LOCUS DELICTI dan TEMPUS DELICTI
Locus delicti perlu diketahui untuk:
- Menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap perbuatan pidana tersebut atau tidak. Hal ini berhubungan dengan pasal 2 – 8 KUHP;
- Menentukan Kejaksaan dan Pengadilan mana yang harus mengurus perkaranya. Ini berhubungan dengan kompetensi relatif;
Tempus delicti adalah penting berhubungan dengan:
- Pasal 1 KUHP: Apakah perbuatan yang bersangkut – paut pada waktu itu sudah dilarang dan diancam dengan pidana;
- Pasal 44 KUHP: Apakah terdakwa ketika itu mampu bertanggung jawab?;
- Pasal 45 KUHP: Apakah terdakwa ketika melakukan perbuatan sudah berumur 16 tahun atau belum. Kalau belum berumur 16 tahun, maka boleh memilih antara tiga kemungkinan:
a. Mengembalikan anak tersebut kepada orang tuanya tanpa diberi pidana apapun;
b. Menyerahkan anak tersebut kepada pemerintah untuk dimasukkan rumah pendidikan;
c. Menjatuhi pidana seperti orang dewasa. Maksimum dari pidana – pidana pokok dikurangi ¼ (lihat pasal 47 KUHP);
- Pasal 79 KUHP (Verjaring atau kadaluarsa). Dihitung mulai hari setelah perbuatan pidana terjadi;
- Pasal 57 HIR. Diketahuinya perbuatan dalam keadaan tertangkap tangan (op heterdaad);
Sama sekali tidak ada ketentuan mengenai locus delicti dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia. Berbeda dengan undang – undang hukum pidana Jerman, didalam Pasal 3 ditentukan bahwa tempat perbuatan pidana adalah tempat dimana terdakwa berbuat atau dalam hal kelakukan negatif, dimana seharusnya terjadi. Dalam KUHP Indonesia juga tidak terdapat sama sekali ketentuan tentang tempus delicti.
Dalam teori hukum, terdapat 2 (dua) aliran atau ajaran tentang locus delicti, yaitu;
1) Aliran yang menentukan di satu tempat, yaitu tempat dimana terdakwa berbuat; Sebagai contoh dari aliran pertama adalah arrest Hoge Raad (HR) di Nederland tahun 1889 tentang Penipuan; Penganut aliran ini adalah Pompe;
2) Aliran yang menentukan di beberapa tempat, yaitu mungkin tempat kelakukan, dan mungkin pula tempat akibat; Menurut aliran ini, locus delicti adalah boleh pilih antara tempat dimana perbuatan dimulai dengan kelakuan terdakwa hingga perbuatan selesai dengan timbulnya akibat; Penganut aliran ini van Hammel, Jonkers dan van Bemmelen.
Ahli hukum menganut ajaran bahwa locus delicti boleh dipilih antara tempat dimana perbuatan dimulai dengan kelakukan terdakwa hingga perbuatan selesai dengan timbulnya akibat, salah satu diantaramya adalah Simons. Menurut Simons: “Strafbaar feit terdiri dari kelakukan dan akibat (handeling en gevolg). Tidak ada alasan satupun yang mendesakkan salah satu dari kedua hal ini dipandang sebagai locus delicti. Hanya apabila hal itu ditentukan oleh wet, maka salah satu itubaru dapat dipandang sebagai locus delicti”. Senada dengan itu, van Hamel, Jonkers dan van Bemmelen, juga mengemukakan teori yang sama.
Prof. Moeljatnao, SH. menyetujui pendapat Simons dengan mengatakan: “Perbuatan terdiri atas kelakukan dan akibat; karenanya tempat perbuatan adalah tempat kelakukan dan akibat. Jadi boleh dipilih tempat dan dimulainya kelakukan hingga berakhirnya akibat”. Selanjutnya menurut Prof. Moeljatno, SH., “Aliran kedua ini juga berlaku untuk tempus delicti, artinya: Waktu dilakukannya perbuatan pidana adalah waktu kelakukan dan waktu akibat, jadi boleh pilih diantara dua saat itu, menurut maksudnya aturan yang akan dikenakan”. Para Ahli hukum yang berpendirian sama dengan Moeljatno adalah Noyn Langemeyer, van Bemmelen, dan Jonkers.
Vos mengeritik pendirian Noyn Langemeyer, van Bemmelen dan Jonkers mengenai tempus delicti. Pada prinsipnya Vos mengatakan: “Jika waktu perbuatan pidana adalah waktu kelakuan atau waktu akibat, maka konsekuensinya adalah bahwa orang dapat membunuh orang lain pada saat pembunuh tadi sudah mati. Umpamanya A menembak B pada 21 Maret. A sendiri karena sakit jantung ketika itu juga mati, sedangkan B baru meninggal karena tembakan tadi pada tanggal 22 Maret”. Vos tidak dapat menerima teori yang demikian. Bahkan Vos berpendapat bahwa mengenai waktu terjadinya perbuatan pidana harus diambil waktu kelakukan terjadi (waktu terdakwa berbuat).
Jonkers menjawab pendirian Vos sebagai berikut: “Konsekwensinya dari pendirian Vos ialah bahwa orang dapat membunuh orang lain pada ketika yang dibunuh masih hidup, sebab jika diambil sebagai tempus delicti adalah waktu berbuat, maka pembunuhan terjadi pada 21 Maret, sedangkan ketika itu juga yang dibunuh masih hidup. Dia baru pada tanggal 22 Maret mati”. Menurut Jonkers, dalam hal semacam itu baik kedua tanggal dimasukkan dalam surat tuduhan.
Mezger berpendapat bahwa untuk tempus delicti tidak mungkin diadakan jawaban yang sama buat semua keperluan. Haruslah dibedakan menurut maksud daripada peraturan:
- Untuk keperluan kadaluwarsa dan hak penuntutan yang perlu ialah waktu perbuatan seluruhnya terjadi, jadi pada waktu sesudah terjadinya akibat;
- Untuk keperluan: apakah aturan – aturan hukum pidana berlaku atau tidak, dan untuk penentuan apakah mampu bertanggung jawab atau tidak, atau ada atau tidaknya perbuatan bersifat melawan hukum (karena ada atau tidaknya izin dari yang berwajib), tempus delicti adalah waktu melakukan kelakukan dan waktu terjadinya akibat disini tidak mempunyai arti.
Sependapat dengan Mezger adalah Hamel, Simons dan Hazewinkel Suringa. Dalam hal tersebut Hazewinkel Suringa menyatakan bahwa: “agar jangan sampai menimbulkan konsekwensi yang janggal, maka ditentukan dalam perkecualian dalam pasal 79 KUHP ke – 1, 2, dan 3”.
Penulis: Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.