PERJANJIAN YANG SAH  HARUS  MENDAPAT PENGAKUAN HUKUM

PERJANJIAN YANG SAH  HARUS  MENDAPAT PENGAKUAN HUKUM

 

Suatu kontrak atau perjanjian  merupakan persetujuan menyatakan kehendak secara bebas yang diakui oleh hukum. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pada kenyataannya hukum tidak mengakui semua perjanjian yang dibuat oleh pihak – pihak yang mengikatkan dirinya dalam suatu kesepakatan. Sebagai perbandingan (comparison) mengenai syarat – syarat sahnya suatu perjanjian dapat dikemukakan  antara konsepsi Hukum Perdata Indonesia dengan konsepsi hukum yang dianut oleh negara Inggeris.

Dalam konteks hukum positif (positive law) yang berlaku di Indonesia, maka pengakuan hukum terhadap sahnya suatu sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1338 KUHPerdata harus bersesuaian dengan syarat – syarat fundamental yang secara eksplisit ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Sedangkan apabila merujuk pada konsepsi hukum yang berlaku di negara Inggris maka syarat – syarat pokok yang harus dipenuhi oleh suatu perjanjian agar diakui oleh hukum sebagai suatu perjanjian yang sah sehingga orang/pihak yang dirugikan dapat menuntut pembayaran ganti rugi, yaitu:

 

  1. MAKSUD MENGADAKAN PERJANJIAN (Intention)

Pihak – pihak yang mengadakan perjanjian harus “bermaksud” agar perjanjian yang mereka buat mengikat secara sah. Apabila timbul sengketa (dispute) maka Pengadilan harus yakin tentang maksud mengikat secara sah tersebut. Mengikat secara sah artinya perjanjian itu menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak – pihak yang diakui oleh hukum.

2. PERSETUJUAN YANG TETAP (Agreement)

Para pihak harus mencapai persetujuan yang tetap, yang ditunjukkan dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran dan tidak sedang berunding. Perundingan adalah tindakan yang mendahului tercapainya persetujuan tetap (dari Letter of Intent menjadi Memorandum of Understanding).Pada saat pihak – pihak mengadakan perundingan, maka dianggap belum ada persetujuan yang tetap. Setelah perundingan selesai dimana tawaran pihak yang satu diterima oleh pihak yang lainnya, artinya telah tercapai “KATA SEPAKAT” tentang pokok perjanjian maka pada saat itu telah tercapai persetujuan yang tetap.

3. PRESTASI (Consideration)

Dalam prakteknya, hukum Inggeris hanya akan memberi pengakuan terhadap kontrak atau perjanjian yang bukan berisi janji – janji belaka. Oleh karena itu suatu perjanjian harus dengan tegas menentukan prestasi timbal balik  masing – masing pihak (model ini merupakan ciri khusus sistem hukum Common Law, yang berbeda dengan model yang dianut sistem hukum Civil Law yang dianut negara – negara  Eropa Kontinental seperti yang diterapkan di negara Skotlandia).

4. BENTUKNYA (Form)

Bentuk kontrak atau perjanjian dapat secara lisan atau tertulis (dalam suatu surat atau akta), namun demikian terhadap beberapa jenis perjanjian tertentu hanya berlaku apabila dibuat dalam bentuk tertulis.

5. SYARAT – SYARAT TERTENTU (Definite Term)

 Syarat – syarat yang ditentukan dalam suatu perjanjian harus tegas sehingga memungkin Pengadilan mengetahui dengan pasti hal – hal apa saja yang telah disepakati oleh para pihak  dalam perjanjian tersebut. Apabila syarat – syarat tersebut tidak jelas (dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda karena klausulanya samar – samar atau kabur) sehingga sulit dimengerti maka hukum tidak akan mengakui perjanjian tersebut, sehingga dianggap tidak berlaku.

6. KAUSA YANG HALAL (Legality)

Setiap perjanjian yang bertentangan dengan ketertiban umum (public policy) adalah dilarang dan sama sekali tidak diperbolehkan oleh hukum (misalnya: Pengadilan tidak akan mengabulkan tuntutan ganti rugi yang diajukannya, apabila orang yang menyuruhnya membunuh tidak  memberi bayaran).

Writer and Copy Right:
Dr. (Cand.) Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant
Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002

 

 

News Feed