ANEKA KAIDAH PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI

"A New Crime," Depicting a "Habitual Reformer" Political Cartoon
ANEKA KAIDAH PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI

 

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 252K/Sip/1971 Tanggal 2 September 1972, kaidah hukumnya berbunyi: ”Pengadilan Negeri telah membuktikan keputusan yang bersifat “Verstek”, padahal seharusnya keputusan tersebut bersifat atas bantahan. Bantahan (Verzet) terhadap keputusan yang bersifat verstek tersebut telah diterima oleh PN dan diperiksa serta diputuskan sebagai perkara bantahan terhadap keputusan verstek, sedangkan seharusnya upaya hukum terhadap keputusan yang bersifat contradictoir adalah banding, secara formil seharusnya MA menyatakan bantahan tersebut tidak dapat diterima dan mengizinkan kembali pada PN namun keputusan yang demikian akan menimbulkan kesulitan dalam memulihkan hak banding dan Penggugat untuk kasasi/tergugat asal dahulu. Disamping itu, isi (Diktum) keputusan verstek dan keputusan terhadap bantahan (verzet) adalah sama kecuali bahwa jumlah uang paksa diturunkan menjadi Rp.500,-. Lagipula apabila PT. memutuskan perkara ini dalam banding terhadap putusan yang dijatuhkan oleh PN pertama kali (yang secara keliru dinamakan putusan Verstek), maka PT akan memeriksa lagi perkara yang sama, sedangkan keputusan PT tersebut menurut pendapat MA sudah tepat dan adil”.


Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 663K/Sip/1971 Tanggal 6 Agustus 1973, kaidah hukumnya berbunyi:

–     “Undang – undang tidak mewajibkan pembanding untuk mengajukan risalah banding”;

–     “Apabila dikehendaki, alasan banding boleh dimasukkan kedalam risalah kasasi:;

–     “Petitum yang tidak menjadi obyek dalam perkara harus ditolak”;

–     “Jual beli tanah meskipun telah memenuhi prosedur perundang – undangan Agraria namun harus dinyatakan batal karena didahului dan disertai dengan yang tidak wajar atau itikad – itikad yang tidak jujur (pembeli menyatakan bahwa tanah itu sudah dijual kepada orang lain)”.


Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 745K/Sip/1971 Tanggal 13 September 1972, kaidah hukumnya berbunyi: “Terhadap putusan “Pengadilan Rendah” Muara Batu tanggal 18 Desember 1947 (Pengadilan Adat yang belum dihapus menurut ketentuan dalam UU Darurat No.1 Tahun 1951) menurut pendapat MA, dapat dimintakan banding pada PN dengan menyimpang dari ketentuan tenggang waktu untuk meminta banding terhadap putusan perkara – perkara perdata biasa yang diputuskan oleh PN”.


Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 938K/Sip/1971 Tanggal 4 Oktober 1972, kaidah hukumnya berbunyi: ”Jual beli antara Tergugat asal dengan orang ketiga tidak dapat dibatalkan, tanpa diikutsertakannya orang ketiga tersebut sebagai Tergugat dalam perkara itu”.


Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1346K/Sip/1971 Tanggal 23 Juli 1973, kaidah hukumnya berbunyi: “Bantahan (Verzet) terhadap conservatoir beslag bersifat insidentil sehingga kalau diterima sebagai bantahan, maka seharusnya diperiksa tersendiri (insidentil) dengan menunda dulu pemeriksaan terhadap pokok perkara, sehingga kedua perkara tersebut tidak dapat disatukan apalagi dengan dua nomor”.


Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1363K/Sip/1971 Tanggal 27 Mei 1972, kaidah hukumnya berbunyi:

  1. Ketentuan dalam ps 19 PP No. 10 Tahun 1961 tidak bermaksud untuk mengenyampingkan pasal – pasal dari kitab – kitab Undang – Undang Hukum Perdata atau ketentuan – ketentuan hukum tidak tertulis mengenai jual – beli;
  1. Tuntutan mengenai pengosongan rumah karena pemutusan hubungan sewa – menyewa masuk wewenang Kantor Urusan Perumahan, akan tetapi dalam hal pengosongan atas dasar jual – beli, pengadilan berwenang memeriksanya.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 67K/Sip/1972 Tanggal 13 Agustus 1972, kaidah hukum berbunyi: “Dalam hal dalil – dalil penggugat asal tidak selaras/ bertentangan dengan petitum – petitumnya dan karena yudex facti tidak memberikan alasan – alasan/pertimbangan – pertimbangan yang cukup, maka pertimbangan yudex facti dibatalkan”.


Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 266K/Sip/1972 Tanggal 5 Agustus 1972, kaidah hukumnya berbunyi: “Permohonan kasasi diajukan sendiri oleh tergugat asli/pembanding/penggugat untuk kasasi, memori kasasi ditanda tangani oleh dan karenanya harus dianggap dibuat dan diajukan oleh Zakaria Dt. Maruhum, sedangkan dalam surat kuasa tidak disebutkan bahwa Zakaria diberi kuasa untuk mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi maupun mengajukan kasasi, maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut harus dianggap tidak disertai memori kasasi dan harus dinyatakan tidak dapat diterima”.


Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 334K/Sip/1972 Tanggal 4 Oktober 1972, kaidah hukumnya berbunyi:

  1. Judex Facti tidak boleh mencoba dalil gugatan (posita) dari penggugat (ps 189 ayat 3 Rbg/ ps 189 ayat 3 HIR);
  2. Putusan pengadilan yang tidak diucapkan dimuka umum adalah tidak sah dan harus dibatalkan (pasal 18 UU No. 14 Tahun 1970).

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 786K/Sip/1972 Tanggal 3 Januari 1972, kaidah hukumnya berbunyi:

  1. Tidak dipertimbangkannya memori banding oleh PT tidak dapat membatalkan putusan PT, oleh karena dalam tingkat banding suatu perkara diperiksa kembali dalam keseluruhannya;
  2. PT berwenang mengambil alih pertimbangan – pertimbangan PN yang dianggapnya telah benar;
  3. Tambahan sumpah adalah wewenang yudex facti dan tidaklah pada tempatnya diajukan pada pemeriksaan tingkat kasasi.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:1038K/Sip/1972 Tanggal 1 Agustus 1973, kaidah hukumnya berbunyi:

  1. Terhadap keputusan perdamaian tidak mungkin diadakan permohonan banding;
  2. Bila putusan PN telah mempunyai kekuatan pasti, maka terhadap perkara itu tidak mungkin diadakan keputusan perdamaian lagi, oleh karena nama keputusan itu harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 123K/Sip/1973 Tanggal 30 April 1973, kaidah hukumnya berbunyi:

  1. Peraturan MA No. 1 Tahun 1971 dikeluarkan dengan maksud untuk menegaskan bahwa lembaga rekes sipil itu tetap berlaku sesuai dengan Yurisprudensi yang selama ini berlaku dan terang tidak membawa akibat hukum bahwa jangka waktu bagi rekes sipil itu dihitung sejak berlakunya Peraturan tersebut. Karena rekes sipil ini diajukan terlambat melampaui tenggang waktu 3 bulan sejak putusan yang dimohonkan rekes sipil (yakni putusan MA No. 624/Sip/1971, tanggal 13 Nopember 1971) diucapkan atau setelah pemberitahuan resmi tentang putusan itu disampaikan, maka sudah tepatlah putusan PN Jakarta Pusat yang memutuskan, menyatakan gugatan rekes sipil tersebut tidak dapat diterima;
  2. Menurut ps 12 UU No. 21 Tahun 1971 terhadap putusan PN Jakarta Pusat tentang perkara merk tidak dapat diajukan permohonan banding kepada PT Jakarta, karena itu acara banding bagi perkara perdata biasa memang tidak berlaku disini, karena UU dalam hal ini sengaja mengadakan pengecualian. Oleh karena itu sudah tepatlah pertimbangan Pengadilan Tinggi Jakarta bahwa PT tidak berwenang mengadili permohonan banding terhadap putusan rekes sipil PN Jakarta Pusat yang mengadili perkara rekes sipil tersebut, karena PT tidak pernah menyidangkan pokok perkara aslinya tentang merk tersebut.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 221K/Sip/1973 Tanggal 18 Juni 1973, kaidah hukumnya berbunyi: “Perseroan ada tidaknya “Onheelbare tweespalt” adalah mengenai penilaian hasil pembuktian yang merupakan penghargaan dari suatu kenyataan hal mana menjadi wewenang sepenuhnya dari yudex facti, karena itu tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi”.


Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 665K/Sip/1973 Tanggal 28 Nopember 1973, kaidah hukumnya berbunyi:

–     Satu surat bukti saja tanpa dikuatkan oleh alat lain tidak dapat diterima sebagai pembuktian;

–     Pengakuan tergugat yang dikuatkan oleh akta notaris karenanya dianggap bukti cukup untuk membenarkan keadaan yang diakui tergugat.


Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 500K/Sip/1971 Tanggal 27 Nopember 1971, kaidah hukumnya berbunyi:

  •  Meskipun “Onheelbare tweespalt” di dalam ps 209 BW tidak tercantum sebagai alasan perceraian namun dalam keadaan yang mendesak dimana kedua pihak tidak dapat diharapkan lagi akan melanjutkan hidup bersama sebagai suami isteri, UU memungkinkan diputuskannya perkawinan dengan perceraian, dalam hal ini “Onheelbare tweespalt” merupakan keadaan yang mendesak seperti yang dimaksud diatas;
  •  Sebelum kodifikasi nasional dicapai, MA berpendapat bahwa pembenahan hukum yang termuat dalam BW harus dimungkinkan melalui putusan Hakim, apabila kebutuhan masyarakat sungguh – sungguh menghendakinya, dengan tidak saja menyingkirkan ketentuan – ketentuan yang dianggapnya bertentangan dengan kemajuan jaman akan tetapi juga menambahkan ketentuan – ketentuan baru disamping ketentuan yang lama.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 641K/Sip/1971 Tanggal 4 Maret 1972, kaidah hukumnya berbunyi: “Pengadilan berwenang untuk mengadili tuntutan mengenai pembayaran sewa – menyewa. Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 1963 hanya mengatur mengenai pemutusan hubungan sewa – menyewa”.


Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 367K/Sip/1972 Tanggal 24 Januari 1973, kaidah hukumnya berbunyi: Putusan PT harus dibatalkan, karena PT mempertimbangkan dalam keputusannya, bahwa “Perbuatan seorang Direktur PT Bank Persatuan Dagang Indonesia yang menarik cek kosong atas nama Bank tersebut dengan itikad tidak jujur dan melanggar aturan – aturan yang semestinya dipatuhinya dianggap tanggung jawab pribadi Direktur tersebut yang tidak dapat dibebankan pada Bank tersebut”. Mahkamah Agung berpendapat karena Direktur tersebut adalah salah seorang yang ditentukan oleh tergugat asal (Bank tersebut) untuk menarik Banker Chaque atas nama tergugat asal, hal mana merupakan prosedur intern Bank, maka akibat apapun dari perbuatan Direktur tersebut adalah tanggung jawab sepenuhnya dari tergugat asal, lebih – lebih karena ternyata bahwa cheque dalam perkara ini telah ditarik tanpa paksaan tipuan muslihat.


Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 455K/Sip/1972 Tanggal 17 Januari 1973, kaidah hukumnya berbunyi: Perkara gugatan tentang pemakaian tanda niaga (merek dagang) hanya dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung tanpa melalui banding ke PT.


Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 140K/Sip/1971 Tanggal 12 Agustus 1972, kaidah hukumnya berbunyi:

  • Keputusan yudex facti yang didasarkan kepada petitum subsidair “permohonan mengadili menurut kebijaksanaan Pengadilan hingga karenanya merasa tidak terikat kepada rumusan petitum primair, dapat dibenarkan karena dengan demikian lebih diperoleh suatu keputusan yang lebih mendekati rasa keadilan, asalkan masih dalam kerangka yang serasi dengan inti petitum primair;
  • Janda cerai mempunyai hak yang sama dengan janda mati terhadap barang – barang peninggalan suaminya yang telah meninggal dunia yang belum dibagi.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1164K/Sip/1971 Tanggal 29 Januari 1973, kaidah hukumnya berbunyi: Harta bawaan adalah dianggap paling adil apabila dibagi sama rata diantara para ahli waris.


Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 528K/Sip/1972 Tanggal 17 Januari 1973, kaidah hukumnya berbunyi: Di Tapanuli Selatan terdapat “Lembaga Holong Ate” yaitu pemberian sebagian dari harta warisan menurut rasa keadilan keadaan anak perempuan apabila seorang meninggal dunia tanpa keturunan anak lelaki.


Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1037K/Sip/1971 Tanggal 19 Pebruari 1973, kaidah hukumnya berbunyi: Tanah yang bukan merupakan tanah pusaka sebagaimana tersebut dalam bahasa daerah di Tapanuli “Gelad” tetapi merupakan tanah garapan dari suami isteri dalam perkawinan pertama dan yang dibawa si isteri kedalam perkawinannya kedua setelah suami yang pertama meninggal dunia dan perkawinan yang kedua itu tidak ada anak, seluruhnya harus kembali kepada anak, satu – satunya dari perkawinan yang pertama sekalipun anaknya itu seorang perempuan.

 

Created  and Posted By:
Dr. Appe  Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant

Leave a Reply

News Feed