TERMINUS KONSTITUSI

 

Mulai pada era Yunani Kuno/Purba istilah KONSTITUSI (CONSTITUTION) telah dikenal, hanya istilah “konstitusi” masih diartikan secara materil karena konstitusi itu belum diletakkan dalam suatu naskah yang tertulis (misalnya peraturan perundang – undangan). Hal tersebut tersimpul pada faham Aristoteles yang membedakan istilah “politea” dan “nomoi”. Politea diartikan sebagai konstitusi, sedangkan nomoi adalah undang – undang biasa. Antara kedua istilah tersebut terdapat perbedaan yaitu bahwa “politea mengandung kekuasaan yang lebih tinggi daripada nomoi, karena politea mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi kekuasaan itu tidak ada, karena ia hanya merupakan materi yang harus dibentuk agar supaya tidak bercerai – berai”.

Merujuk pada kebudayaan Yunani istilah/terminologi “KONSTITUSI” sangat berhubungan erat dengan ucapan Resblica Constituere, yang kemudian dari sebutan tersebut berkembang semboyan yang berbunyi “Prinsep Legibus Solutus est, Salus Publica Suprema Lex”, yang berarti “Rajalah yang berhak menentukan organisasi/struktur daripada negara, oleh karena itu ia adalah satu – satunya pembuat undang – undang”.

Berdasarkan sejarah Yunani Kuno maka negara Yunani pernah menjadi jajahan Romawi. Akibat dari penjajahan itu banyak dari kebudayaan Yunani ditiru oleh bangsa Romawi, seperti ajaran tentang Polis dan ajaran Kedaulatan Rakyat (Ecclesia) yang dipraktekkan di negerinya sendiri. Penerapannya ternyata tidak sama dengan ajaran yang dibawa dari Yunani, karena sifat, keadaan serta pembawaan bangsa Romawi yang lain. Melalui ajaran Kedaulatan Rakyat yang ditirukannya dari bangsa Yunani, orang Romawi mencoba menyusun suatu pemerintahan dengan seorang raja yang berkuasa mutlak. Menurut orang Romawi pada suatu ketika rakyat mengadakan perjanjian dengan Caesar. Dalam perjanjian itu terjadi perpindahan kekuasaan dari tangan rakyat kepada Caesar secara mutlak (translatio empirii) yang kemudian diletakan dalam Lex Regia. Karena translatio empirii itu rakyat sudah tidak dapat meminta pertanggungjawaban Caesar lagi, dan lahirlah Faham Caesarismus (perwakilan mutlak berada di tangan Caesar). Dari perjanjian ini timbullah semboyan “Princep Legibus Solutus est, Salus Publica Suprema Lex”.

Pada abad pertengahan sudah dikenal orang tentang konstitusi, tetapi dengan sebutan lain. Dalam abad menengah timbul suatu aliran yang disebut monarchomachen, yaitu suatu aliran yang membenci kekuasaan raja yang mutlak. Untuk mencegah agar raja tidak berbuat sewenang – wenang maka golongan ini menghendaki suatu perjanjian dengan raja. Aliran ini terutam terdiri dari Golongan Calvinis yang menuntut pertanggungan jawab raja dan jika perlu raja bisa dipecat dan dibunuh.

Perjanjian antara rakyat dan raja dalam kedudukan masing – masing yang sama tinggi dan sama rendah menghasilkan suatu naskah yang disebut “Leges Fundamentalis”. Dalam Leges Fundamentalis ini ditetapkan hak dan kewajiban masing – masing pihak (Rex sama dengan hak rakyat dan Regnum sama dengan hak raja untuk memerintah). Dari sini nampak lambat laun dalam perkembangan sejarah, bahwa perjanjian – perjanjian antara rakyat dan pihak yang memerintah mulai dinaskahkan. Adapun tujuannya untuk memudahkan para pihak dalam menuntut haknya masing – masing, serta mengingatkan mereka kepada kewajiban yang harus dilakukan dan yang paling penting ialah bahwa orang tidak melupakannya, karena perjanjian itu ditulis. Sebagai contoh adalah perjanjian yang dilakukan antara raja dengan para bangsawan. Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa raja dapat minta bantuan para bangsawan jika terjadi perang, dan sebaliknya para bangsawan berhak mendapat perlindungan serta tanah dari raja jika perang dimenangkan oleh raja. Juga dalam hal lain raja dapat mengadakan perjanjian dengan rakyat (dalam hal ini golongan ketiga) karena raja memerlukan uang (bede) dan sebagai balas jasanya maka rakyat memperoleh hak kenegaraan sebagai suatu wewenang untuk dapat menyelenggarakan kepentingannya sendiri. Perjanjian – perjanjian itu semuanya diletakkan dalam suatu naskah yang tertulis.

Kelompok/Kaum Kolonis yang berasal dari Inggris, yang karena perselisihan agama, mereka mengungsi ke benua Amerika. Sebagian dari kaum kolonis itu adalah Golongan Calvinis yang menurut ajaran mereka bahwa masyarakat Kristen itu dibentuk berdasarkan perjanjian. Atas dasar itu mereka mendirikan negara dan demikianlah ketika mereka masih berada dalam kapal “Mayflower” sebelum mendarat di benua Amerika, mereka mengadakan perjanjian masyarakat untuk mendirikan negara. Perjanjian tersebut masih harus disahkan maka kini kedudukan perjanjian itu lebih tinggi daripada undang – undang biasa.

 

Created and Posted By:
Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant
Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002

_____________________________

HIMBAUAN PARTISIPASI:

Sebagai PEMILIK dan PENULIS artikel – artikel dalam Website https://beritahukum-kebijakanpublik.com, saya menyatakan:

  • Mengajak VENDOR untuk memasang iklan pada artikel – artikel di website https://beritahukum-kebijakanpublik.com dengan langsung menghubungi saya;
  • Mempersilahkan rekan – rekan dan khalayak umum untuk mengcopy seluruh konten yang terdapat dalam website https://beritahukum-kebijakanpublik.com. Akan tetapi sebagai ungkapan KEPEDULIAN kiranya berkenan memberikan partisipasi sukarela melalui transfer ke rekening Bank BNI No. 0263783536 atas nama APPE HUTAURUK.

Semoga dengan kepedulian yang diberikan, saya dapat terus berkarya memposting artikel – artikel yang bermanfaat bagi dunia pendidikan, masyarakat serta bangsa dan negara.

#SalamPersasaudaraan:
APPE HAMONANGAN HUTAURUK

 

 

LAW  FIRM APPE  HAMONANGAN   HUTAURUK & ASSOCIATES
KETUA  UMUM  DPP LSM  KOMAKOPEPA
AKTIVIS’98

Leave a Reply

News Feed