PARADIGMA NEGARA KESEJAHTERAAN MENURUT KONSEP PANCASILA SEBAGAI CITA HUKUM

Indonesia and Papua New Guinea crossborder

PARADIGMA NEGARA KESEJAHTERAAN
MENURUT KONSEP PANCASILA SEBAGAI CITA HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN

 

Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subjektif seseorang – mengenai realita – dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu. Dalam kaitannya dengan konsepsi tersebut, yang menjadi pertanyaan adalah dapatkah Pancasila menjadi paradigma atau menjadi kerangka atau pola berpikir bangsa Indonesia? Dalam kaitannya dengan “pengembangan hukum”, Pancasila juga harus menjadi landasannya. Artinya, hukum yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.

Dengan demikian, substansi hukum tertulis yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau penjabaran sila – sila yang terkandung dalam Pancasila. Sekurang – kurangnya substansi produk hukumnya tidak bertentangan dengan sila – sila yang terdapat dalam Pancasila. Dalam istilah hukum, substansi produk hukum yang merupakan perwujudan/penjabaran nilai – nilai yang terkandung dalam Pancasila akan merupakan karakter produk hukum responsif, artinya untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujudan aspirasi rakyat. Apabila hal itu yang terjadi, maka Pancasila merupakan paradigma dalam pembangunan hukum di Indonesia .

 

BAB II
PEMBAHASAN

Landasan yang menjadi grand theory  pembahasan permasalahan dalam paper ini adalah menggunakan “Walfare State Theory” (Teori Negara Kesejahteraan) sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Mr. R. Kranenburg, yang menyatakan bahwa “Negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang, bukan mensejahterakan golongan tertentu tapi seluruh rakyat”. Negara kesejahteraan sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial (social policy) yang di banyak negara mencakup strategi dan upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warganya, terutama melalui perlindungan sosial (social protection) yang mencakup jaminan sosial (baik berbentuk bantuan sosial dan asuransi sosial), maupun jaring pengaman sosial (social safety nets).

Gustav Radbruch menyatakan bahwa cita hukum tidak hanya berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif, yaitu menguji apakah suatu hukum positif adil atau tidak adil, melainkan juga sebagai dasar yang bersifat konstitutif, yaitu menentukan bahwa tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan maknanya secara hukum. Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya tercantum Pancasila sebagai cita hukum akan menguasai hukum dasar baik tertulis maupun tidak tertulis, dan akan berfungsi sebagai barometer dan penguji serta landasan hukum dasar yang akan selanjutnya akan menjadi fundamen bagi peraturan perundangan negara Republik Indonesia. Dengan perkataan lain, cita hukum Indonesia adalah Pancasila sebagaimana terkandung dalam pembukaan UUD 1945 merupakan norma paling mendasar didalam cita hukum adalah cita tentang keadilan, artinya hukum diciptakan haruslah hukum yang adil bagi semua pihak.

Dalam permasalahan yang menjadi pembahasan dalam paper ini adalah “Bagaimana implementasi Pancasila sebagai cita hukum yang fundamental meujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Menurut J.M. Keyness dan Smith (2006), ide dasar negara kesejahteraan beranjak dari abad ke-18 ketika Jeremy Bentham (1748-1832) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (atau welfare) of the greatest number of their citizens. Bentham menggunakan istilah ‘utility’ (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang ia kembangkan, Bentham berpendapat bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya, aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang. Gagasan Bentham mengenai reformasi hukum, peranan konstitusi dan penelitian sosial bagi pengembangan kebijakan sosial membuat ia dikenal sebagai “bapak kesejahteraan negara” (father of welfare states).

Negara kesejahteraan adalah konsep pemerintahan ketika negara mengambil peran penting dalam perlindungan dan pengutamaan kesejahteraan ekonomi dan sosial warga negaranya. Konsep ini didasarkan pada prinsip kesetaraan kesempatan, distribusi kekayaan yang setara, dan tanggung jawab masyarakat kepada orang-orang yang tidak mampu memenuhi persyaratan minimal untuk menjalani kehidupan yang layak. Istilah ini secara umum bisa mencakup berbagai macam organisasi ekonomi dan sosial. Sosiolog T.H. Marshall mengidentifikasi negara kesejahteraan sebagai gabungan demokrasi, kesejahteraan, dan kapitalisme.

Negara Pancasila adalah negara kebangsaan yang berkeadilan sosial, yang berarti bahwa negara sebagai penjelmaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, sifat kodrat individu dan makhluk sosial bertujuan untuk mewujudkan suatu keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial), dengan perkataan lain bahwa nilai – nilai terkandung dalam Pancasila mencerminkan Indonesia adalah merupakan negara kesejahteraan (walfare state). Keadilan sosial tersebut didasari dan dijiwai oleh hakekat keadilan manusia sebagai makhluk yang beradab (sila II). Manusia pada hakekatnya adalah adil dan beradab, yang berarti manusia harus adil dan terhadap diri sendiri, adil terhadap Tuhannya, adil terhadap orang lain dan masyarakat serta adil terhadap lingkungan alamnya .

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana dirumuskan oleh Sila Ke – 5 dari Pancasila sejatinya/idealnya harus dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat Indonesia, tanpa adanya diskriminasi dalam tataran aplikasinya terutama berkaitan dengan keberlakuan suatu peraturan perundang – undangan termasuk Peraturan Daerah (PERDA) yang langsung bersentuhan dengan kepentingan dan hajat hidup orang banyak (publik). Akan tetapi dalam keadaan yang sebenarnya (in concreto), masih banyak peraturan perundang – undangan yang tidak menjadikan Pancasila sebagai paradigma, sehingga regulasi tersebut menimbulkan ketimpangan sebab mencerminkan ketidakadilan, sebagai contoh yang menjadi polemic saat ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Perda Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Reklamasi Pantai Utara yang merupakan turunan dari Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur. Oleh karena disinyalir bahwa Undang – Undang, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah tersebut mencerminkan keberpihakan kepada segelintir kelompok kapitalis tertentu, sedangkan disisi lain mengabaikan kepentingan masyarakat banyak terutama para nelayan dan masyarakat di sekitar pesisir pantai.

 

BAB III
PENUTUP

Dalam dinamika proses interaksi kehidupan bernegara, Pancasila sebagai cita hukum diwujudkan dalam konteks pembangunan bidang hukum. Penerapan atau realisasi Pancasila pada bidang kehidupan hukum itu menghasilkan peraturan perundang – undangan (regulasi) yang dijiwai dengan nilai – nilai yang terkandung dalam Pancasila. Keseluruhan Tata Hukum sebagai suatu sistem aturan hukum positif yang merupakan penjabaran atau penerapan Pancasila pada bidang hukum, dapat disebut Hukum Pancasila. Sebagai sebuah Negara hukum, Indonesia harus selalu mendasarkan segala tindakan Negara dalam kerangka hukum yang bersumber dari cita hukum Pancasila ini.
Berkaitan dengan negara kesejahteraan yang inging diwujudkan oleh bangsa Indonesia, maka realisasi dan perlindungan keadilan dalam kehidupan berbangsa bernegara mengharuskan pemerintah menciptakan peraturan perundang – undangan yang tidak bersifat diskriminatif, tetapi dapat menjamin kepentingan hukum dan hajat hidup seluruh rakyat Indonesia. Dalam realisasi mewujudkan negara kesejahteraan melalui pembangunan hukum maka Pancasila harus senantiasa dijadikan paradigma, dengan demikian nilai keberlakuan suatu peraturan perundang – undangan memenuhi syarat formal sebagaimana dimaksudkan HANS KELSEN yaitu bahwa kaedah hukum mempunyai kekuatan berlaku apabila penetapannya didasarkan atas kaedah yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu kaedah hukum merupakan system kaedah secara hierarchies.

 

Writer and Copy Right:
Dr. Appe Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant

Leave a Reply

News Feed