8][8] Situs Web BPKP, Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Barat, Bandung

Writer and Copy Right:
Dr. (Cand.) Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant
Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002

 

____________________________

HIMBAUAN PARTISIPASI:

Sebagai PEMILIK dan PENULIS artikel – artikel dalam Website https://beritahukum-kebijakanpublik.com, saya mengajak:

  • Mengajak VENDOR untuk memasang iklan pada artikel – artikel di website https://beritahukum-kebijakanpublik.com dengan langsung menghubungi saya;
  • Mempersilahkan rekan – rekan dan khalayak umum untuk mengcopy seluruh konten yang terdapat dalam website https://beritahukum-kebijakanpublik.com. Akan tetapi sebagai ungkapan KEPEDULIAN kiranya berkenan memberikan partisipasi sukarela melalui transfer ke rekening Bank BNI No. 0263783536 atas nama APPE HUTAURUK.

Semoga dengan kepedulian yang diberikan, saya dapat terus berkarya memposting artikel – artikel yang bermanfaat bagi dunia pendidikan, masyarakat serta bangsa dan negara.

#SalamPersasaudaraan:
APPE HAMONANGAN HUTAURUK

 

 

LAW  FIRM APPE  HAMONANGAN   HUTAURUK & ASSOCIATES
KETUA  UMUM  DPP LSM  KOMAKOPEPA
AKTIVIS’98

Leave a Reply