TEORI NEGARA HUKUM VERSUS TIRANI

TEORI NEGARA HUKUM VERSUS TIRANI

 

In concreto, pelanggaran terhadap prinsip – prinsip Negara Hukum (rechtsstaat, rule of law),   dapat menimbulkan suatu pemerintahan tirani atau otoritarianisme, apabila 3  (tiga)  prinsip mendasar dari konsep Negara Hukum tidak ditata dan dikelola dengan baik oleh para penguasa negara atau Pemerintah yang berkuasa, sebagaimana disebutkan James S. Fishkin  (1979) yang meliputi:

  1. Prinsip prosedural. Dalam hal ini haruslah diatur dengan baik mengenai upaya – upaya dalam proses pengambilan putusan, misalnya tentang:
  • Majority Rule;
  • Musyawarah untuk mufakat (unanimity);
  • Teori – teori tentang persetujuan (theories of consent);
  1. Prinsip struktural. Dalam hal ini haruslah diatur dengan baik mengenai upaya – upaya pendistribusian kekayaan sumber daya, misalnya tentang:
  • Kesamaan (equality);
  • Kesebandingan (equity);
  • Prinsip utilitarianisme;
  • Teori keadilan dari John Rawls.
  1. Prinsip hak – hak absolut. Misalnya teori terkenal dari Robert Nozick. Dalam hal ini berlaku prinsip bahwa seseorang tidak boleh mengalami pelanggaran terhadap haknya sebagai akibat dari tindakan – tindakan tertentu dari pihak manapun.

Agar prinsip – prinsip dan konsep – konsep negara hukum dapat menjadi lebih jelas maknanya, berikut ini penjelasannya dengan mengambil studi kasus di negara Uganda ketika diperintah oleh pemerintahan tangan besi Presiden Idi Amin (James S. Fishkin, 1979:5). Sebagaimana diketahui bahwa di negara Uganda dibawah pemerintahan Presiden Idi Amin, orang – orang Uganda keturunan Asia berpenghidupan lebih makmur dari kebanyakan orang – orang Uganda (yang berkulit hitam). Maka, dalam bulan Agustus tahun 1972, Presiden Idi Amin mengeluarkan suatu keputusan agar dalam waktu 90 hari, semua orang – orang keturunan Asia yang ada di Uganda yang kebanyakannya sudah menjadi warga negara Uganda dan sudah hidup di Uganda dalam beberapa generasi, yang berjumlah kurang lebih 50.000 orang, mereka diharuskan untuk meninggalkan negara Uganda dengan meninggalkan seluruh harta bendanya di Uganda. Dalam proses meninggalkan Uganda tersebut, banyak terjadi pemukulan, perampokan, penghilangan orang, pembunuhan, dan tentu saja pelecehan seksual. Puluhan ribu orang – orang Uganda keturunan Asia akhirnya terlunta – lunta dan menjadi pengungsi di tidak kurang dari 50 negara, tetapi paling banyak mereka mengungsi ke Inggris. Sialnya lagi, kebanyakan diantara mereka menjadi manusia tanpa kewarganegaraan (stateless) berhubung segala dokumen pribadi mereka telah disita oleh pemerintah Uganda. Kasus ini mirip dengan kasus pengusiran orang – orang keturunan China dari Indonesia di masa pemerintahan Presiden Soekarno pada sekitar  tahun 1960 – an.

Kasus Uganda sebagaimana dipaparkan sebagai komparasi diatas,  ternyata mendapat respons positif dan disetujui oleh mayoritas penduduk Uganda yang umumnya berkulit hitam. Dengan demikian, dari segi demokrasi kelihatannya tidak menjadi masalah, yakni sesuai dengan mayoritas rakyat. Dan prinsip prosedural berupa majority rule terpenuhi. Disamping itu, dari segi prinsip yang struktural juga tidak menjadi masalah, berhubung kebijaksanaan pengusiran orang – orang keturunan Asia tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan prinsip distribusi kekayaan dan sumber daya secara merata (equal). Jadi terdapat juga justifikasi dari kebijakan dan tindakan biadab dari Presiden Idi Amin tersebut. Tindakan seperti ini, dalam teori ketatanegaraan sering disebut dengan suatu “tirani yang terjustifikasi” (legitimate tirany). Dikatakan tirani, karena tindakan Idi Amin tersebut memenuhi dua unsur dari negara tirani, yaitu:

  • Semua atau sebagian besar dari kekuasaan negara berada dalam satu tangan, dan;
  • Adanya pelanggaran terhadap hak – hak fundamental dari manusia.

Apabila  kebijakan dan tindakan Presiden Idi Amin tersebut ditinjau dari segi teori Robert Nozick, maka tetap bermasalah, karena sebagai akibat dari tindakan tersebut, meskipun disetujui oleh mayoritas penduduk, tetapi ada hak absolut dari warga negara Uganda keturunan Asia yang dilanggar, yaitu hak untuk hidup bebas, hak untuk memperoleh harta benda, dan berbagai hak fundamental lainnya. Sehingga terhadap tindakan yang demikian, secara teori hukum dan ketatanegaraan disebut sebagai tindakan yang melanggar prinsip due process of law, karena itu melanggar prinsip – prinsip negara hukum. Menurut teori, “vested rights”, hak – hak fundamental tersebut melekat dan dibawa sejak lahir (vested), karena itu tidak dapat dipisahkan dari orang yang memiliki hak tersebut, sehingga sering terhadap hak seperti itu disebut dengan istilah “hak melekat” (vested rights, inherent rights) atau “hak yang tidak dapat diasingkan” (inalinable rights).

Teori dari Robert Nozick dapat disebut sebagai teori absolut, yang berarti hak – hak fundamental (yang tertentu) dari manusia bersifat absolut, dalam arti tidak boleh dilanggar oleh siapapun dan dalam keadaan apapun. Misalnya, hak untuk hidup itu bersifat absolut, sehingga dalam keadaan apapun tidak boleh dilanggar, termasuk dengan hukuman mati. Sebaliknya, ada teori hak utilitarianisme, yang mencoba menimbang beratnya hak yang satu dengan hak yang lain, dimana dalam hal ini pelanggaran terhadap hak seseorang masih dimungkinkan sejauh untuk mencegah pelanggaran hak lain yang lebih besar/lebih luas/lebih tinggi.

 

Created and Posted By:
Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant
LAW  FIRM APPE  HAMONANGAN   HUTAURUK & ASSOCIATES
KETUA  UMUM  DPP LSM  KOMAKOPEPA
AKTIVIS’98

Leave a Reply

News Feed