KUALIFIKASI DELIK – DELIK KORUPSI

Uncategorized

Greedy

KUALIFIKASI DELIK – DELIK KORUPSI

 

Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht/WvS) yang berlaku sejak 1 Januari 1918, pada hakekatnya telah diatur tentang ancaman hukuman terhadap TINDAK PIDANA KORUPSI, seperi delik jabatan yang tercantum dalam Bab XXVIII Buku II KUHP, begitu pula ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal 209 dan 210 KUHP (orang yang menyuap pegawai negeri atau actieve omkoping), dan pasal – pasal lain yang terdapat dalam Buku II KUHP Tentang Kejahatan.

 

Namun demikian, melihat kenyataan yang sebenarnya (in concreto) saat ini  bahwa Kepolisian dan Kejaksaan tidak mampu secara maksimal melakukan penegakkan hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi, maka sesuai dengan tuntutan agenda reformasi kemudian dikeluarkan TAP MPR No XI/MPR/ 1998 Tentang pemerintahan yang bersih dari KKN serta proses hukum mantan Presiden Soeharto dan kroninya, yang mana dalam Pasal 4 dijelaskan bahwa upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga,baik pejabat negara,mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto,  dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tidak bersalah dan hak-hak asasi manusia.

Berdasarkan ketentuan TAP MPR tersebut selanjutnya dibentuk Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), yang kemudian berubah menjadi  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berkaitan dengan upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada awalnya sebelum diterbitkan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, telah diterbitkan terlebih dahulu UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI yang telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Merujuk pada ketentuan – ketentuan yang termaktub dalam  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999  sebagaimana telah diubah dengan  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat dari 2 (dua) aspek, yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif

Tindak Pidana yang tergolong dalam Korupsi Aktif meliputi sebagai berikut :

  1. Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)
  2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)
  3. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut ( Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)
  4. Percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)
  5. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban (Pasal 5 ayat(1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)
  6. Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
  7. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
  8. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
  9. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a (Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
  10. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang dapat membahayakan keselamatan Negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
  11. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (Pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
  12. Pegawai Negeri atau orang lain selain Pegawai Negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara  waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
  13. Pegawai Negeri atau selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu, dengan sengaja memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)

Sedangkan Tindak Pidana yang dikualifikasikan  dalam  Korupsi Pasif adalah sebagai berikut :

  1. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
  2. Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau memperngaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
  3. Orang yang menerima penyerahan bahan atau keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
Writer and Copy Right:
Dr. Appe  Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant


Leave a Reply