TINJAUAN TEORI PERBUATAN MELAWAN HUKUM
SCHUTZNORMTHEORIE (Teori Norma Perlindungan) disebut juga ajaran RELATIVITAS (penerapan teori ini membeda – bedakan perlakuan terhadap korban dari suat perbuatan melawan/melanggar hukum atau dalam bahasa asing disebut (onrechtmatige daad; act against the law; unlawful act), berasal dari Jerman, dipelopori oleh PITLO dan diperkenalkan di negeri Belanda oleh GELEIN VITRINGA, adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa “Agar terhadap seseorang atau badan hukum atau Badan Pemerintahan atau Penguasa atau Pejabat Pemerintahan dapat dimintakan tanggung jawabnya karena telah melakukan perbuatan melawan hukum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau yang dahulu disebut Burgerlijk Wetboek voor Indonesia (BW) maka tidak cukup hanya menunjukkan adanya hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang timbul. Akan tetapi perlu juga ditunjukkan bahwa norma atau peraturan yang dilanggar tersebut memang untuk melindungi (schutz) terhadap kepentingan korban yang dilanggar”.
AANPRAKELIJKHEID THEORY (Teori Tanggung Gugat) adalah teori untuk menentukan siapakah yang harus menerima gugatan atau kepada siapa gugatan harus ditujukan (siapa yang harus digugat atau menjadi TERGUGAT) karena adanya suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad; act against the law; unlawful act). Mengenai Tanggung Gugat atas Perbuatan Melawan Hukum/Perbuatan Melanggar Hukum yang dilakukan oleh orang lain, dalam ilmu hukum disebut dengan istilah VICARIOUS LAIBILITY (Tanggung Jawab Pengganti/Tanggung Jawab Subordinasi).
Teori Tanggung Gugat atas Perbuatan Melawan Hukum/Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan orang lain, ditinjau dari aspek Hukum Perdata dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu:
- Teori tanggung jawab atasan (Respondeat Superior / a superior risk bearing theory).
- Teori tanggung jawab pengganti yang bukan dari atasan atas orang – orang yang menjadi (dalam) tanggungannya.
- Teori tanggung jawab pengganti dari barang – barang yang berada dibawah tanggungannya.
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau yang dahulu disebut Burgerlijk Wetboek voor Indonesia (BW) mengklasifikasikan peristiwa – peristiwa hukum yang menjadi cakupan atau ruang lingkup (scope) pertanggungjawaban secara Tanggung Gugat, sebagai berikut:
- Orang tua atau wali bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan oleh anak – anak dibawah tanggungannya atau dibawah perwaliannya (Pasal 1367 KUHPerdata);
- Majikan bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan oleh pekerjanya (Pasal 1367 KUHPerdata);
- Guru – guru sekolah bertanggung gugat atas tindakan murid – muridnya (Pasal 1367 KUHPerdata);
- Kepala – kepala tukang bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan oleh tukang – tukangnya (Pasal 1367 KUHPerdata);
- Pemilik binatang bertanggung gugat atas tindakan/perbuatan yang dilakukan oleh binatang peliharaannya (Pasal 1368 KUHPerdata);
- Pemakai binatang bertanggung gugat atas tindakan/perbuatan yang dilakukan oleh binatang yang dipakainya (Pasal 1368 KUHPerdata);
- Pemilik suatu gedung bertanggung gugat atas ambruknya/runtuhnya gedung, yang disebabkan karena:
- Kelalaian dalam pemeliharaan, atau;
- Karena cacat dalam pembangunan maupun dalam penataannya (Pasal 1369 KUHPerdata);
Pada prinsipnya, setiap orang yang menderita/mengalami kerugian (baik materil maupun immateril) karena adanya Perbuatan Melawan Hukum, mempunyai dasar/alasan untuk mengajukan gugatan (CAUSE OF ACTION) berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Maksud frasa “pada prinsipnya” adalah berhubungan dengan asas dalam Hukum Acara Perdata yang menyatakan “Hakim/Pengadilan bersifat menunggu” dengan pengertian “tidak ada persidangan kalau tidak ada gugatan”. Kerugian yang dimaksudkan dalam gugatan merupakan kerugian yang dialami/diderita oleh suatu pihak atau seseorang yang mempunyai hubungan sebab akibat (KAUSALITAS) dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang atau pihak yang menimbulkan kerugian tersebut, baik hubungan sebab akibat yang faktual (SINE QUA NON) maupun sebab akibat kira – kira atau penyebab langsung (PROXIMATE CAUSE).
Kategori yuridis dari pihak yang dirugikan/pihak korban atas suatu Perbuatan Melawan Hukum, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
- Pihak yang dirugikan/korban itu sendiri secara langsung;
- Penerima nafkah, sesuai dengan Pasal 1370 KUHPerdata, yaitu:
- Suami atau isteri yang ditinggalkan;
- anak atau orang tua dari korban;
- Keluarga sedarah garis lurus dan isteri atau suami, sesuai pasal 1375 KUHperdata yaitu:
- Orang tua;
- Kakek – nenek;
- Anak dan cucu;
- Ahli waris pada umumnya, sesuai dengan prinsip – prinsip hukum waris yang berlaku;
- Pihak lain yang memperoleh hak dari pihak yang dirugikan/pihak korban, sesuai ketentuan peraturan perundang – undangan.
Menurut doctrine yang dikemukakan oleh Prof. PURWAHID PATRIK, SH., maka syarat – syarat yang harus dipenuhi untuk mengajukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum kepada Pengadilan yang berwenang sesuai dengan yurisdiksinya, yaitu:
- Harus ada perbuatan;
Pasal 1365 KUHPerdata mengatur tentang perbuatan positif, sedangkan Pasal 1366 KUHperdata mengatur mengenai kelalaian atau tidak hati – hati;
- Perbuatan tersebut melawan hukum;
- Harus ada kesalahan;
- Harus ada hubungan sebab akibat antara perbuatan dan kerugian;
- Harus ada kerugian;
Menurut VOLLMAR, kesalahan dalam unsur – unsur perbuatan melawan hukum terdiri dari:
- Kesalahan dalam arti SUBYEKTIF/ABSTRAK mengandung pengertian yaitu pihak atau pelaku Perbuatan Melawan Hukum dianggap dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan salah yang dilakukannya;
- Kesalahan dalam arti OBYEKTIF/KONKRIT yaitu apakah ada keadaan memaksa (OVERMACHT/FORCE MAJEURE) atau keadaan darurat (NOODTOESTAND). Dalam hal terdapat keadaan memaksa atau keadaan darurat maka pihak atau pelaku Perbuatan Melawan Hukum dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, oleh karena dalam hal tersebut dianggap tidak ada kesalahan;
Akibat adanya Perbuatan Melawan Hukum maka pihak yang dirugikan/pihak korban dapat menuntut “GANTI RUGI” yang antara lain berupa:
- Ganti rugi yang bersifat materil;
- Ganti rugi yang bersifat immateril;
- Uang paksa;
- Memulihkan dalam keadaan semula;
- Larangan untuk mengulangi perbuatan itu lagi;
- Dapat minta putusn hakim bahwa perbuatannya adalah bersifat melawan hukum;
Menurut Prof. PURWAHID PATRIK, SH., gugatan perdata yang bersifat contentious (contentiosa) jurisdiction yang dapat diajukan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, melipui:
- Perusakan barang (menimbulkan kerugian material);
- Ganguan/HINDER (menimbulkan kerugian immateril yaitu mengurangi kenikmatan atas sesuatu);
- Menyalahgunakan hak (orang menggunakan barang miliknya sendiri tanpa kepentingan yang patut, tujuannya untuk merugikan orang lain);
Dalam sistem hukum Romawi sudah dikenal beberapa jenis perbuatan melawan hukum, yaitu:
- Furtum (Conversion) ~ Konversi;
- Rapina (Forceable Conversion) ~ Konversi Paksa;
- Iniuria (Wilful aggression upon personality) ~ Serangan dengan sengaja terhadap pribadi/kepribadian seseorang;
- Dammum Iniuria Datum (Wrongfull Injury to Property) ~ Perbuatan salah terhadap harta kekayaan/harta benda;
Perbuatan melawan hukum dalam Sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil Law System), yang pada dasarnya berasal dari hukum Romawi, antara lain dari kumpulan kaidah hukum sebagai dokumen legal, yang terdapat dalam :
- The Twelve Tables;
- Lex Aquilla;
- The Edict.
Jenis – jenis Perbuatan Pelawan Hukum (onrechtmatige daad; act against the law; unlawful act) yang berkembang dalam sistem hukum Inggris (dengan konsep common law system) yang masih berlaku sampai saat ini, antara lain:
- Assault (serangan);
- Battery (kejahatan);
- Imprisonment (pemenjaraan secara tidak sah);
- Trespass on Lands (Memasuki pekarangan orang lain tanpa ijin);
- Trespass on Chattels (Memasuki tanpa ijin barang bergerak milik orang lain);
- Conversion (Konversi) yaitu perbuatan melawan hukum berupa dengan sengaja mengambil hak kepemilikan orang lain;
- Deceit (Penipuan);
- Malicious Prosecution (Penuntutan yang sembrono dan melanggar prosedur hukum);
- Slander (fitnah secara lisan/melalui ucapan);
- Libel (Fitnah secara tertulis/melalui tulisan);
Sebagai perbandingan dapat pula dikemukakan bahwa di Amerika Serikat (United States), pada abad ke – 20 cakupan Perbuatan Melawan Hukum yang berhubungan dengan intervensi terhadap kepentingan/hubungan kontraktual atau hubungan bisnis orang lain telah mengalami perkembangan, meliputi:
- Menjelek – jelekan kepemilikan (Slander of Title);
- Menjelek – jelekan properti (Disparagement of Property);
- Menjelek – jelekan barang (Slender of Goods);
- Menjelek – jelekan kepentingan Komersial (Commercial Disparagement);
- Menjelek – jelekan kepentingan dagang (Trade Libel);
- Intervensi terhadap hubungan kontraktual (Interference with Contractual Relations);
- Intervensi terhadap keuntungan yang diharapkan (Interference with Prospective Advantage).
Rumusan Pasal 1365 KUHPerdata menentukan persyaratan bahwa harus terdapat “Unsur Kesalahan” agar suatu pihak atau seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban mengenai Perbuatan Melawan Hukum. “Unsur Kesalahan” dianggap terpenuhi apabila terdapat salah satu dari antara 3 (tiga) syarat, sebagai berikut:
- Ada unsur kesengajaan;
- Ada unsur kelalaian (culpa, negligence);
- Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan memaksa (overmacht), membela diri, tidak waras, dan tidak cakap;
Penerapan Tanggung Gugat suatu Badan Hukum atas Perbuatan Melawan Hukum dari organ atau instansi atau institusi tingkat bawahannya (subordinasi) berlaku juga bagi negara dan badan – badan kenegaraan lainnya, seperti Provinsi, Kotamadya, Kabupaten dan sebagainya. Ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata mempunyai daya keberlakuan secara umum dan tidak membedakan – bedakan antara Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Negara/Penguasa/Pejabat/Instansi Pemerintahan dengan pihak lain termasuk rakyat biasa sesuai dengan asas equality before the law yang dianut oleh Negara Hukum modern.
Writer and Copy Right:
Dr. Appe Hutauruk, SH., MH.