IDEOLOGI LIBERAL
Liberalisme (liberalism) atau Liberal adalah sebuah ideologi (ideology), pandangan filsafat (philosophy view), dan tradisi politik (political tradition) yang didasarkan pada konsep pemikiran (concept of thought) bahwa kebebasan dan persamaan hak (freedom and equality rights) adalah nilai politik yang utama (main political value). Sekitar akhir abad XVIII di Eropa terutama di Inggris terjadi suatu revolusi dibidang ilmu pengetahuan (science), kemudian berkembang kearah revolusi teknologi dan industri (technological and industrial revolution). Perubahan fundamental tersebut membawa perubahan orientasi kehidupan bermasyarakat baik di bidang sosial, ekonomi maupun politik. Faham liberal atau liberalisme (liberalism) berkembang dari akar – akar rasionalisme yaitu paham yang meletakkan rasio sebagai sumber kebenaran tertinggi, materialism yang meletakkan materi sebagai nilai tertinggi, empirisme yang mendasarkan atas kebenaran fakta empiris (yang dapat ditangkap dengan indera manusia), serta individualisme yang meletakkan nilai dan kebebasan individu sebagai nilai tertinggi dalam kehidupan masyarakat dan negara (life of community and state).
Berpedoman pada dasar ontologis maka dapat dinyatakan bahwa manusia pada hakekatnya adalah sebagai makhluk individu yang bebas (free individual beings). Menurut paham liberalisme, manusia dipandang sebagai pribadi (personal) yang utuh dan lengkap dan terlepas atau tidak tergantung dari manusia lainnya. Manusia sebagai individu memiliki potensi dan senantiasa berjuang untuk dirinya sendiri. Dalam pengertian inilah maka dalam hidup masyarakat bersama akan menyimpan potensi konflik (potential conflict), manusia akan menjadi ancaman bagi manusia lainnya yang menurut istilah Thomas Hobbes disebut “homo homini lupus”, sehingga manusia harus membuat suatu perlindungan bersama (joint protection), atas dasar kepentingan bersama (common interest). Negara (state) menurut faham liberal harus tetap menjamin kebebasan individu (individual freedom), sehingga manusia secara bersama – sama (collective) mengatur negara untuk mencapai tujuan dan kepentingan bersama (to achieve common goals and interests).
Zbigniew Brzezinski mengemukakan bahwa ideologi, “ceases to be intellectual abstraction and becomes an active social agent, or an ideology, when it is applied to concrete situations and becomes a guide to action”. Menurut pandangan ini, ideologi merupakan abstraksi intelektual dan menjadi agen sosial aktif ketika diterapkan dalam situasi nyata dan menjadi patokan – patokan tindakan”.[1]
Menurut Budi Winarno, “Di Indonesia, perdebatan ideologi ini telah menyedot banyak perhatian di awal – awal kemerdekaan dan terus bergaung hingga beberapa waktu sesudahnya. Perdebatan ideologis ini mencapai puncaknya pada masa Orde Lama dan akhirnya dituntaskan pada masa Orde Baru melalui paksaan diskursif”.[2]
Kehidupan bersama masyarakat dalam suatu negara, maka kebebasan individu (individual freedom) sebagai basis demokrasi adalah merupakan unsur yang fundamental. Nilai – nilai demokrasi yang demikian merupakan referensi model demokrasi di berbagai negara pada awal abad ke – 19. Akan tetapi, dalam kapasitas manusia sebagai rakyat atau warga negara dalam negara, maka sering terjadi perbedaan persepsi atau dasar pemikiran (basic of thinking). Liberalisme tetap pada suatu prinsip baku (standard) bahwa rakyat adalah merupakan ikatan dari individu – individu yang bebas, dan pertalian hukum (legal relations) yang mendasari kehidupan bersama dalam negara. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Faham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Dalam lingkungan masyarakat modern (modern society), liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama – sama didasarkan pada kebebasan mayoritas (majority freedom).
Pada hakekatnya terdapat 3 (tiga) unsur mendasar dari “Ideologi Liberalisme” yakni: Kehidupan (life), Kebebasan (liberty) dan Hak Milik (property), dimana unsur – unsur mendasar tersebut menghasilkan nilai – nilai sebagai berikut:
- Kesempatan yang sama (Hold the basic equality of all human being) ~ Manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Karena kualitas manusia yang berbeda – beda, sehingga dalam menggunakan persamaan kesempatan itu akan berlainan tergantung kepada kemampuannya masing – masing. Namun demikian, persamaan kesempatan (equal opportunity) adalah suatu nilai yang mutlak dari demokrasi;
- Berdasarkan adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, di mana setiap orang mempunyai hak yang sama (everyone has the same right) untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian masalah – masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara musyawarah (discussion) dan dilaksanakan dengan kesepakatan, dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan egosentrik individual ( Treat the others reason equally);
- Pemerintah (government) harus mendapat persetujuan dari yang diperintah yaitu rakyat (the people). Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat.(Government by the Consent of The People or The Governed);
- Penegakkan aturan hukum (The Rule of Law) ~ Fungsi negara adalah untuk membela dan mengabdi pada rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Perlakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan kewajiban hukum (legal obligation) Pemerintah dalam konteks penguasa territorial. Dalam Rule of law, harus terdapat patokan atau pedoman mengenai peraturan tertinggi (Undang – Undang Dasar atau Konstitusi), adanya persamaan kedudukan dihadapan hukum, dan kesetaraan status sosial;
- Fokus perlindungan hukum oleh negara adalah kepentingan individu (the emphasis of individual);
- Negara hanya sebagai alat (The state is an instrument) ~ Negara merupakan mekanisme yang digunakan untuk tujuan – tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri. Menurut ajaran “Liberal Klasik”, ditegaskan bahwa masyarakat pada dasarnya dianggap dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan dirinya sendiri, sedangkan negara hanya merupakan alat atau sarana ketika usaha masyarakat yang secara sukarelat telah dilakukan namun mengalami kegagalan;
- Faham liberal (liberalism) tidak dapat menerima ajaran dogmatisme (refuse dogmatism) yang didasarkan pada ajaran filsafat dari John Locke (1632 – 1704), yang menyatakan bahwa “semua pengetahuan itu didasarkan pada pengalaman, dan kebenaran itu senantiasa berubah”.
Latar belakang timbulnya paham liberalisme merupakan sintesa dari beberapa paham, antara lain paham materialism, rasionalisme, empirisme dan individualisme, sehingga dalam penerapan ideologi suatu negara senantiasa didasari oleh aliran – aliran serta faham – faham tersebut secara keseluruhan. Kebebasan manusia dalam realisasi demokrasi senantiasa mendasarkan atas kebebasan individu diatas segala – galanya. Rasio merupakan hakekat tingkatan tertinggi dalam negara, sehingga dimungkinkan akan berkedudukan lebih tinggi daripada nilai religius. Hal ini harus dipahami karena demokrasi akan mencakup seluruh sendi – sendi kehidupan dalam masyarakat, bangsa dan negara, antara lain bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, ilmu pengetahuan bahkan kehidupan keagamaan atau kehidupan religius. Berdasarkan cakupan demokrasi yang mendasarkan kebebasan individu diatas segala – galanya, perbedaan sifat serta karakter bangsa sering menimbulkan gejolak dalam menerapkan demokrasi yang hanya mendasarkan pada paham liberalisme. Begitu pula di negara Indonesia pada Era Reformasi dimana tidak semua orang memahami makna demokrasi sehingga penerapan yang dipaksakan yang tidak sesuai dengan kondisi obyektif bangsa dalam kenyataannya menimbulkan banyak konflik di kalangan berbagai kelompok masyarakat maupun pada tataran kelompok – kelompok kepentingan (interest groups) seperti partai politik (political party).
Perbedaan pemahaman mengenai eksistensi rakyat dalam suatu negara, pada hakekatnya merupakan sumber perbedaan konsep mengenai demokrasi dan ideologi. Dalam praktek penyelenggaraan negara, terdapat konsep yang mengatakan bahwa “rakyat adalah sebagai suatu kesatuan integral dari elemen – elemen yang menyusun negara”, sedangkan faham komunisme (communism) berorientasi pada pemikiran bahwa “rakyat adalah merupakan suatu totalitas diatas eksistensi individu”.
Dalam penjabaran ideologi liberal, maka relevan untuk diintrodusir uraian Carl Joachim Friedrich dalam bukunya yang berjudul “Filsafat Hukum, Perspektif Historis”, yang menjelaskan: “Marx dan Engels, juga seluruh gerakan Marxian, pada dasarnya memandang hukum sebagai bagian dari superstruktur ideologi yang mengemuka diatas realitas material penguasaan sarana produksi. Karenanya Engels menulis sebagai berikut: “Struktur ekonomi tertentu merupakan landasan riil yang pada akhirnya mesti digunakan untuk menjelaskan superstruktur institusi hukum dan politik serta agama, filsafat dan produksi lain (Herstellungweise) dari semua periode sejarah”. Karena hukum tidak berorientasi pada ide keadilan, tetapi merupakan sarana dominasi dan piranti para pengekploitasi yang menggunakannya sesuai kepentingan kelas mereka. Sudah menjadi tugas kritikus sistem hukum yang ada, dan juga masyarakat yang ada, untuk menguaknya sebagai sisi utama dan mengenai perannya sebagai bagian dari ideologi suatu kelas”. [3]
____________________________________________________
[1] Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, Penerbit MedPress, Cetakan Kedua, Tahun 2008, hlm. 140.
[2] Budi Winarno, Ibid, hlm. 140.
[3] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum, Perspektif Historis, Penerbit Nusamedia, Bandung, Cetakan III, Tahun 2010, hlm. 181 – 182.
Writer and Copy Right: Dr. (Cand.) Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH. Lecturer, Advocate and Legal Consultant Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002