ASAS ITIKAD BAIK DALAM JUAL BELI TANAH
Jual beli merupakan salah satu perjanjian bernama, jual beli ini adalah perjanjian yang paling banyak dipakai masyarakat baik oleh masyarakat bisnis maupun bukan bisnis. Salah satu perjanjian jual beli yang sering dilakukan oleh masyarakat adalah jual beli dalam bidang pertanahan. Walaupun jual beli ini merupakan perjanjian ini yang paling banyak dipakai masyarakat, tetapi sangat sedikit Pustaka yang membahas jual beli dalam bidang pertanahan secara mendalam.
Perjanjian jual beli dalam bidang pertanahan dalam pratiknya sering kali melahirkan sengketa, konflik maupun perkara, baik pada saat pra perjanjian dan pada pelaksanaan perjanjiaN. Hal yang paling mendasari terjadinya kasus jual beli dalam bidang pertanahan adalah adanya itikad buruk dalam pelaksanaan jual beli dan/atau ketidaktahuan atas pelaksanaan itikad baik bagi penjual dan pembeli dalam melakukan jual beli tanah.
Istilah jual beli dalam Hukum Perjanjian Indonesia diadopsi dari istilah koop en verkoop dalam Bahasa belanda. Hukum belanda juga mengikuti konsep emptio vendito yang berasal dari hukum romawi. Dalam hukum romawi istilah jual beli adalah emptio vendito. Emptio bermakna membeli, kemudian vendition bermakna sebagai penjual. . Dari istilah tersebut terlihat hubungan yang bersifat timbal balik antara dua pihak yang melakukan perbuatan hukum yang berbeda, pihak yang satu melakukan Tindakan hukum untuk menjual, dan pihak yang lain melakukan tindak untuk membeli.
Di Indonesia dengan mendasarkan diri pada Pasal 1457 Burgerlijk Wetboek yang diterjemahkan dengan istilah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata), jual beli adalah suatu persetujuan atau perjanjian yang mengikat penjual dan pembeli, pembeli mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu barang yang disetujui bersama, dan pembeli mengikatkan diri untuk membayar harga barang yang disetujui bersama (koop en verkoop is eene overeenkomst waarbij de eene zich vebind om eene zaak te leveren e andere om daar voor den bedogen prijs te betalen).
Berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik (zij moten te goeder trouw worden ten uitvoer verklaart). Ketentuan ini sangat asbtrak. Tidak ada pengertian dan tolok ukur itikad baik dalam KUHPerdata. Oleh karena itu, perlu dicari dan ditelusuri makna dan tolok ukur itikad baik tersebut yang dapat dijelaskan melalui teori-teori hukum yang ada.
Menurut Ridwan Khairandy, tolok ukur itikad baik dalam pelaksanaan jual beli dapat dibedakan pada tahap pra perjanjian dan pelaksanaan perjanjian. Itikad baik pada tahap pra perjanjian merupakan kewajiban untuk memberitahukan atau menjelaskan dan meneliti fakta bagi para pihak yang berkaitan dengan pokok yang dinegosiasikan dengan pokok yang dinegosiasikan itu.
Sehubungan dengan hal ini, putusan-putusan Hoge Raad menyatakan bahwa pada pihak yang bernegosiasi (penjual dan pembeli) masing-masing memiliki kewajiban itikad baik, yakni kewajiban untuk meneliti (onderzoekplicht) dan kewajiban untuk memberitahukan atau menjelaskan (mededelingsplicht).
Dalam konteks jual- beli bidang pertanahan, asas itikad baik pra kontrak ini menjadi suatu hal yang penting. Sebagai contoh dalam jual beli hak atas tanah, orang yang akan membeli hak atas tanah tersebut wajib meneliti: (1) Surat Jual Beli Hak Atas Tanah (2) Pemilik Hak Atas Tanah (3) jenis hak atas tanah apakah hak atas tanah tersebut merupakan hak atas tanah berjangka waktu atau tidak, (4) apakah hak atas tanah tersebut dibebankan jaminan atau tidak, (5) apakah pemegang hak atas tanah melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai pemegang hak atas tanah yaitu melakukan pemanfaatan sesuai dengan ketentuan pasal 6, pasal 10 dan pasal 15 UUPA dan tujuan keputusan TUN dalam pemberian hak nya (6) kewajiban menjaga tanda-tanda batas termasuk pemeliharaannya sebagaimana diatur di dalam Pasal 17 ayat (3) PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, karena potensi kasus pertanahan sering diakibatkan karena sengketa batas bidang tanah.
Bilamana tidak dilakukan penelitian sebagaimana dijelaskan di atas, bahkan transaksi terus dilanjutkan padahal kemudian ternyata tanah tersebut mempunyai suatu persoalan hukum, maka pembeli yang demikian ini termasuk pembeli yang beritikad buruk dan tidak akan dilindungi hukum.
Selanjutnya dipihak lain, penjual memiliki kewajiban untuk menjelaskan semua informasi yang diketahui dan penting bagi pembeli sebagaimana hak dan kewajiban yang melekat pada hak atas tanah sebagai objek perjanjian. Menurut Ridwan Khairandy Kalau penjual telah menyatakan dengan tegas seluruh informasi dan tidak terdapat dugaan pelanggaran hukum, pembeli dapat mempercayai pernyataan itu, dan pembeli itu tidak perlu meneliti lagi. Hakim harus mempertimbangkan kewajiban-kewajiban itu satu dengan lainnya dengan ukuran itikad baik (Ridwan Khairandy, 2014:136).
Selanjutnya itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian dalam beberapa sistem hukum perjanjian, seperti hukum perjanjian jerman dan hukum perjanjian belanda, itikad baik dibedakan antara itikad baik subjektif dan objektif. Itikad baik subjektif (subjective goede trouw) didasarkan dengan sikap batin atau kewajiban (pyschisce gestelheid), yakni apakah yang bersangkutan menyadari atau mengetahui bahwa tindakannya bertentangan atau tidak beritikad baik.
Standar atau tes bagi itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian tentunya adalah standar objektif. Standar yang mengacu kepada suatu norma yang objektif. Perilaku para pihak dalam perjanjian harus diuji atas dasar norma-norma objektif. Norma tersebut dikatakan objektif karena tingkah laku tidak didasarkan pada anggapan para pihak sendiri, tetapi tingkah laku tersebut harus sesuai dengan anggapan umum tentang itikad baik tersebut. pelaksanaan objektifitas yang paling sederhana dapat dilihat melalui apakah para pihak melaksanakan isi perjanjian sesuai dengan yang telah diperjanjikan.
Pandangan lebih luas dalam hukum perjanjian, itikad baik objektif mengacu kepada ketaatan akan reasonable commercial standart of fair dealing, yang menurut legislator Belanda disebut bertindak sesuai dengan redelijkheid en billijkheid (reasonableness and equity). ini benar-benar standar objektif. jika satu pihak tidak boleh bertindak dengan cara tidak masuk akan dan tidak patut will not be a good defense to say that honestly believed his conduct to be reasonable and inequitable