“BUKTI PERMULAAN” atau “BUKTI YANG CUKUP” DALAM HUKUM ACARA PIDANA

Uncategorized

Criminal Law

BUKTI PERMULAAN atau  BUKTI YANG CUKUP  DALAM HUKUM ACARA PIDANA

 Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam Undang – Undang  Nomor 8 Tahun 1981.

Hal yang sangat signifikan dalam proses penegakan Hukum Pidana Materil dan dalam rangka mencari KEBENARAN MATERIL  di persidangan Pengadilan adalah PEMBUKTIAN, akan tetapi pada hakekatnya rangkaian proses tersebut harus dilakukan secara cermat dan professional sejak  mulai dari PENYELIDIKAN.

Penyelidik adalah petugas yang melakukan penyelidikan. Penyelidikan yaitu serangkaian tindakan mencari dan menemukan suatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan adanya dugaan “kejahatan” atau “tindak pidana” (secara eksplisit rumusannya diatur dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP jo. Pasal 1 angka 9 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian).

Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama atau permulaan  dari PENYIDIKAN. Akan tetapi penyelidikan bukan merupakan tindakan yang berdiri sendiri atau terpisah dari fungsi penyidikan (tetapi sebaliknya, kedua tahapan atau proses tersebut merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan satu dengan  lainnya).

Dalam Buku Petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP dijelaskan bahwa: “Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada Penuntut Umum”.

Maksud dan tujuan  dilakukannya penyelidikan adalah untuk mengumpulkan “BUKTI PERMULAAN” atau “BUKTI YANG CUKUP” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Sebelum KUHAP berlaku, terhadap pengertian penyelidikan, dipergunakan istilah “opspornig” atau “orderzoek”, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut “Investigation”.

Pembuktian merupakan bagian yang terpenting dari keseluruhan proses pemeriksaaan perkara di sidang pengadilan, baik perkara pidana maupun perdata karena dari pembuktian  akan ditarik suatu kesimpulan yang dapat mempengaruhi keyakinan  Hakim dalam menilai perkara yang diajukan. Hakim memberikan putusanya berdasarkan atas penilaianya terhadap fakta – fakta yang terungkap di persidangan melalui  PEMBUKTIAN.

Menurut Moeljatno, membuktikan adalah memberikan kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang:

  1. Apakah hal yang tertentu itu benar – benar terjadi?
  2. Apakah sebabnya demikian?

Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan bahwa membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.

Yang dimaksud dengan ALAT BUKTI adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan/peristiwa, dimana dengan alat – alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan Hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh Terdakwa.

Hakim dapat membatalkan DAKWAAN Jaksa Penuntut Umum, dengan pertimbangan dakwaan tidak jelas ditujukan kepada siapa. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kekeliruan mengenai orang atau pelaku tindak pidana sebenarnya (error of subjektum).

Dalam alasan mencari kebenaran materil, maka asas akusator (accusatoir) yang memandang terdakwa sebagai pihak sama/setara  dalam perkara perdata, ditinggalkan dan diganti dengan asas inkisitor (inquisitoir) yang memandang tersangka/terdakwa sebagai obyek pemeriksaan, bahkan kadangkala dipakai alat penyiksa untuk memperoleh pengakuan tersangka/terdakwa.

Dalam menilai kekuatan pembuktian “ALAT – ALAT BUKTI” maka  dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu:

  • Teori atau Sistem Pembuktian Berdasar Undang – Undang secara Positif (positief  wettelijk bewijstheorie)  atau disebut juga Teori Pembuktian Formal (formele bewijstheorie) yaitu pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat – alat pembuktian yang disebutkan dalam undang – undang, sedangkan keyakinan Hakim tidak diperlukan sama sekali. Menurut D. Simons, sistem atau teori pembuktian berdasar undang – undang secara positif (positief wettelijk) berusaha mengikat Hakim secara ketat menurut peraturan – peraturan pembuktian yang keras. Sistem ini dianut di Eropa pada masa berlakunya asas inkisitoir (inquisitoir) dalam acara pidana;
  • Teori atau Sistem Pembuktian menurut Keyakinan Hakim Melulu (Conviction intime) yaitu sistem pembuktian dimana putusan pidana dimungkinkan tanpa didasarkan pada alat – alat bukti dalam undang – undang, akan tetapi pelaksanaan pembuktian seperti pemeriksaan dan penilaian alat – alat bukti hanya didasarkan semata – mata pada keyakinan Hakim. Sistem pembuktian seperti ini dianut dianut oleh peradilan JURY seperti di PERANCIS;
  • Teori atau Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis (La Conviction Raisonnee) yaitu pembuktian dalam hal mana Hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya dengan dasar – dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) dan motivasi  yang berlandaskan peraturan – peraturan pembuktian tertentu.

Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis (La Conviction Raisonnee) terpecah dengan munculnya Teori Pembuktian berdasarkan undang – undang secara negatif  (negatief wettelijk bewijstheorie). Persamaannya adalah kedua teori pembuktian tersebut didasarkan pada keyakinan Hakim (artinya Terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan Hakim bahwa ia bersalah). Perbedaannya ialah Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis (La Conviction Raisonnee) harus didasarkan pada keyakinan Hakim tetapi keyakinan  tersebut harus didasarkan pada alasan/kesimpulan yang  logis yang tidak didasarkan pada undang – undang (tetapi didasarkan pada keyakinan Hakim menurut pilihannya sendiri mengenai pelaksanaan pembuktian mana yang ia pergunakan. Sedangkan Teori Pembuktian berdasarkan undang – undang secara negatif menentukan bahwa keyakinan Hakim harus berpangkal tolak pada pada aturan – aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif  oleh undang – undang. HIR maupun KUHAP menganut Teori Pembuktian berdasarkan undang – undang secara negatif  (negatief wettelijk bewijstheorie) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP dan Pasal 294 ayat (1) HIR.

Copy Right by:
Dr. Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.