ASPEK HUKUM TIPIKOR DALAM PENGADAAN
BARANG DAN JASA
Pengadaan Barang/Jasa merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kegiatan pemerintahaan yang bertujuan menyediakan prasarana pendukung baik untuk kegiatan pelayanan publik dan penunjang aktivitas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Sering terjadi salah kaprah di dalam masyarakat tentang kegiatan pemerintah yang melakukan pengadaan barang dan jasa. Masyarakat luas menganggap bahwa pengadaan barang/jasa merupakan kegiatan administratif pemerintah semata, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan masyarakat. Akan tetapi ketika kegiatan pembangunan tersebut dilakukan ternyata memberikan dampak terhadap hajat hidup mereka, barulah masyarakat menyadari arti penting pengadaan barang/jasa oleh pemerintah. Karena pengadaan barang/jasa membutuhkan pendanaan yang begitu besar jumlahnya, selain itu kebutuhan pemerintah yang rutin dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjadikan Keppres 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa sebagai instrument hukum yang sering digunakan. Walaupun demikian Keppres tersebut tidak tanpa kelemahan. Hal ini dikarenakan Keppres 80 Tahun 2003, hanya digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan ada dan tidaknya indikasi pelanggaran administratif, hukum keperdataan yang berkaitan dengan kontrak kerja, dan tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang pejabat pemerintahan. Kemudian menjadi permasalahannya bilamana ketentuan hukum yang berlaku sekarang dapat diterapkan apabila terjadi tindak pidana-tindak pidana terkait persekongkolan tender, tindak pidana korupsi dengan modus pengelembunggan harga (mark up), perbuatan curang, penyuapan, penggelapan, pengadaan fiktif, pemberian komisi, pemalsuaan, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain akibat pengadaan barang/jasa berupa pembangunan gedung untuk prasarana dan fasilitas publik, yang mengalami kegagalan konstruksi. Mengacu pada permasalah tersebut, ternyata kegiatan pengadaan barang/jasa termuat kompleksitas hukum di dalamnya. Seperti yang dicontohkan dalam buku referensi ini tentang pengadaan barang/jasa prasana publik berupa Jembatan Mulyorejo yang dibangun dengan APBD Pemerintah Provinsi Jawa Timur, kemudian mengalami kegagalan konstruksi dan menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Menarik untuk di analasis dalam peristiwa hukum tersebut, yaitu tentang siapa dan bagaimana pertanggungjawaban pidana para pelaku usaha (perseorangan maupun badan usaha berbentuk korporasi) yang terlibat dalam proyek pemborongan pembangunan jembatan Mulyorejo yang mengalami kegagalan konstruksi dan menyebabkan hilangnya nyawa orang lain.
Pasal yang sering menjadi acuan para penegak hukum untuk menetapkan ada tidaknya perbuatan korupsi adalah Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi. Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan, sedangkan Pasal 3 UU 20/2001 mengatur: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Kata-kata dapat ini merupakan wujud dari delik formil yang bersifat karet, jadi asalkan dapat dibuktikan bahwa telah terjadi peluang merugikan keuangan atau perekonomian negara, meskipun belum tentu sudah nyata terjadi kerugian negara, atau kerugian negara belum faktual, maka pelaku dapat dipidana.
Ternyata implikasi dari pemberlakuan pasal diatas hingga saat ini, ada terpidana korupsi yang merasa dia tidak bersalah karena merasa tidak memiliki niat dan perbuatan jahat untuk memperkaya dirinya sendiri, orang lain, atau korporasi. Rupanya aparat penegak hukum pada saat melakukan penyidikan menekankan pada adanya kerugian negara. Padahal, tidak semua kerugian negara harus berujung dalam ranah pidana.
Masalahnya menjadi lebih pelik lagi kalau kondisinya berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah, karena hal ini menyangkut kewenangan berjenjang mulai dari pengguna anggaran, kuasa pengguna anggran, pejabat pembuat komitmen, sampai dengan unit layanan pengadaan merupakan rangkain yang bisa diminta pertanggungjawaban jika ditemukan suatu pengadaan barang dan jasa yang dapat merugikan negara. Tanpa bermaksud untuk melakukan pembelaan terhadap Dahlan Iskan, contoh kasus yang menimpa beliau dapat dijadikan salah satu contohnya. Kasus ini berawal dari pembangunan megaproyek Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terhadap 21 unit Gardu Induk Jawa-Bali-Nusa Tenggara yang sudah dimulai pada Desember 2011, tatkala Dahlan Iskan sebagai Direkur Utama yang merangkap pula sebagai kuasa pengguna anggaran untuk proyek di atas. Ia kemudian dinyatakan sebagai tersangka atas kasus ini yang detilnya tidak dipaparkan pada tulisan ini.
Secara umum penyidik memulai investigasi suatu proses hukum tindak pidana korupsi pada pengadaan barang dan jasa pemerintah, dengan melihat ada tidaknya kerugian negara. Penyidik tidak memulai penyidikannya dengan menelusuri ada tidaknya niat jahat dari pelaku untuk memperkaya dirinya sendiri, orang lain, atau korporasi. Padahal, tidak semua proses bisnis selalu berujung untung. Menjadi repot lagi jika kemudian ditelusuri terkait unsur melawan hukumnya dari kesalahan administratif hingga pengambilan keputusan atau kebijakan yang pada kemudian hari dianggap salah.Hal lain yang perlu dicermati adalah ketika pelaku yang disidik dianggap memperkaya orang lain atau korporasi. Jika keuntungan yang diperoleh dari orang lain atau korporasi merupakan proses yang tidak berkaitan dengan niat jahat pelaku korupsi, hal tersebut tidak seharusnya dikategorikan sebagai memperkaya orang lain atau korporasi.
Adalah wajar jika orang lain atau korporasi dalam pengadaan barang atau jasa dengan pemerintah mendapat keuntungan. Penulis berpendapat, seharusnya apabila tindakan memperkaya orang lain atau korporasi itu berkaitan erat dengan niat jahat (mens rea) dari pelaku korupsi, barulah perbuatan itu layak masuk ke dalam ranah tindak pidana korupsi. Korupsi yang merupakan musuh bersama tentu harus diperangi. Namun, jangan sampai munculnya kerugian negara tanpa bukti niat dan perbuatan jahat menjadikan seseorang sebagai tersangka, terdakwa, bahkan terpidana.