PRAKTEK PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERKARA KORUPSI
Dalam konteks pemberantasan Kejahatan atau Tindak Pidana Korupsi, maka masyarakat global yang diwakili oleh masing – masing negara sebagai subyek hukum menyamakan persepsi bahwa korupsi merupakan musuh bersama karena korupsi bisa menghambat akselerasi pemerataan pembangunan, meningkatnya angka kemiskinan, mendegradasikan “ketenteraman hidup bersama” karena tidak tercapai kemakmuran. Kebijakan demi kebijakan terus digalakkan untuk memberantas korupsi yang telah menggurita serta menyebar dalam berbagai aspek sendi – sendi kehidupan di Indonesia. Upaya dan kebijakan tersebut dilakukan baik dengan langkah pencegahan maupun penindakan. Regulasi hukum sebagai “parameter timbangan” dan “pedang pemusnah” sudah ditempa dan dibentuk sangat solit dan akurasi yang tajam, akan tetapi sampai saat ini masih belum mampu menuntaskan semangat pemberantasan korupsi.
Fenomena factual di Indonesia yang tidak dapat diingkari adalah tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa (extra ordinary) seperti yang termaktub dalam konsideran Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Secara preventif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang Independen sudah membuat langkah-langkah yang logis dengan adanya kewajiban pelaporan harta kekayaan Pejabat Publik, begitu pula Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) telah menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE/05/M.PAN/04/2005 dalam rangka menguji integritas pejabat publik. Namun demikian, masih saja ada pejabat publik yang belum melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) kepada KPK, hal ini menunjukkan masih lemahnya kesadaran pejabat publik untuk turut bekerja sama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan semangat pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi sangat relevan, urgent dan significant dilakukan teknik dan strategi “Pembuktian Terbalik” dalam kontreks persidangan perkara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan. Hal tersebut sesuai dengan Penjelasan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu Pembuktian terbalik adalah pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa. Pembenahan Pembuktian kepada terdakwa guna membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Praktik pembuktian terbalik di Indonesia belum secara tegas dan konsisten diterapkan dalam pemeriksaan perkara di persidangan Pengadilan, oleh karena pada kenyataannya dalam persidangan perkara – perkara tipikor masih fokus menggunakan pembuktian biasa yang diatur sesuai ketentuan dalam dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dalam hal tersebut “Beban Pembuktian” sepenuhnya diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Menurut sejarahnya, konsep pembalikan beban pembuktian bermula dari sistem pembuktian yang dikenal dari negara – negara yang tergolong dalam rumpun Anglo-Saxon dan terbatas pada “certain cases”, khususnya terhadap tindak pidana “gratification” atau pemberian yang berkorelasi dengan “bribery” (suap), seperti Inggris atas dasar “Prevention of Corruption Act 1916” terdapat pengaturan apa yang dinamakan “Praduga korupsi untuk kasus-kasus tertentu” (Presumption of corruption in certain cases), Singapura atas dasar “Prevention of Corruption Act (Chapter 241)”, dan Malaysia atas dasar Pasal 42 Akta Pencegahan Rasuah 1997 “(Anti-Corruption Act 1997 (Act 575)” yang mulai berlaku sejak tanggal 8 Januari 1998.
Pada hakekatnya, negara Indonesia sudah memiliki aturan dan kebijakan legislasi mengenai pembuktian terbalik, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang – undangan yang bersifat “Lex Specialis derogat Lex Generalis” di antaranya Pasal 5 ayat 1 Undang – Undang Nomor 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, juga Pasal 17 ayat 1, Pasal 18 ayat 2, Pasal 4 Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, demikian pula Pasal 37 ayat 1 dan 2 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 pengganti Undang – Undang No. Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan demikian, seyogyanya oleh karena pranata “Pembuktian Terbalik” sudah diatur melalui kebijakan yang ada seharusnya para penegak hukum sudah dapat mengimplementasikan Sistem Pembuktian Terbalik dalam kasus korupsi, namun dalam tataran praktis masih mengalami delimatik yang cukup kompleks antara Sistem Pembuktian Terbalik yang berada di UU Khusus dengan asas Presumption of Innocent dan non self-incrimination, serta sistem pembuktian yang dikenal dalam KUHAP, sehingga kasus korupsi yang ada di Indonesia belum terimplementasi meskipun sudah memiliki payung hukum yang jelas.
Penanganan kasus berjalan dengan cukup lambat dan berbelit-belit ditambah dengan modus para pelaku korupsi yang semakin canggih, selain itu varian korupsi di Indonesia cukup beragam, sehingga kategori tindak pidana korupsi tidak hanya terbatas pada gratifikasi dan penyuapan seperti yang atur di negara-negara Anglo-Saxon. Secara umum, dalam tataran teoritis – yurisidis maka Indonesia mengkualifikasikan KEJAHATAN KORUPSI paling tidak beberapa kategori tindak pidana korupsi yaitu, kerugian keuangan negara, penyuapan, pemerasan, penggelapan jabatan, kecurangan, benturan kepentingan pengadaan barang dan jasa, serta gratifikasi. Oleh karena itu, bila proses penegakan hukum dengan menggunakan sistem pembuktian terbalik diterapkan maka dengan konsep tersebut para Terdakwa sebagai koruptor akan kesulitan untuk mengingkari harta hasil kejahatannya melalui pembuktian terbalik.
Beban pembuktian terbalik memiliki keuntungan dalam proses penegakan hukum pidana dalam konteks tindak pidana korupsi, karena dalam hal pembuktian terbalik beban pembuktian dibebankan kepada terdakwa serta terdakwa maupun penasihat hukumnya harus mampu membuktikan dan meyakinkan majelis hakim bahwa terdakwa tidak melakukan korupsi, Pembuktian Terbalik bisa menjadi langkah preventif dalam memberantas tindak pidana korupsi karena memberikan konsekuensi kepada para pejabat publik khususnya yang mana dia mengabdi dan bekerja kepada kepentingan rakyat bukan pada kepentingan pribadi apalagi memperkaya diri sendiri dengan cara melawan hukum akan berpikir lebih panjang bila akan melakukan korupsi selain itu mempermudah proses penegakan hukum dalam rangka mempermudah pengembalian keuangan negara bila memang tidak mampu membuktikan dari mana asal muasal kekayaan yang didapatkan (asset recovery).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bawah Pembuktian Terbalik di Indonesia sudah memiliki payung hukum, akan tetapi di Indonesia belum terimplementasikan mengingat baik dari segi modus dan jenis tindak pidana korupsi di Indonesia memiliki banyak kategori tidak hanya terbatas pada gratifikasi dan penyuapan, selain itu adanya benturan asas dalam konteks Sistem Pembuktian di dalam KUHAP dengan yang diatur dalam peraturan perundang – undangan yang bersifat khusus, kemudian Pembuktian Terbalik bisa menjadi langkah preventif dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia serta mempermudah melakukan pengembalian keuangan negara (asset recovery).