KETENTUAN KAIDAH HUKUM  DALAM  YURISPRUDENSI

KETENTUAN KAIDAH HUKUM  DALAM  YURISPRUDENSI

  • Putusan MA Nomor Register: 19 K / SIP / 1983 Tanggal 3 September 1983KAIDAH HUKUM: Karena gugatan ganti rugi tidak dirinci, lagi pula belum diperiksa oleh judex factie, gugatan ganti rugi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima;

  • Putusan MA Nomor Register: 20 PK / PERD / 1983 Tanggal 29 September 1984KAIDAH HUKUM: Surat yang diajukan pemohon terbukti bukan merupakan bukti baru yang bersifat menentukan (novum) seperti yang dimaksud dalam pasal 2 b Per – MA 1 / 1982, karena itu permohonan PK ditolak;

  • Putusan MA Nomor Register: 568 K / SIP / 1983 Tanggal 28 Juli 1984KAIDAH HUKUM: Ketentuan bahwa apabila dalam jangka waktu 6 bulan uang gadai tidak dikembalikan, maka rumah itu menjadi milik mutlak Tergugat I, adalah bertentangan dengan hukum dan harus dianggap tidak mengikat;

  • Putusan MA Nomor Register: 569 K / SIP / 1983 Tanggal 13 Juni 1984KAIDAH HUKUM: Sebuah ketentuan, bahwa apabila dalam jangka waktu 6 bulan uang gadai tidak dikembalikan, maka rumah yang digadaikan menjadi milik mutlak Tergugat I, bertentangan dengan hukum dan harus dianggap tidak mengikat;

  • Putusan MA Nomor Register: 588 K / SIP / 1983 Tanggal 19 Juni 1984KAIDAH HUKUM: Oleh karena Tergugat telah menyerahkan cek dan giro bilyet kepada Penggugat, maka dapat disimpulkan adanya hubungan hukum antara Penggugat dan Tergugat,, dan dengan diterimanya cek, giro bilyet dan kuitansi, maka Penggugat mempunyai hak atas jumlah yang tertulis dalam cek, giro bilyet dan kuitansi tersebut;

  • Putusan MA Nomor Register: 597 K / SIP / 1983 Tanggal 8 Mei 1984KAIDAH HUKUM: Tuntutan Penggugat mengenai bunga 3 % sebulan karena keterlambatan pembayaran harus ditolak karena dalam hal jual beli tidak ada persoalan bunga (Hukum Perdata).

Gugatan terhadap Tergugat I ditolak karena ia bertindak untuk dan atas nama PT sehingga hanya PT sajalah yang dapat dituntut pertanggungjawaban.(Hukum Dagang).

Menurut Hukum Acara Perdata, conservatoir beslag yang diadakan bukan atas alasan – alasan yang disyaratkan dalam pasal 227 ayat I HIR tidak dapat dibenarkan; atas utang – utang PT tidak dapat diadakan conservatoir beslag terhadap harta pribadi direkturnya.

Conservatoir beslag harus terlebih dahulu dilakukan terhadap barang – barang bergerak, dan jikalau barang – barang demikian tidak cukup (ada), baru terhadap barang – barang bergerak.

Consevatoir beslag yang telah diadakan tidak dapat dibenarkan karena nilai barang yang disita terlalu tinggi disbanding dengan nilai gugatan yang dikabulkan;


  • Putusan MA Nomor Register: 607 K / SIP / 1983 Tanggal 19 Juli 1984KAIDAH HUKUM: Perjanjian jual beli tanah antara Penggugat dan Tergugat pada tanggal 12 Oktober 1981 adalah sah dan dengan demikian kedua pihak harus menyelesaikan surat jual beli dan balik nama tanahnya pada instansi agraria setempat;

  •  Putusan MA Nomor Register: 394 K / Pdt / 1984 Tanggal 05 Juli 1985, KAIDAH HUKUM: Barang – barang yang sudah dijadikan jaminan utang kepada Bank Rakyat Indonesia Cabang Gresik tidak dapat dikenakan consevatoir beslag;

  • Putusan MA Nomor Register: 400 K / Pdt / 1984 Tanggal 19 Juli 1985, KAIDAH HUKUM: Karena hubungan hukum yang sesungguhnya adalah hubungan utang – piutang antara Penggugat dan anak – anak Tergugat, maka anak Tergugat tersebut harus turut digugat;

  • Putusan MA Nomor Register: 429 K / Pdt / 1984 Tanggal 29 Juni 1985, KAIDAH HUKUM: Seorang janda yang melakukan mekidang rga (perbuatan menyerahkan diri) hanya berhak membawa harta guna kaya atau harta pencahariannya sendiri;

  • Putusan MA Nomor Register: 443 K / Pdt / 1984 Tanggal 26 September 1985, KAIDAH HUKUM: Karena rumah yang digugat merupakan harta bersama (gana – gini), isteri harus juga digugat;

  • Putusan MA Nomor Register: 515 K / Pdt / 1984 Tanggal 25 Juli 1985, KAIDAH HUKUM: Putusan Pengadilan Tinggi, yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri, harus diperbaiki tentang sita jaminan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri atas uang hasil lelang, sebagaimana telah tepat dipertimbangkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Karena tidak ada dasarnya, maka sita jaminan harus diangkat. Tetapi Pengadilan Tinggi menyebutkan hal itu dalam amar putusannya, maka putusan tersebut harus diperbaiki dengan memerintahkan agar sita jaminan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri diangkat;

  • Putusan MA Nomor Register: 546 K / Pdt / 1984 Tanggal 31 Agustus 1985, KAIDAH HUKUM: Gugatan tidak dapat diterima karena dalam perkara ini Penggugat seharusnya menggugat semua ahli waris almarhum, bukan hanya isterinya;

  • Putusan MA Nomor Register: 601 K / Pdt / 1984 Tanggal 31 Juli 1985, KAIDAH HUKUM: Ganti rugi yang layak dan patut dalam perkara ini adalah 2 % sebulan;

  • Putusan MA Nomor Register: 1265 K / Pdt / 1984 Tanggal 15 Mei 1987, KAIDAH HUKUM: Hal – hal yang disebarluaskan oleh para Termohon – kasasi di dalam majalah Selecta adalah perbuatan melawan hukum karena cara pengungkapan dalam tulisan mereka melampaui batas – batas yang diperlukan untuk mencapai maksud dan tujuan demi kepentingan umum dan telah menyinggung perasaan dan kehormatan serta kehidupan pribadi Pemohon – kasasi. Dengan tulisan tersebut, Termohon – kasasi telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum mencemarkan nama baik Pemohon – kasasi, sehingga gugatan ganti rugi dapat dikabulkan sebesar yang dianggap patut serta adil oleh Mahkamah Agung, dan Termohon – kasasi diwajibkan untuk memulihkan nama baik Pemohon – kasasi dengan memuat iklan permohonan maaf di surat kabar;

  • Putusan MA Nomor Register: 1695 K / Pdt / 1984 Tanggal 23 Mei 1986, KAIDAH HUKUM: Perjanjian antara warga negara Indonesia dengan orang asing tidak dapat begitu saja diperlakukan bagi hubungan hukum yang objeknyaberada di wilayah Indonesia:

  • Putusan MA Nomor Register: 2916 K / Pdt / 1984 Tanggal 30 Juli 1986, KAIDAH HUKUM: Berdasarkan surat bukti, Penggugat – asal bersama anaknya diberi hak untuk menempati rumah sengketa selama Penggugat – asal masih berstatus janda dan hak tersebut tetap melekat pada Penggugat – asal, meskipun rumah sengketa masih berstatus beli angsur;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 938 K / Sip / 1971 Tanggal 4 Oktober 1972, Kaidah Hukumnya berbunyi: Jual beli antara Tergugat dengan orang ketiga tidak dapat dibatalkan tanpa diikutsertakannya orang ketiga tersebut sebagai Tergugat dalam sengketa;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 64 K / Sip / 1974 Tanggal 1 Mei 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: Walaupun tidak semua ahli waris turut menggugat, tidaklah menjadikan batalnya atau tidak sahnya surat gugatan itu, sebab sebagai ternyata dalam surat gugatan para Penggugat / Terbanding semata – mata menuntut tentang haknya (Mahkamah Agung: para Tergugat kasasi / Penggugat – penggugat asal hanya menuntut barang – barang dari warisan yang telah dihibahkan pada mereka pada waktu alm. Haji Bustami masih hidup, hal mana tidak bertentangan dengan hukum) dan tidak ternyata ada intervensi dari ahli waris lainnya, lagi pula para Penggugat terbanding tidaklah minta untuk ditetapkan sebagai satu – satunya ahli waris dari alm. Haji Bustami;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 904 K / Sip / 1973 Tanggal 29 Oktober 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: Dalam mempertahankan gono – gini terhadap orang ketiga memang benar salah seorang dari suami – isteri dapat bertindak sendiri, tetapi karena perkara ini tidak mengenai gono – gini, suami tidak dapat bertindak selaku kuasa dari isterinya tanpa surat kuasa khusus untuk itu;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 668 K / Sip / 1974 Tanggal 19 Agustus 1974, Kaidah Hukumnya berbunyi: Keberatan yang diajukan Penggugat untuk kasasi: bahwa surat kuasa tanggal 30 April 1972 tidak relevant karena pemberi kuasa (A. Sarwani) selalu hadir dalam sidang – sidang Pengadilan Negeri sampai pada putusan diucapkan, dapat dibenarkan, karena surat kuasa tersebut sudah cukup, karena menyebut “mengajukan gugatan terhadap BNI 1946 Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan / Barat”, dan juga menyebut “naik appel”, lagi pula pada persidangan – persidangan Pengadilan Negeri pihak materiale partij juga selalu hadir;

(Oleh Pengadilan Tinggi surat kuasa tersebut, karena hanya menyebutkan pihak – pihak yang berperkara saja dan sama sekali tidak menyebut apa yang mereka perkarakan itu, dianggap tidak bersifat khusus, bertentangan dengan pasal 123 HIR. Sehingga gugatan dinyatakan tidak dapat diterima);


  •  Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 983 K / Sip / 1973 Tanggal 11 September 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: Karena HIR tidak mengharuskan adanya penguasaan kepada advokat, tuntutan tentang upah pengacara ditambah 10 % incasso komisi ditambah 20 % pajak penjualan incasso komisi tidak dapat dikabulkan;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 933 K / Sip / 1971 Tanggal 30 September 1972, Kaidah Hukumnya berbunyi: Putusan Pengadilan Tinggi yang berisi pembatalan hubungan hukum antara Tergugat dengan pihak ketiga harus dibatalkan, karena untuk itu pihak ketiga harus diikutsertakan sebagai Tergugat;

  •  Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 431 K / Sip / 1973 Tanggal 9 Mei 1974, Kaidah Hukumnya berbunyi: Dengan meninggalnya Penggugat asli dan tidak adanya persetujuan dari semua warisnya untuk melanjutkan gugatan semula, gugatan harus dinyatakan gugur;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 516 K / Sip / 1973 Tanggal 25 November 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: Pertimbangan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena hanya seorang ahli waris yang menggugat, tidak dapat dibenarkan karena menurut yurisprudensi Mahkamah Agung tidak diharuskan semua ahli waris menggugat;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 157 K / Sip / 1974 Tanggal 10 Juli 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: Gugatan yang ditujukan kepada Musda sebenarnya haruslah dinyatakan tidak dapat diterima karena Musda bukanlah badan hukum, seharusnya yang dapat digugat ialah: 1. M. Rambi, Asisten Wedana Kecamatan Teluk Mengkudu, 2. Letda Bustami, dan Puterpra 19 Teluk Mengkudu, 3. Abunyamin, Inspektur Polisi Tk. II dan Sek 20232 Teluk Mengkudu.

Tetapi seandainya yang disebut belakangan ini yang digugat maka hasil pemeriksaan perkara akan tetap sama, untuk memperoleh peradilan yang sederhana, cepat dan murah seperti yang ditentukan Undang – Undang Pokok Kehakiman No. 14 / 1970, maka haruslah dianggap bahwa Penggugat mengajukan gugatannya kepada orang – orang tersebut dalam kedudukannya sebagai pejabat Asisten Wedana dan Puterpra serta Dan Sek Kepolisian;


  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 46 K / Sip / 1969 Tanggal 19 Juni 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi:
  1. Putusan PT salah, karena memutus hal – hal yang tidak dituntut;
  2. Dalam perkara perdata, walaupun ada tiga orang yang meminta banding dan banding dari seorang saja yang dapat diterima dan yang lainnya karena formil tidak dapat diterima toh perkara itu tetap diperiksa seluruhnya termasuk kepentingan – kepentingan para pembanding yang permohonan bandingnya tidak dapat diterima;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 415 K / Sip / 1970 Tanggal 30 Juni 1970, Kaidah Hukumnya berbunyi:
  1. Pembaenan (Penyerahan tanpa melepaskan hak milik) harus dianggap sebagai usaha untuk memperlunakan Hukum Adat di masa sebelum perang Dunia ke II, dimana seorang anak perempuan tiada mempunyai hak waris;
  2. Hukum Adat di daerah Tapanuli juga telah berkembang ke arah pemberian hak yang sama kepada anak perempuan seperti anak lelaki, perkembangan mana sudah diperkuat pula dengan suatu yurisprudensi tetap mengenai hukum waris di daerah tersebut.

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 436 K / Sip / 1970 Tanggal 30 Juni 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi:
  1. Keputusan Adat Perdamaian Desa tidak mengikat Hakim Pengadilan Negeri dan hanya merupakan suatu pedoman, sehingga kalau ada alasan hukum yang kuat, Hakim PN dapat menyimpang dari Keputusan tersebut;
  2. Dalam hal ini alasan hukum yang kuat ialah fakta bahwa kemudian ternyata penggugat bukan ahli waris dari Lai Buatua.

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 358 K / Sip / 1971 Tanggal 14 Juli 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi: Terbukti tergugat I sebagai Nyeburin sentana pada Ni Keneng (dalam perkawinannya dengan Ni Keneng, tergugat I berstatus perempuan) dan telah terbukti pula bahwa setelah Ni Keneng meninggal dunia tergugat I kawin lagi tanpa persetujuan semua keluarga terdekat dari alm. Nang Rumen, maka telah terbukti tergugat I menyalahi darmanya sebagai Janda (tergugat I menurut adat berstatus perempuan) dan menurut adat Tergugat I tidak boleh lagi tinggal di rumah almarhum Nang Rumen serta mewarisi harta peninggalan Nang Rumen.

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 208 K / Sip / 1971 Tanggal 17 Juni 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi: Berdasarkan Yurisprudensi perbedaan harga mata uang lama dengan mata uang baru dinilai menurut harga emas dengan membebankan resikonya pada kedua belah pihak secara setengah – setengah, akan tetapi dalam hal ini seluruh resiko dibebankan kepada tergugat, karena ia yang bersalah yaitu telah melepaskan hak penggugat secara sepihak;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 332 K / Sip / 1971 Tanggal 10 Juli 1971, Kaidah Hukumnya: Putusan PT dan PN harus dibatalkan, karena pada waktu putusan PN diucapkan sebenarnya belumlah jelas siapa dari ahliwaris tergugat asal yang akan meneruskan kedudukannya sebagai tergugat asal;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 429 K / Sip / 1971 Tanggal 10 Juli 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi: Gugatan terhadap alm. tergugat asal dianggap diteruskan terhadap para ahli warisnya, bilaman pihak penggugat tidak menaruh keberatan terhadap kemauan para ahli waris Alm. untuk meneruskan perkara dari Alm. tergugat asal;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 340 K / Sip / 1971 Tanggal 7 Juli 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi: Bahwa di samping itu juga dari berita acara pemeriksaan sama sekali tidak ternyata darimana ongkos pengacara Rp. 12.500,- diperhitungkan, tegasnya tidak terbukti bahwa ongkosnya adalah demikian. Pasal 5 dari perjanjian menentukan “segala biaya yang bersangkutan dengan penagihan hutang debitur secara demikian itu terhitung juga prosentase yang lazimnya dipungut oleh seorang pengacara atau penguasa lainnya itu ….”, sehingga menurut pendapat MA lebih tepat secara exaequo et bono ongkos pengacara telah termasuk 5 ¼ upah komisi tagihan.

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 698 K / Sip / 1969 Tanggal 23 Desember 1970, Kaidah Hukumnya berbunyi: Pendapat PT bahwa jual beli persil sengketa yang dilakukan antara Penggugat asal dengan para ahli waris Yan Bas itu adalah sah, tidak dapat dibenarkan karena suatu perjanjian jual beli adalah sah bilamana benda yang menjadi obyek itu ada, dan tidak gugur, sedangkan dalam hal ini pada saat dilakukannya perjanjian jual beli persil sengketa pada tanggal 21 – 2 – 57, hak yang menjadi obyek perjanjian jual beli itu berada dalam keadaan gugur, sedang yang ada hanya baru terdapat kuasa dari Hakim untuk memperbaharui akte hak erfpacht yang berada dalam keadaan gugur itu sehingga tidak dapat dikatakan merupakan suatu barang tertentu yang menjadi salah satu syarat sahnya suatu perjanjian jual beli, menurut hukum hak atas tanah sengketa belum diserahkan kepada penggugat asal, sehingga belum pernah hak atas tanah itu berpindah kepadanya.

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 305 K / Sip / 1971 Tanggal 16 Juni 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi: PT tidak berwenang untuk secara jabatan tanpa Pemeriksaan Ulangan menempatkan seseorang yang tidak digugat sebagai salah seorang tergugat, karena tindakan tersebut bertentangan dengan azas acara Perdata yang memberi wewenang tersebut kepada penggugat untuk menentukan siapa – siapa yang akan digugatnya.

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 372 K / Sip / 1970 Tanggal 1 September 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi: Penyerahan hak milik mutlak sebagai jaminan oleh pihak ke III hanya berlaku untuk benda – benda bergerak.

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 383 K / Sip / 1971 Tanggal 3 Nopember 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi: Tidak dimintakannya pembatalan sertifikat hak milik, dalam hal ini tidak mengakibatkan tidak dapat diterimanya gugatan.

Menyatakan batal surat bukti hak milik yang dikeluarkan oleh instansi agraria secara sah tidak termasuk wewenang Pengadilan melainkan semata – mata termasuk wewenang administrasi. Pembatalan surat bukti hak milik harus dimintakan oleh pihak yang dimenangkan Pengadilan kepada Instansi Agraria berdasarkan putusan Pengadilan yang diperolehnya.


  •  Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 209 K / Sip / 1970 Tanggal 6 Maret 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi:

Suatu tuntutan baru (rekonpensi) tidak dapat diajukan dalam tingkat kasasi;

Suatu perubahan tuntutan tidak bertentangan dengan azas – azas hukum acara perdata, asal tidak merubah atau menyimpang dari kejadian materil walaupun tidak ada tuntutan Subsidair: untuk peradilan yang adil.


  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1001 K / Sip / 1971 Tanggal 13 Nopember 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi: Terhadap suatu penetapan yang diambil oleh PT dalam bidang pengawasan, tidak dapat diajukan permohonan kasasi, tetapi hanya keberatan atau pengaduan kepada MA sebagai badan pengawas tertinggi atas jalannya peradilan.

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1180 K / Sip / 1971 Tanggal 12 April 1972, Kaidah Hukumnya berbunyi:Persoalan apakah suatu keadaan adalah paksaan atau tidak merupakan suatu persoalan hukum yang menjadi wewenang MA untuk mempertimbangkannya.

Menutut UU “Nood toestand” bukan merupakan “on geoorloofde oorzaak” antara kedua pengertian itu terdapat perbedaan yang prinsipil.

“Nood toestand” yang diataur dalam ps 244 dan ps 1245 BW merupakan suatu keadaan yang dinilai pada saat pelaksanaan perjanjian, sedang “on geoorloofde oorzaak” yang diatur dalam ps 1335 jo ps 1337 jo ps 1320 BW dinilai pada saat perjanjian diadakan atau dibuat.


  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 27 K / Sip / 1972 Tanggal 5 Juli 1972, Kaidah Hukumnya berbunyi: Soal apakah suatu perbuatan merupakan “penghinaan” adalah suatu persoalan hukum yang termasuk wewenang pengadilan Kasasi.

Isi maupun format sesuatu iklan tidak dapat dikatakan mengandung penghinaan atau mencemarkan nama baik seseorang selama tidak melampaui batas – batas daripada yang perlu untuk mencapai maksud dan tujuan dari pemasangan iklan itu.


  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 268 K / Sip / 1971 Tanggal 25 Agustus 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi: Alasan yang diperbolehkan (een geoorloofde oorzaak)  berdasarkan pasal 1320 BW yang dalam hal ini merupakan suatu “tujuan bersama” (geza menlijkedoel) dari kedua belah pihak atas dasar mana kemudian diadakan perjanjian dan bukan merupakan hal yang mengenai akibat pada waktu pelaksanaan perjanjian.

  •  Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 556 K / Sip / 1971 Tanggal 8 Januari 1972, Kaidah Hukumnya berbunyi:
  1. Mengabulkan lebih daripada yang digugat adalah diizinkan selama hal itu masih sesuai dengan kejadian materil.
  2. PT berwenang mengambil alih pertimbangan PN jika pertimbangan itu dianggap benar.
  3. Meskipun seorang isteri berstatus WNI, tapi karena ia kawin dengan suaminya Warga Negara Asing, berdasarkan hukum yang berlaku untuk si suami yaitu Hukum Barat, dan ia hidup dalam lingkungan hukum suaminya, maka terhadapnya berlaku Hukum Barat.

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 665 K / Sip / 1971 Tanggal 15 Desember 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi: Dalam mempertimbangkan sesuatu perkara dengan menunjuk pada suatu putusan yang belum jelas apakah putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum atau belum, kurang tepat untuk dipakai sebagai dasar dalam mengambil putusan.

  •  Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1078 K / Sip / 1971 Tanggal 26 Juli 1972, Kaidah Hukumnya berbunyi:
  1. Yang berwenang menyelesaikan perselisihan tentang sewa menyewa adalah Kantor Urusan Perumahan.
  2. Suatu perselisihan merupakan perselisihan sewa menyewa, jika salah satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian sewa menyewa.

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 289 K / Sip / 1972 Tanggal 22 Juli 1972, Kaidah Hukumnya berbunyi: Besarnya suku bunga pinjaman, adalah sebagaimana yang telah diperjanjikan bersama.

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 677 K / Sip / 1972 Tanggal 20 Desember 1972, Kaidah Hukumnya berbunyi:
  1. Suatu perkara yang tunduk pada suatu hukum acara yang bersifat khusus, tidak dapat digabungkan dengan perkara lain yang tunduk pada hukum acara yang bersifat umum, sekalipun kedua perkara itu erat hubungannya satu sama lain.
  2. Pendaftaran suatu merk hanyalah memberikan hak kepada orang atau badan hukum yang merknya didaftarkan itu. Bahwa ia dianggap sebagai “pemakai pertama” daripada merk itu sampai dibuktikan hal yang sebaliknya oleh pihak lain.
  3. Yang dimaksud oleh UU dengan perkataan – perkataan “pemakai pertama” di Indonesia yang jujur (beritikad baik sesuai dengan azas hukum, bahwa perlindungan diberikan kepada yang beritikad baik dan tidak kepada orang yang beritikad buruk.
  4. Tujuan daripada UU Merk (UU No.21 tahun 1961) adalah untuk melindungi khalayak ramai terhadap barang – barang tiruan yang bermutu baik, yaitu dengan cara menertibkan kepatutan di dalam lalu lintas perdagangan (handelsmoraal).

  •  Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 61 K / Sip / 1971 Tanggal 13 Nopember 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi: Suatu Surat Kuasa untuk mengajukan permohonan kasasi yang memuat dua tanggal (dimana tanggal yang satu adalah tanggal 29 Oktober 1970 dan tanggal 29 November 1970) dan akta kasasi diajukan tanggal 23 November 1970, harus diqualifikasi  sebagai suatu surat kuasa yang tidak dapat memberi wewenang kepada pemegang Surat Kuasa tersebut untuk bertindak atas nama si pemberi kuasa, in casu untuk mengajukan permohonan kasasi dalam perkara ini, karena surat kuasa demikian itu menimbulkan keadaan yang serba tidak menentu yakni:
  1. Bilamana yang dianggap benar tanggal surat kuasa tersebut adalah tanggal 29 Oktober 1970 maka tidak ada persoalan;
  2. Sebaliknya bilamana yang benar dari tanggal surat kuasa tersebut adalah tanggal 29 November 1970 maka kuasa Penggugat untuk kasasi harus dianggap tidak berwenang untuk  mengajukan permohonan kasasi lagi Penggugat untukm kasasi karena saat diajukannya akta kasasi (tanggal 23 November 1970) ia tidak memiliki kuasa untuk itu;

  •  Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 144 K / Sip / 1971 Tanggal 27 Juni 1973, Kaidah Hukumnya berbunyi: Penetapan mengenai ahli waris dan warisan dalam penetapan PN Gresik tanggal 14 April 1956 No. 43/1955/pdt dan dalam putusan PN Gresik tanggal 22 Nopember 1965 No. 66/1962/pdt bukan merupakan nebis in idem, oleh karena penetapan No. 43/1955/pdt tersebut hanya bersifat deklarasi, sedangkan dalam perkara No. 66 / 1962/pdt tersebut ada sengketa antara pihak – pihak yang berkepentingan;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 840 K/Sip/1975 Tanggal 4 Juli 1978, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Surat gugatan bukan merupakan akta dibawah tangan, maka surat gugatan tidak terikat pada ketentuan – ketentuan Pasal 286 (2) RBg jo. Stb. 1916 – 46 jo. Stb. 1919 – 776”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 769 K/Sip/1975 Tanggal 24 Agustus 1978, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan bercap jempol yang tidak dilegalisir, berdasarkan Yurisprudensi bukanlah batal menurut hukum, tetapi selalu dikembalikan untuk dilegalisasi kemudian”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1149 K/Sip/1975 Tanggal 17 April 1979, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena surat gugatan tidak disebutkan dengan jelas letak/batas – batas tanah sengketa, gugatan tidak dapat diterima”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 415 K/Sip/1975 Tanggal 27 Juni 1979, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan yang ditujukan lebih dari seorang Tergugat, yang antara Tergugat – Tergugat itu tidak ada hubungan hukumnya, tidak dapat diadakan dalam satu gugatan, tetapi masing – masing Tergugat harus digugat sendiri – sendiri”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  1075 K/Sip/1980, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum, karena petitum bertentangan dengan posita gugatan, gugatan tidak dapat diterima”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  663 K/Sip/1973 Tanggal 6 Agustus 1973, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Petitum yang tidak mengenai hal yang menjadi obyek dalam perkara harus ditolak”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   28 K/Sip/1973 Tanggal 5 Nopember 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena rechtfeiten yang diajukan bertentangan dengan petitum, gugatan harus ditolak”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   582 K/Sip/1973  Tanggal 18 Desember 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena petitum gugatan adalah tidak jelas, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   492 K/Sip/1970 Tanggal 21 Nopember 1970, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan yang tidak sempurna, karena tidak menyebutkan dengan jelas apa – apa yang dituntut, harus dinyatakan tidak dapat diterima”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   1391 K/Sip/1975 Tanggal 26 April 1979, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Karena dari gugatan Penggugat tidak jelas batas – batas dusun sengketa yang digugat, hanya disebutkan (bertanda II) saja, gugatan tidak dapat diterima”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   439 K/Sip/1968 Tanggal 8 Januari 1969, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Tentang tuntutan pengembalian barang/harta warisan dari tangan pihak ketiga kepada para ahli waris yang berhak, tidak perlu diajukan semua ahli waris”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:   6 K/Sip/1973 Tanggal 21 Agustus 1973, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima karena dasar gugatan tidak sempurna, dalam hal in karena hak Penggugat atas tanah sengketa tidak jelas”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  995 K/Sip/1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Bahwa terbanding semula Penggugat sebagai seorang debitor hanya sekedar mempunyai kewajiban – kewajiban, ialah untuk melunasi hutangnya dan tidak mempunyai hak terhadap kreditornya, sedangkan bagi pengajuan gugatan haruslah ada sesuatu hak yang dilanggar oleh orang lain, untuk dapat menarik yang bersangkutan sebagai Tergugat dalam suatu proses peradilan”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  1360 K/Sip/1973 Tanggal 17 Juni 1976, Kaidah Hukumnya berbunyi: “Pengadilan Tinggi telah terlalu formal dengan menyatakan gugatan tidak dapat diterima, hanya karena Penggugat minta supaya tanah terperkara disahkan menjadi hak miliknya, sedangkan Penggugat mendasarkan gugatannya pada Hak Guna Usaha (HGU); Karena walaupun petitum menyebut milik, tetapi yang dimaksud adalah tanah dalam Hak Guna Usaha”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:  4 K/Sip/1958 Tanggal 13 Desember 1958, Kaidah Hukumnya: “Syarat mutlak untuk menuntut seseorang di depan Pengadilan adalah adanya perselisihan hukum antara kedua pihak”;

– Putusan MA Nomor Register: 1400 K / Pdt / 2001 Tanggal 2 Januari 2003, KAIDAH HUKUM: – Barang jaminan hanya dapat dijual melalui lelang, Bank tidak berhak menjual sendiri, tanah yang dijaminkan pada Bank tanpa seijin pemiliknya.

– Pengalihan hak atas tanah berdasarkan Surat Kuasa mutlak batal demi hukum.

– Bantahan terhadap pelaksanaan putusan, maka yang berwenang untuk memeriksa dan memutus bantahan adalah Pengadilan Negeri dalam wilayah hukumnya yang menjalankan putusan;


  • Putusan MA Nomor Register: 03 K / Pdt / 2002 Tanggal 2 Januari 2003, KAIDAH HUKUM: Putusan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) yang menggunakan irah – irah :”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah adalah cacat hukum dan dinyatakan batal demi hukum karena telah melampaui kewenangannya berdasarkan pasal 10 Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1970 dan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999;

  • Putusan MA Nomor Register: 634 PK / Pdt / 2007 Tanggal 22 Mei 2008, KAIDAH HUKUM: Peradilan Umum (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi) tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa perburuhan antara Penggugat dan para Tergugat, sengketa perburuhan merupakan wewenang Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P);

P4D, P4P serta Pengadilan Tinggi TUN telah memutuskan sengketa tersebut; dengan demikian gugatan Penggugat ini bertujuan untuk mengaburkan kepastian hukum sehingga harus ditolak;


  • Putusan MA Nomor Register: 1498 K / Pdt / 2006 Tanggal 23 Januari 2008, KAIDAH HUKUM: 1. Dalam keadaan tertentu, fotokopi dari fotokopi dapat diterima sebagai bukti. Dalam perkara ini, Majelis Hakim tingkat pertama menggunakan alat bukti fotokopi itu untuk menunjang pengakuan Termohon Kasasi / Tergugat III, bahwa tanah sengketa semula milik orang tua Pemohon Kasasi / Penggugat yang setelah beralih ke tangan Termohon Kasasi / Tergugat II kemudian dibeli oleh Termohon Kasasi / Tergugat III. Tanpa melihat konteksnya, Pengadilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan Negeri atas dasar bahwa putusan Majelis Hakim tingkat pertama didasarkan pada bukti yang tidak sah. Menurut Majelis Hakim kasasi, Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum atas dasar pertimbangan yang tidak cukup (onvoldoende gemotiveerd).
  1. Untuk membuktikan apakah jual beli tanah sengketa terjadi dengan cara yang benar, berdasarkan asas Bilijkheid beginsel, maka yang harus membuktikannya adalah pembeli (i.c. Termohon Kasasi / Tergugat III), karena apabila ia benar telah membeli tanah tersebut, maka ia akan lebih mudah untuk membuktikannya. Menurut Majelis kasasi, bukti – bukti yang diajukan Termohon Kasasi / Tergugat III sebagai dasar telah beralihnya hak atas tanah sengketa kepada Termohon Kasasi / Tergugat III mengandung cacat yuridis.

Dengan pertimbangan itu, Mahkamah Agung menyatakan menurut hukum Penggugat adalah pemilik sah atas tanah sengketa tersebut, sedangkan Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III telah melakukan perbuatan melawan hukum;


  • Putusan MA Nomor Register: 234 K / Pdt / 1992 Tanggal 20 Desember 1993, KAIDAH HUKUM: – Bahwa buku letter C desa bukan merupakan bukti hak milik, tetapi hanya merupakan kewajiban sesorang untuk membayar pajak terhadap tanah yang dikuasasinya.

– Bahwa Pemohon Kasasi pada waktu itu masih kecil, sehingga wajar kalau pembayaran pajak atas tanah sengketa tersebut dilakukan oleh Bakri H. Burhan dan itu bukan berarti tanah tersebut miliknya.

– Bahwa Pemohon Kasasi dapat membuktikan kepemilikan tanah tersebut berdasarkan bukti P1 yaitu penjualan tanah dari H. Moekri kepada Soeha diperkuat oleh saksi – saksi.

– Bahwa jual beli antara H. Burhan dengan Termohon Kasasi (Tergugat I) terhadap tanah sengketa tersebut adalah tidak sah;


  • Putusan MA Nomor Register: 829 K / Pdt / 1991 Tanggal 10 Desember 1993, KAIDAH HUKUM: – Judex factie telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan bahwa dalam gugatannya para penggugat asal menggugat harta peninggalan orang tua para penggugat yang diserahkan penguasaannya kepada tergugat asal dan harta tersebut merupakan harta peninggalan almarhum yang belum dibagi waris.

– Bahwa karena gugatan itu mengenai harta peninggalan yang belum dibagi waris, maka seluruh ahli waris dari almarhum Iman Ashari harus diikutsertakan dalam gugatan baik sebagai Penggugat ataupun ikut Tergugat, sehingga sesuai dengan eksepsi Tergugat yang menyatakan para pihak dalam gugatan Penggugat asal tersebut tidak lengkap, maka gugatan para Penggugat asal harus dinyatakan tidak dapat diterima;


  • Putusan MA Nomor Register: 2064 K / Pdt / 1991 Tanggal 28 Pebruari 1994, KAIDAH HUKUM: Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum khususnya dalam hukum pembuktian bahwa legenbewij yang merupakan aanwizingen tidak mematahkan bukti sempurna sertifikat hak milik atas tanah yang sudah menurut prosedur;

  • Putusan MA Nomor Register: 3114 K / Pdt / 1991 Tanggal 28 Nopember 1992, KAIDAH HUKUM: Kesimpulan Pengadilan Tinggi yang menyatakan gugatan baru diajukan setelah 33 tahun dan dijadikan dasar alasan bahwa penggugat tidak berhak atas tanah terperkara, pendapat dan kesimpulan tersebut tidak tepat. Pertama: menggugat sesuatu menurut hukum adalah hak, dan hak itu bisa dipergunakan kapan dikehendaki. Kedua: apa yang mereka gugat adalah hak warisan, dan mengenai hak menggugat harta warisan menurut huku adat, tidak mengenal batas jangka waktu serta tidak mengenal daluarsa;

  • Putusan MA Nomor Register: 1029 K / Pdt / 1992 Tanggal 29 Juli 1993, KAIDAH HUKUM: Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum bahwa oleh karena telah terbukti harta sengketa adalah barang asal dari almarhum Daniel Melianus Lokollo (ayah dari para suami Penggugat, Tergugat I dan Tergugat II) yang belum dibagi waris, maka sesuai hukum adat dan Undang – Undan Perkawinan, harta asal jatuh kepada garis keturunan Lokollo, sedang Penggugat sebagai janda almarhum Wilhelm Abraham Lokollo, yang tidak mempunyai anak, tidak berhak atas harta asal almarhum suaminya, tetapi berhak atas harta bersama dengan almarhum suaminya, sehingga petitum kedua dari gugatan dapat dikabulkan selebihnya harus ditolak dan Mahkamah Agung mengadili sendiri;

  • Putusan MA Nomor Register: 10 K / Pdt / 1962 Tanggal 17 Maret 1992, KAIDAH HUKUM: Permohonan pemeriksaan kasasi untuk kepentingan hukum yang diajukan oleh Jaksa Agung untuk pembataan penetapan Pengadilan Negeri, tidak dapat mengurangi hak – hak yang telah diperoleh pihak yang bersangkutan. Istilah “tidak dapat mengurangi hak – hak tersebut”, hanya pada tempatnya bila penetapan Pengadilan Negeri diambil dalam lapangan attribusinya, kata absoluut atau relatief, telah dilanggar.

Dalam hal ini, oleh karena Pengadilan Negeri tidak mengambil penetapannya dalam lingkungan attribusi untuk pengadilan, melainkan telah melewati batas – batas kekuasaan peradilan (rechtsbedelingsssfeer) untuk seluruh peradilan dan dengan demikian pemohon tidak dapat mengemukakan hak – hak yang diperoleh oleh penetapan yang bersangkutan;


  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 938 K / Sip / 1971 Tanggal 4 Oktober 1972, Kaidah Hukumnya berbunyi: Jual beli antara Tergugat dengan orang ketiga tidak dapat dibatalkan tanpa diikutsertakannya orang ketiga tersebut sebagai Tergugat dalam sengketa;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 64 K / Sip / 1974 Tanggal 1 Mei 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: Walaupun tidak semua ahli waris turut menggugat, tidaklah menjadikan batalnya atau tidak sahnya surat gugatan itu, sebab sebagai ternyata dalam surat gugatan para Penggugat / Terbanding semata – mata menuntut tentang haknya (Mahkamah Agung: para Tergugat kasasi / Penggugat – penggugat asal hanya menuntut barang – barang dari warisan yang telah dihibahkan pada mereka pada waktu alm. Haji Bustami masih hidup, hal mana tidak bertentangan dengan hukum) dan tidak ternyata ada intervensi dari ahli waris lainnya, lagi pula para Penggugat terbanding tidaklah minta untuk ditetapkan sebagai satu – satunya ahli waris dari alm. Haji Bustami.

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 904 K / Sip / 1973 Tanggal 29 Oktober 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: Dalam mempertahankan gono – gini terhadap orang ketiga memang benar salah seorang dari suami – isteri dapat bertindak sendiri, tetapi karena perkara ini tidak mengenai gono – gini, suami tidak dapat bertindak selaku kuasa dari isterinya tanpa surat kuasa khusus untuk itu;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 668 K / Sip / 1974 Tanggal 19 Agustus 1974, Kaidah Hukumnya berbunyi: Keberatan yang diajukan Penggugat untuk kasasi: bahwa surat kuasa tanggal 30 April 1972 tidak relevant karena pemberi kuasa (A. Sarwani) selalu hadir dalam sidang – sidang Pengadilan Negeri sampai pada putusan diucapkan, dapat dibenarkan, karena surat kuasa tersebut sudah cukup, karena menyebut “mengajukan gugatan terhadap BNI 1946 Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan / Barat”, dan juga menyebut “naik appel”, lagi pula pada persidangan – persidangan Pengadilan Negeri pihak materiale partij juga selalu hadir.

(Oleh Pengadilan Tinggi surat kuasa tersebut, karena hanya menyebutkan pihak – pihak yang berperkara saja dan sama sekali tidak menyebut apa yang mereka perkarakan itu, dianggap tidak bersifat khusus, bertentangan dengan pasal 123 HIR. Sehingga gugatan dinyatakan tidak dapat diterima);


  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 983 K / Sip / 1973 Tanggal 11 September 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: Karena HIR tidak mengharuskan adanya penguasaan kepada advokat, tuntutan tentang upah pengacara ditambah 10 % incasso komisi ditambah 20 % pajak penjualan incasso komisi tidak dapat dikabulkan;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 933 K / Sip / 1971 Tanggal 30 September 1972, Kaidah Hukumnya berbunyi: Putusan Pengadilan Tinggi yang berisi pembatalan hubungan hukum antara Tergugat dengan pihak ketiga harus dibatalkan, karena untuk itu pihak ketiga harus diikutsertakan sebagai Tergugat;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 431 K / Sip / 1973 Tanggal 9 Mei 1974, Kaidah Hukumnya berbunyi: Dengan meninggalnya Penggugat asli dan tidak adanya persetujuan dari semua warisnya untuk melanjutkan gugatan semula, gugatan harus dinyatakan gugur;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 516 K / Sip / 1973 Tanggal 25 November 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: Pertimbangan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena hanya seorang ahli waris yang menggugat, tidak dapat dibenarkan karena menurut yurisprudensi Mahkamah Agung tidak diharuskan semua ahli waris menggugat;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 157 K / Sip / 1974 Tanggal 10 Juli 1975, Kaidah Hukumnya berbunyi: Gugatan yang ditujukan kepada Musda sebenarnya haruslah dinyatakan tidak dapat diterima karena Musda bukanlah badan hukum, seharusnya yang dapat digugat ialah: 1. M. Rambi, Asisten Wedana Kecamatan Teluk Mengkudu, 2. Letda Bustami, dan Puterpra 19 Teluk Mengkudu, 3. Abunyamin, Inspektur Polisi Tk. II dan Sek 20232 Teluk Mengkudu.

Tetapi seandainya yang disebut belakangan ini yang digugat maka hasil pemeriksaan perkara akan tetap sama, untuk memperoleh peradilan yang sederhana, cepat dan murah seperti yang ditentukan Undang – Undang Pokok Kehakiman No. 14 / 1970, maka haruslah dianggap bahwa Penggugat mengajukan gugatannya kepada orang – orang tersebut dalam kedudukannya sebagai pejabat Asisten Wedana dan Puterpra serta Dan Sek Kepolisian;


  •  Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 46 K / Sip / 1969 Tanggal 19 Juni 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi:
  1. Putusan PT salah, karena memutus hal – hal yang tidak dituntut;
  2. Dalam perkara perdata, walaupun ada tiga orang yang meminta banding dan banding dari seorang saja yang dapat diterima dan yang lainnya karena formil tidak dapat diterima toh perkara itu tetap diperiksa seluruhnya termasuk kepentingan – kepentingan para pembanding yang permohonan bandingnya tidak dapat diterima;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 415 K / Sip / 1970 Tanggal 30 Juni 1970, Kaidah Hukumnya berbunyi:
  1. Pembaenan (Penyerahan tanpa melepaskan hak milik) harus dianggap sebagai usaha untuk memperlunakan Hukum Adat di masa sebelum perang Dunia ke II, dimana seorang anak perempuan tiada mempunyai hak waris;
  2. Hukum Adat di daerah Tapanuli juga telah berkembang ke arah pemberian hak yang sama kepada anak perempuan seperti anak lelaki, perkembangan mana sudah diperkuat pula dengan suatu yurisprudensi tetap mengenai hukum waris di daerah tersebut.

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 436 K / Sip / 1970 Tanggal 30 Juni 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi:
  1. Keputusan Adat Perdamaian Desa tidak mengikat Hakim Pengadilan Negeri dan hanya merupakan suatu pedoman, sehingga kalau ada alasan hukum yang kuat, Hakim PN dapat menyimpang dari Keputusan tersebut;
  2. Dalam hal ini alasan hukum yang kuat ialah fakta bahwa kemudian ternyata penggugat bukan ahli waris dari Lai Buatua.

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 358 K / Sip / 1971 Tanggal 14 Juli 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi: Terbukti tergugat I sebagai Nyeburin sentana pada Ni Keneng (dalam perkawinannya dengan Ni Keneng, tergugat I berstatus perempuan) dan telah terbukti pula bahwa setelah Ni Keneng meninggal dunia tergugat I kawin lagi tanpa persetujuan semua keluarga terdekat dari alm. Nang Rumen, maka telah terbukti tergugat I menyalahi darmanya sebagai Janda (tergugat I menurut adat berstatus perempuan) dan menurut adat Tergugat I tidak boleh lagi tinggal di rumah almarhum Nang Rumen serta mewarisi harta peninggalan Nang Rumen.

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 208 K / Sip / 1971 Tanggal 17 Juni 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi: Berdasarkan Yurisprudensi perbedaan harga mata uang lama dengan mata uang baru dinilai menurut harga emas dengan membebankan resikonya pada kedua belah pihak secara setengah – setengah, akan tetapi dalam hal ini seluruh resiko dibebankan kepada tergugat, karena ia yang bersalah yaitu telah melepaskan hak penggugat secara sepihak;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 332 K / Sip / 1971 Tanggal 10 Juli 1971, Kaidah Hukumnya: Putusan PT dan PN harus dibatalkan, karena pada waktu putusan PN diucapkan sebenarnya belumlah jelas siapa dari ahliwaris tergugat asal yang akan meneruskan kedudukannya sebagai tergugat asal;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 429 K / Sip / 1971 Tanggal 10 Juli 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi: Gugatan terhadap alm. tergugat asal dianggap diteruskan terhadap para ahli warisnya, bilaman pihak penggugat tidak menaruh keberatan terhadap kemauan para ahli waris Alm. untuk meneruskan perkara dari Alm. tergugat asal;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 340 K / Sip / 1971 Tanggal 7 Juli 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi: Bahwa di samping itu juga dari berita acara pemeriksaan sama sekali tidak ternyata darimana ongkos pengacara Rp. 12.500,- diperhitungkan, tegasnya tidak terbukti bahwa ongkosnya adalah demikian. Pasal 5 dari perjanjian menentukan “segala biaya yang bersangkutan dengan penagihan hutang debitur secara demikian itu terhitung juga prosentase yang lazimnya dipungut oleh seorang pengacara atau penguasa lainnya itu ….”, sehingga menurut pendapat MA lebih tepat secara exaequo et bono ongkos pengacara telah termasuk 5 ¼ upah komisi tagihan.

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 698 K / Sip / 1969 Tanggal 23 Desember 1970, Kaidah Hukumnya berbunyi: Pendapat PT bahwa jual beli persil sengketa yang dilakukan antara Penggugat asal dengan para ahli waris Yan Bas itu adalah sah, tidak dapat dibenarkan karena suatu perjanjian jual beli adalah sah bilamana benda yang menjadi obyek itu ada, dan tidak gugur, sedangkan dalam hal ini pada saat dilakukannya perjanjian jual beli persil sengketa pada tanggal 21 – 2 – 57, hak yang menjadi obyek perjanjian jual beli itu berada dalam keadaan gugur, sedang yang ada hanya baru terdapat kuasa dari Hakim untuk memperbaharui akte hak erfpacht yang berada dalam keadaan gugur itu sehingga tidak dapat dikatakan merupakan suatu barang tertentu yang menjadi salah satu syarat sahnya suatu perjanjian jual beli, menurut hukum hak atas tanah sengketa belum diserahkan kepada penggugat asal, sehingga belum pernah hak atas tanah itu berpindah kepadanya.

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 305 K / Sip / 1971 Tanggal 16 Juni 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi: PT tidak berwenang untuk secara jabatan tanpa Pemeriksaan Ulangan menempatkan seseorang yang tidak digugat sebagai salah seorang tergugat, karena tindakan tersebut bertentangan dengan azas acara Perdata yang memberi wewenang tersebut kepada penggugat untuk menentukan siapa – siapa yang akan digugatnya.

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 372 K / Sip / 1970 Tanggal 1 September 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi: Penyerahan hak milik mutlak sebagai jaminan oleh pihak ke III hanya berlaku untuk benda – benda bergerak.

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 383 K / Sip / 1971 Tanggal 3 Nopember 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi: Tidak dimintakannya pembatalan sertifikat hak milik, dalam hal ini tidak mengakibatkan tidak dapat diterimanya gugatan.

Menyatakan batal surat bukti hak milik yang dikeluarkan oleh instansi agraria secara sah tidak termasuk wewenang Pengadilan melainkan semata – mata termasuk wewenang administrasi. Pembatalan surat bukti hak milik harus dimintakan oleh pihak yang dimenangkan Pengadilan kepada Instansi Agraria berdasarkan putusan Pengadilan yang diperolehnya.


  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 209 K / Sip / 1970 Tanggal 6 Maret 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi:

Suatu tuntutan baru (rekonpensi) tidak dapat diajukan dalam tingkat kasasi;

Suatu perubahan tuntutan tidak bertentangan dengan azas – azas hukum acara perdata, asal tidak merubah atau menyimpang dari kejadian materil walaupun tidak ada tuntutan Subsidair: untuk peradilan yang adil.


  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1001 K / Sip / 1971 Tanggal 13 Nopember 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi: Terhadap suatu penetapan yang diambil oleh PT dalam bidang pengawasan, tidak dapat diajukan permohonan kasasi, tetapi hanya keberatan atau pengaduan kepada MA sebagai badan pengawas tertinggi atas jalannya peradilan.

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1180 K / Sip / 1971 Tanggal 12 April 1972, Kaidah Hukumnya berbunyi:Persoalan apakah suatu keadaan adalah paksaan atau tidak merupakan suatu persoalan hukum yang menjadi wewenang MA untuk mempertimbangkannya.

Menutut UU “Nood toestand” bukan merupakan “on geoorloofde oorzaak” antara kedua pengertian itu terdapat perbedaan yang prinsipil.

“Nood toestand” yang diataur dalam ps 244 dan ps 1245 BW merupakan suatu keadaan yang dinilai pada saat pelaksanaan perjanjian, sedang “on geoorloofde oorzaak” yang diatur dalam ps 1335 jo ps 1337 jo ps 1320 BW dinilai pada saat perjanjian diadakan atau dibuat.


  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 27 K / Sip / 1972 Tanggal 5 Juli 1972, Kaidah Hukumnya berbunyi: Soal apakah suatu perbuatan merupakan “penghinaan” adalah suatu persoalan hukum yang termasuk wewenang pengadilan Kasasi.

Isi maupun format sesuatu iklan tidak dapat dikatakan mengandung penghinaan atau mencemarkan nama baik seseorang selama tidak melampaui batas – batas daripada yang perlu untuk mencapai maksud dan tujuan dari pemasangan iklan itu.


  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 268 K / Sip / 1971 Tanggal 25 Agustus 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi: Alasan yang diperbolehkan (een geoorloofde oorzaak)  berdasarkan pasal 1320 BW yang dalam hal ini merupakan suatu “tujuan bersama” (geza menlijkedoel) dari kedua belah pihak atas dasar mana kemudian diadakan perjanjian dan bukan merupakan hal yang mengenai akibat pada waktu pelaksanaan perjanjian.

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 556 K / Sip / 1971 Tanggal 8 Januari 1972, Kaidah Hukumnya berbunyi:
  1. Mengabulkan lebih daripada yang digugat adalah diizinkan selama hal itu masih sesuai dengan kejadian materil.
  2. PT berwenang mengambil alih pertimbangan PN jika pertimbangan itu dianggap benar.
  3. Meskipun seorang isteri berstatus WNI, tapi karena ia kawin dengan suaminya Warga Negara Asing, berdasarkan hukum yang berlaku untuk si suami yaitu Hukum Barat, dan ia hidup dalam lingkungan hukum suaminya, maka terhadapnya berlaku Hukum Barat.

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 665 K / Sip / 1971 Tanggal 15 Desember 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi: Dalam mempertimbangkan sesuatu perkara dengan menunjuk pada suatu putusan yang belum jelas apakah putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum atau belum, kurang tepat untuk dipakai sebagai dasar dalam mengambil putusan.

  •  Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1078 K / Sip / 1971 Tanggal 26 Juli 1972, Kaidah Hukumnya berbunyi:
  1. Yang berwenang menyelesaikan perselisihan tentang sewa menyewa adalah Kantor Urusan Perumahan.
  2. Suatu perselisihan merupakan perselisihan sewa menyewa, jika salah satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian sewa menyewa.

  •  Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 289 K / Sip / 1972 Tanggal 22 Juli 1972, Kaidah Hukumnya berbunyi: Besarnya suku bunga pinjaman, adalah sebagaimana yang telah diperjanjikan bersama.

  •  Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 677 K / Sip / 1972 Tanggal 20 Desember 1972, Kaidah Hukumnya berbunyi:
  1. Suatu perkara yang tunduk pada suatu hukum acara yang bersifat khusus, tidak dapat digabungkan dengan perkara lain yang tunduk pada hukum acara yang bersifat umum, sekalipun kedua perkara itu erat hubungannya satu sama lain.
  2. Pendaftaran suatu merk hanyalah memberikan hak kepada orang atau badan hukum yang merknya didaftarkan itu. Bahwa ia dianggap sebagai “pemakai pertama” daripada merk itu sampai dibuktikan hal yang sebaliknya oleh pihak lain.
  3. Yang dimaksud oleh UU dengan perkataan – perkataan “pemakai pertama” di Indonesia yang jujur (beritikad baik sesuai dengan azas hukum, bahwa perlindungan diberikan kepada yang beritikad baik dan tidak kepada orang yang beritikad buruk.
  4. Tujuan daripada UU Merk (UU No.21 tahun 1961) adalah untuk melindungi khalayak ramai terhadap barang – barang tiruan yang bermutu baik, yaitu dengan cara menertibkan kepatutan di dalam lalu lintas perdagangan (handelsmoraal).

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 61 K / Sip / 1971 Tanggal 13 Nopember 1971, Kaidah Hukumnya berbunyi: Suatu Surat Kuasa untuk mengajukan permohonan kasasi yang memuat dua tanggal (dimana tanggal yang satu adalah tanggal 29 Oktober 1970 dan tanggal 29 November 1970) dan akta kasasi diajukan tanggal 23 November 1970, harus diqualifikasi  sebagai suatu surat kuasa yang tidak dapat memberi wewenang kepada pemegang Surat Kuasa tersebut untuk bertindak atas nama si pemberi kuasa, in casu untuk mengajukan permohonan kasasi dalam perkara ini, karena surat kuasa demikian itu menimbulkan keadaan yang serba tidak menentu yakni:
  1. Bilamana yang dianggap benar tanggal surat kuasa tersebut adalah tanggal 29 Oktober 1970 maka tidak ada persoalan;
  2. Sebaliknya bilamana yang benar dari tanggal surat kuasa tersebut adalah tanggal 29 November 1970 maka kuasa Penggugat untuk kasasi harus dianggap tidak berwenang untuk  mengajukan permohonan kasasi lagi Penggugat untukm kasasi karena saat diajukannya akta kasasi (tanggal 23 November 1970) ia tidak memiliki kuasa untuk itu;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 144 K / Sip / 1971 Tanggal 27 Juni 1973, Kaidah Hukumnya berbunyi: Penetapan mengenai ahli waris dan warisan dalam penetapan PN Gresik tanggal 14 April 1956 No. 43/1955/pdt dan dalam putusan PN Gresik tanggal 22 Nopember 1965 No. 66/1962/pdt bukan merupakan nebis in idem, oleh karena penetapan No. 43/1955/pdt tersebut hanya bersifat deklarasi, sedangkan dalam perkara No. 66 / 1962/pdt tersebut ada sengketa antara pihak – pihak yang berkepentingan;

  • Putusan MA Nomor Register: 10 K / PDT / 1984 Tanggal 31 Agustus 1985, KAIDAH HUKUM: Pelawan adalah isteri Tergugat dalam Putusan Pengadilan Negeri / Pengadilan Tinggi / Mahkamah Agung yang dilawan, perlawanannya dinyatakan tidak dapat diterima;

  • Putusan MA Nomor Register: 34 PK / PDT / 1984 Tanggal 23 Oktober 1984, KAIDAH HUKUM: Alasan peninjauan kembali (PK) dapat dibenarkan, Pemohon telah mengajukan surat bukti baru yang bersifat novum. Permohonan PK diterima dan putusan Mahkamah Agung yang dimohonkan PK dibatalkan. Putusan – putusan yang dikeluarkan oleh gubernur dan oleh dirjen Agraria, karena mengandung unsur yang melawan hukum, dinyatakan tidak berkekuatan hukum;

  • Putusan MA Nomor Register: 51 K / PDT / 1984 Tanggal 29 Agustus 1985, KAIDAH HUKUM: Tergugat dihukum untuk membayar ganti rugi berupa bunga sebesar 2 % setiap bulan;

  • Putusan MA Nomor Register: 250 K / PDT / 1984 Tanggal 27 Februari 1986, KAIDAH HUKUM: Putusan / akta perdamaian yang dengan tidak jelas menyebutkan apa yang menjadi kewajiban para pihak (i.c. disebutkan utang US $ 500.000,- akan dibayar lebih lanjut, cara penyelesaiannya sampai memperoleh suatu cara penyelesaian yang layak dan memuaskan kedua pihak) tidak dapat dieksekusi dan sita eksekusi yang telah dilakukan berdasarkan akta perdamaian itu harus diangkat;

  • Putusan MA Nomor Register: 277 K / PDT / 1984 Tanggal 15 Juni 1985, KAIDAH HUKUM: Dalam hal ini pasal 1579 BW berlaku terhadap perjanjian sewa tersebut, yakni yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewa dengan menyatakan hendak memakai sendiri barang yang disewakan;

  • Putusan MA Nomor Register: 363 K / PDT / 1984 Tanggal 22 Agustus 1985, KAIDAH HUKUM: Kepada pengangkut tidak dapat dibebankan penggantian kerugian atas kerusakan pada barang muatannya yang disebabkan oleh malapetaka di laut yang tidak dapat dihindarinya;

  • Putusan MA Nomor Register: 365 K / PDT / 1984 Tanggal 30 Juli 1985, KAIDAH HUKUM: Dengan adanya pernyataan dari kontraktor, bahwa segala akibat dan risiko pembangunan proyek pertokoan dan perkantoran menjadi tanggung jawab kontraktor, kontraktor tersebut harus ikut digugat;

  • Putusan MA Nomor Register: 370 K / PDT / 1984 Tanggal 31 Juli 1985, KAIDAH HUKUM: Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum tentang pembuktian, karena keterangan saksi tidak saling menguatkan dan tidak bersesuaian;

  • Putusan MA Nomor Register: 371 K / PDT / 1984 Tanggal 31 Agustus 1985, KAIDAH HUKUM: Sita jaminan dapat diminta sepanjang persidangan;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 339 K / Sip / 1969 Tanggal 21 Pebruari 1970, Kaidah Hukumnya:
  1. Putusan PN harus dibatalkan, karena putusannya menyimpang daripada yang dituntut dalam surat gugat, lagi pula putusannya melebihi dari apa yang dituntut dan lebih menguntungkan pihak tergugat sedang sebenarnya tidak ada tuntutan rekonpensi;
  1. Putusan PT juga harus dibatalkan karena hanya memutuskan sebagian saja dari tuntutannya;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 392 K / Sip / 1969 Tanggal 30 Agustus 1969, Kaidah Hukumnya:
  1. Pembagian harta guna kaya antara bekas suami – isteri masing – masing 50 %;
  2. Pemeliharaan anak – anaknya yang belum dewasa diserahkan kepada ibu;
  3. Biaya penghidupan, pendidikan dan pemeliharaan anak – anak tersebut juga dibebankan kepada ayah dan ibu masing – masing 50%;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2985 K / Pdt / 2001 Tanggal 29 Januari 2004, Kaidah Hukumnya: “Gugatan tidak dapat diterima pada saat gugatan diajukan subjek yang digugat sudah dibubarkan lebih dahulu”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1588 K / Pdt / 2001 Tanggal 20 Juni 2004, Kaidah Hukumnya: “Sertifikat tanah yang terbit dulu dari akta jual beli, tidak berdasarkan hukum dan dinyatakan batal. Penerbitan sertifikat tanah tanpa ada pengajuan permohonan dari pemilik adalah tidak sah”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 626 K / Pdt / 2002 / Tanggal 29 Nopember 2004, Kaidah Hukumnya: “Surat kuasa yang dilegalisir oleh Panitera serta pejabat publik di pengadilan maka legalitas dari surat kuasa dapat dibenarkan dan surat kuasa dinyatakan sah”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2773 K / Pdt / 2002 Tanggal 19 Mei 2004, Kaidah Hukumnya: “Permohonan perlawanan untuk membatalkan putusan Arbiter adalah cacat formil bila diajukan melebihi tenggang waktu 30 hari”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 252 K / Pdt / 2002 Tanggal 11 Juni 2004, Kaidah Hukumnya: “Pemenang lelang dinyatakan tidak beritikad baik dan tidak mendapat perlindungan hukum jika pemenang lelang ternyata adalah kreditur sendiri yang membeli dengan harga jual lebih rendah dari agunan”;

“Jual beli tanah jika diikuti dengan penyerahan tanah dan uang penjualan dipakai untuk membayar hutang kepada pembeli selisihnya sangat besar, jumlah tersebut direkayasa dan dinyatakan cacat hukum”;


  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 445 K / Pdt / 2002  Tanggal 24 Februari 2005, Kaidah Hukumnya: “Orang melanjutkan segala kewajiban dan orang yang meninggal sesuai dengan keterangan kepala desa dan Banjar Adat dan mengabenkan yang meninggal tersebut, terbukti sebagai anak angkat dan berhak mewarisi harta peninggalan”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1506 K / Pdt / 2002 Tanggal 23 September 2004, Kaidah Hukumnya: “Purchase Order  yang ditandatangani oleh kedua belah pihak yang mengikatkan diri merupakan kesepakatan sehingga berlaku sebagai undang – undang yang mengikat kedua belah pihak”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor:880 K / Pdt / 2003 Tanggal 29 Januari 2003, Kaidah Hukumnya: “Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili sengketa kepengurusan partai yang merupakan masalah internal partai”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2671 K / Pdt / 2001 Tanggal 4 Juli 2001, Kaidah Hukumnya: “Meski kedudukan Para Penggugat berbeda, tetapi sama – sama berkepentingan atas obyek sengketa, demi tercapainya peradilan yang cepat, murah dan biaya ringan beralasan para penggugat secara bersama – sama dan sekaligus mengajukan gugatan”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1226 K / Pdt / 2001 Tanggal 20 Mei 2002, Kaidah Hukumnya: “Meski kedudukan subyeknya berbeda, tetapi obyek sama dengan perkara yang telah diputus terdahulu dan berkekuatan hukum tetap maka gugatan dinyatakan NEBIS IN IDEM”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 126 K / Pdt / 2001 Tanggal 28 Agustus 2003, Kaidah Hukumnya: “Bila terjadi perceraian, anak yang masih dibawah umur seyogyanya diserahkan pada orang terdekat dan akrab dengan si anak yaitu ibu”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 3642 K / Pdt / 2001  Tanggal 11 September 2002, Kaidah Hukumnya: “Dalam azas kebebasan berkontrak, hakim berwenang untuk mewakili dan menyatakan kedudukan para pihak berada dalam yang tidak seimbang, sehingga sengketa pihak dianggap tidak bebas menyatakan kebebasannya”;

“Dalam perjanjian yang bersifat terbuka, nilai – nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai Kepatutan, Keadilan, perikemanusiaan, dapat dipakai sebagai upaya perubahan terhadap ketentuan – ketentuan yang disepakati dalam perjanjian”;


  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 294 K / Pdt / 2001 Tanggal 8 Agustus 2002, Kaidah Hukumnya: “Dalam hal bukti kepemilikan penggugat dapat dilimpahkan oleh bukti tergugat, maka gugatan seharusnya dinyatakan tidak terbukti, bukan dinyatakan tidak beralasan karena itu gugatan harus dkitolak”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1400 K / Pdt / 2001 Tanggal 2 Januari 2003, Kaidah Hukumnya: “Barang jaminan hanya dapat dijual melalui lelang, Bank tidak berhak menjual sendiri tanah yang dijaminkan pada Bank tanpa seijin pemiliknya”;

“Pengalihan hak atas tanah berdasarkan Surat Kuasa mutlak adalah batal demi hukum”;

“Bantahan terhadap pelaksanaan putusan, maka yang berwenang untuk memeriksa dan memutus bantahan  adalah Pengadilan Negeri dalam wilayah hukumnya yang menjalankan putusan”;


  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 03 K / Pdt / 2002 Tanggal 2 Januari 2003, Kaidah Hukumnya: “Putusan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha  (KPPU) yang menggunakan irah – irah :”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah cacat hukum dan dinyatakan batal demi hukum karena telah melampaui kewenangannya berdasarkan pasal 10 Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1970 dan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999”;

  • Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1498 K / Pdt / 2006 Tanggal 23 Januari  2008, Kaidah Hukumnya:
  1. Dalam keadaan tertentu, fotokopi dari fotokopi dapat diterima sebagai bukti. Dalam perkara ini, Majelis Hakim tingkat pertama menggunakan alat bukti fotocopi itu untuk menunjang pengakuan Termohon Kasasi / Tergugat III, bahwa tanah sengketa semula milik orangtua Pemohon Kasasi / Penggugat yang setelah beralih ke tangan Termohon Kasasi / Tergugat II kemudian dibeli oleh Termohon Kasasi / Tergugat III. Tanpa melihat dalam konteksnya, Pengadilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan Negeri atas dasar bahwa putusan Majelis Hakim tingkat pertama didasarkan pada bukti yang tidak sah. Menurut Majelis Hakim kasasi, Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum atas dasar pertimbangan yang tidak cukup (onvoldoende gemotiveerd).
  2. Untuk membuktikan apakah jual beli tanah sengketa terjadi dengan cara yang benar, berdasarkan asas Bilijkheid beginsel, maka yang harus membuktikannya adalah pembeli (i.c. Termohon Kasasi / Tergugat III), karena apabila ia benar telah membeli tanah tersebut, maka ia akan lebih mudah untuk membuktikannya.  Menurut Majelis Kasasi, bukti – bukti yang diajukan oleh Termohon Kasasi / Tergugat III sebagai dasar telah beralihnya hak atas tanah sengketa kepada Termohon Kasasi / Tergugat III mengandung cacat yuridis.

Dengan pertimbangan itu, Mahkamah Agung menyatakan menurut hukum Penggugat adalah pemilik sah atas tanah sengketa tersebut, sedangkan Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III telah melakukan perbuatan melawan hukum;

Created  and Posted By: 
Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH. 
Lecturer, Advocate and Legal Consultant
 Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002

 

Appe Hamonangan Hutauruk
God is good

Leave a Reply

News Feed