DASAR YURIDIS ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM ACARA PERADILAN
Hukum Pembuktian di Indonesia adalah serangkaian kaidah (norms), aturan (rules), dan tata cara (procedures) pelaksanaan pembuktian pada persidangan perkara pidana, perdata, tata usaha negara dan perkara – perkara lainnya yang diselenggarakan oleh seluruh jenis dan tingkatan Pengadilan di wilayah yurisdiksi Indonesia Dalam hukum pembuktian, pada awalnya baik dalam sistem hukum Indonesia maupun sistem hukum yang dianut oleh negara – negara lain di dunia, jenis ALAT BUKTI ELEKTRONIK (electronic evidence) belum dapat diakui dan diterima sebagai alat bukti yang sah dalam sistem hukum pembuktian (evidentiary legal system).
Alat Bukti Elektronik ialah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materil yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) secara eksplist menyebutkan bahwa “Informasi Eletkronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah”.
Merujuk pada ketentuan Pasal 1 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka penjabaran dari Pasal 5 ayat (1) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat dipahami sebagai berikut:
- Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. (Pasal 1 butir 1 UU ITE);
- Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. (Pasal 1 butir 4 UU ITE).
Hakekatnya Informasi Elektronik dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan Dokumen Elektronik. Secara umum dapat diklasifikasikan bahwa Informasi Elektronik ialah data atau kumpulan data dalam berbagai bentuk, sedangkan Dokumen Elektronik ialah wadah atau ‘bungkus’ dari Informasi Elektronik. Secara sederhana dapat dideskripsikan benda berupa “FILE MUSIK/LAGU DALAM BENTUK CD/VCD” maka dalam konteks pembedaannya yaitu semua informasi atau musik yang terdapat dalam CD/VCD tersebut yang dapat didengar atau dilihat adalah merupakan Informasi Elektronik, sedangkan Dokumen Elektronik dari file tersebut ialah CD/VCD.
Dengan demikian sebagai conclusie dapat dinyatakan bahwa Pasal 5 ayat (1) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu: 1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, dan 2) Hasil cetak dari Informasi Elektronik dan/atau hasil cetak dari Dokumen Elektronik. Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik dapat dikualifikasikan sebagai ALAT BUKTI ELEKTRONIK (Digital Evidence). Pada tahapan selanjutnya maka hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik dikualifikasikan sebagai ALAT BUKTI SURAT.
Pasal 5 ayat (2) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. “Perluasan dari alat bukti hukum yang sah” dalam konteks ini harus dihubungkan dengan jenis alat bukti yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang mengandung makna:
- Menambah jenis alat bukti yang diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, seperti ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP dan jenis alat bukti yang diatur dalam Pasal 164 HIR/1866 KUHPerdata. Dalam hal ini ditegaskan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Elektronik menambah jenis alat bukti yang diatur dalam KUHAP;
- Memperluas cakupan alat bukti yang diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, seperti ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP dan jenis alat bukti yang diatur dalam Pasal 164 HIR/1866 KUHPerdata. Dalam hal ini dianggap Hasil cetak dari Informasi atau Dokumen Elektronik merupakan alat bukti surat yang diatur dalam KUHAP.
Perluasan alat bukti yang diatur dalam KUHAP dan HIR/KUHPerdata sebenarnya sudah diatur dalam berbagai perundang-undangan secara tersebar. sebagaimana termaktub dalam Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan, Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Norma – norma hukum (kaidah – kaidah hukum) yang termaktub dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menegaskan bahwa dalam seluruh hukum acara yang berlaku di Indonesia, Informasi dan Dokumen Elektronik serta hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah.
Agar Informasi dan Dokumen Elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah, maka Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik secara eksplisit menentukan adanya syarat formil dan syarat materil yang harus terpenuhi. Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis. Sedangkan syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang pada intinya Informasi dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital forensik.
Dengan demikian, email, file rekaman atas chatting, dan berbagai dokumen elektronik lainnya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Dalam beberapa putusan pengadilan, terdapat putusan-putusan yang membahas mengenai kedudukan dan pengakuan atas alat bukti elektronik yang disajikan dalam persidangan.
Merujuk pada ketentuan HUKUM FORMIL, maka dapat diadakan komparasi sebagai berikut:
KUHPidana | KUHPerdata |
Pasal 184 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menyebutkan alat – alat bukti, yaitu:
– Keterangan saksi; – Keterangan ahli; – Surat; – Petunjuk; – Keterangan terdakwa |
Pasal 164 HIR, Pasal 1866 KUHPerdata, yang menentukan alat-alat bukti, yaitu:
– Bukti tertulis (Surat); – Bukti saksi; – Persangkaan; – Pengakuan; – Sumpah |
Ketentuan hukum formil di atas adalah alat bukti yang selama ini dikenal di dalam hukum positif. Dengan ditetapkannya keberlakuan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka ALAT BUKTI ELEKTRONIK menjadi wacana perdebatan yuridis yang mempersoalkan mengenai apakah keberadaan/pengaturan ALAT BUKTI ELEKTRONIK adalah perluasan dari alat bukti atau kedudukannya memang benar-benar baru. Silang pendapat tentang bukti elektronik berpotensi untuk terjadi karena di dalam kedudukan bukti baru (selain yang diatur di dalam KUHAP dan HIR/KUHPerdata) diatur di dalam undang-undang sektoral lainnya, dan kedudukannya sama-sama di posisi undang-undang. Salah satu perdebatan tentang bukti elektronik yang terjadi terlihat di dalam putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016, yang mana putusan MK tersebut dimasukan ke dalam amandemen UU-ITE tahun 2016.
Melihat lebih lanjut pada putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 terlihat bahwa salah satu tafsir bukti elektronik adalah ketika dibenturkan dengan undang-undang tindak pidana korupsi. Dalam permohonan uji materi yang diajukan, terlihat bahwa bukti elektronik telah lebih dahulu dikenal didalam pasal 26A Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan rumusan normanya sebagai berikut:
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
- Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan
- Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Tafsir tentang bukti elektronik apabila mengacu pada Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 oleh Hakim Konstitusi diputuskan bahwa setiap bukti elektronik dapat diakui sebagai bukti elektronik di mata hukum selama didapat dengan cara yang tidak melanggar hukum. Jika bukti elektronik di dapat dengan cara melanggar hukum maka tidak dapat dijadikan sebagai bukti elektronik di hadapan hukum. Pandangan ini sebenarnya terlihat dari adanya dissenting opinion terkait bukti elektronik dari Hakim Konstitusi, Suhartoyo yaitu sebagai berikut:
Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) yang justru mengakomodir dan memberi perlindungan setiap warga negara yang dilanggar hak privasinya, karena ada dua esensi mendasar yang secara materiil terkandung dalam pasal a quo, yaitu ketentuan yang mengatur mengenai alat bukti informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya, di satu sisi merupakan perluasan alat bukti sebagai bukti petunjuk dan di sisi lain merupakan bukti yang berdiri sendiri di luar alat bukti yang diatur dalam hukum acara perdata dan hukum acara pidana. Sehingga ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE justru memberi kepastian hukum bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya adalah alat bukti yang sah.
Apabila merujuk pada kumulasi pendapat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi tersebut termasuk yang bersikap dissenting opinion, maka dapat dikemukakan bahwa bukti elektronik dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu: (1) bukti elektronik yang bisa dijadikan sebagai bukti hukum yang sah, dan (2) bukti elektronik yang tidak bisa dijadikan sebagai bukti hukum yang sah. Mengacu pada sumber hukum, di atas maka bukti elektronik seharusnya dilihat sebagai bukti hukum pelengkap dari alat bukti yang selama ini dikenal di dalam hukum acara. Sedangkan dalam hal pengambilan bukti elektronik yang perlu diperhatikan bahwa alat bukti elektronik haruslah diambil oleh pihak yang berwenang, yaitu penegak hukum agar dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Dengan demikian, berdasarkan pemaparan diatas maka sejak berlakunya Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maka terdapat penambahan jenis alat bukti di persidangan Pengadilan Indonesia yakni Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Apalagi pendapat hukum yang bersifat dissenting opinion dalam Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016, meskipun merupakan bagian dari pertimbangan putusan, tetapi secara normatif kaidah hukum yang mengikat umum adalah DIKTUM atau AMAR Putusan yang dibacakan sebagai hasil dari musyawarah Majelis Hakim.
Pengalihan data tertulis ke dalam bentuk data elektronik telah diatur sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, pada bagian menimbang huruf F dinyatakan bahwa “kemajuan teknologi telah memungkinkan catatan dan dokumen yang dibuat di atas kertas dialihkan ke dalam media elektronik atau dibuat secara langsung dalam media elektronik”. Kemudian dipertegas selanjutnya bahwa “dokumen perusahaan dapat dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya dan merupakan alat bukti yang sah” sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 12 ayat (1) Jo Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Fakta historis tersebut membuktikan bahwa DOKUMEN ELEKTRONIK khususnya mengenai DOKUMEN PERUSAHAAN telah dianggap sebagai alat bukti yang sah, sebelum diberlakukannya/diundangkannya Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Perlu dipertegas kembali bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengatur dengan jelas kedudukan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti yang sah dan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan UU sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (1) UUITE (Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016). Sesuai dengan materi muatan permohonan pada MK maka amar putusan tersebut mengarah pada PROSES HUKUM PIDANA dan bukan proses hukum perdata.
Syarat elementer untuk sahnya Dokumen Elektronik ialah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya dalam Pasal 6 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yakni “informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan”. Selain itu, terdapat pula kekhususan dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik dan sistem elektronik serta transaksi elektronik.
Pengakuan Mahkamah Agung terhadap dokumen elektronik pada sistem peradilan pertama kali diketahui melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Elektronik sebagai Kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali. SEMA ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses minutasi berkas perkara serta menunjang pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas serta pelayanan publik pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya. Namun SEMA ini tidaklah mengatur tentang dokumen elektronik sebagai alat bukti melainkan dokumen elektronik berupa putusan maupun dakwaan yang dimasukkan pada compact disc, flash disk/dikirim melalui email sebagai kelengkapan permohonan kasasi dan peninjauan kembali.
SEMA ini telah mengalami perubahan berdasarkan SEMA 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas SEMA 14 Tahun 2010 Tentang Dokumen Elektronik sebagai kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali. Perubahan SEMA ini dilakukan berkaitan dengan sistem pemeriksaan berkas dari sistem bergiliran menjadi sistem baca bersama yang diarahkan secara elektronik. Dalam butir-butir SEMA terdapat penambahan detail dokumen-dokumen yang wajib diserahkan para pihak berperkara secara elektronik tapi sekali lagi kepentingannya bukan dalam kaitannya sebagai alat bukti elektronik. Perbedaan lainnya dengan SEMA yang lama ialah cara penyertaan dokumen melalui fitur komunikasi data (menu upaya hukum) pada direktori putusan Mahkamah Agung karena cara lama melalui compact disk dan pengiriman e-dokumen memiliki sejumlah kendala diantaranya data tidak terbaca, perangkat penyimpan data hilang dan lain-lain.
SEMA 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas SEMA 14 Tahun 2010 Tentang Dokumen Elektronik sebagai kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali mengakui dokumen elektronik untuk kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali, bukan untuk alat bukti persidangan dan penyerahan dokumen oleh pengadilan tingkat pertama dilakukan melalui fitur komunikasi data dan tidak melalui perangkat flash disk/compact disk kecuali dalam keadaan khusus. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara penyerahan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah dipersidangan? Disinilah terdapat kekosongan hukum acara, karena dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maupun peraturan perundang – undangan lain yang berlaku saat ini tidak mengatur mengenai tata cara penyerahannya di persidangan. Kalau dalam praktiknya ada yang menyerahkan melalui compact disk atau flash disk maka sesuai SEMA 1/2014 dijelaskan bahwa hal tersebut menyebabkan sejumlah kendala namun apabila dikirim melalui e-dokumen juga belum diatur tata cara pengirimannya. Tata cara penyerahan menjadi penting karena menyangkut sah atau tidaknya hukum acara perdata yang diterapkan dan dalam rangka memenuhi unsur “dijamin keutuhannya” pada Pasal 6 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dijamin keutuhannya berarti tidak diubah-ubah bentuknya sejak dari dokumen elektronik tersebut disahkan.
Dalam hal Dokumen Elektronik telah diserahkan dipersidangan menurut tata cara yang diterima semua pihak berperkara, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana apabila pihak lawan ingin melihat dokumen elektronik yang akan diajukan sebagai alat bukti tersebut di persidangan? Ketentuan Pasal 137 HIR mengatur bahwa “Pihak-pihak dapat menuntut melihat surat-surat keterangan lawannya dan sebaliknya, surat mana diserahkan kepada hakim buat keperluan itu”. Dalam menjaga asas keterbukaan pembuktian dipersidangan maka ketentuan 137 HIR juga harus dapat diterapkan pada Dokumen Elektronik ketika pihak lawan meminta untuk diperlihatkan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka “untuk kepentingan pembuktian yang seimbang/berimbang”, diperlukan perangkat teknologi berupa laptop maupun proyektor atau media peraga lainnya agar dapat menampilkan/memperlihatkan dokumen elektronik, sebab in actu hal tersebut belum jelas pengaturannya dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Selain itu, dokumen elektronik yang di dalamnya memuat tanda tangan elektronik wajib memenuhi sejumlah kriteria di dalam Pasal 11 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sehingga memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah yakni: a) data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penanda tangan, b) data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan, c) segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui, d) segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui, e) terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa penandatangannya; dan f) terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait. Butir-butir kriteria di atas juga mengandung aspek keamanan dokumen elektronik sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 12 ayat 1 pada Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, diantaranya keaslian (authentication), keutuhan (integrity), dan anti penyangkalan (non repudiation).
Uraian berikut ini merupakan kriteria dan aspek jaminan keamanan yang diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 12 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik:
- Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan (Keaslian/Authentication);
- Data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan (Keaslian/Authentication)
- Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui (Keutuhan/Integrity);
- Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui (Keutuhan/Integrity);
- Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya (Anti Penyangkalan/Non Repudiation);
- Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait (Anti Penyangkalan/Non Repudiation);
Tanda tangan elektronik yang mampu menjamin terpenuhinya butir a dan f adalah tanda tangan yang tersertifikasi dan dapat “dipertanggungjawabkan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ketentuan tersebut dimaksudkan agar “TANDA TANGAN ELEKTRONIK” dapat berfungsi sebagai alat autentikasi dan verifikasi atas identitas penandatangan, keutuhan dan keautentikan informasi elektronik serta dibuat dengan menggunakan jasa penyelenggara sertifikasi elektronik sebagaimana dimaksud Pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Salah satu penyelenggara sertifikat digital atau elektronik, yang berisi tanda tangan digital dan identitas diri pemilik sertifikat yang telah berjalan adalah Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang dapat melayani keperluan lembaga pemerintah maupun selain pemerintah. Untuk memastikan standarisasi jasa penyelenggara sertifikasi elektronik, Kementerian Komunikasi dan Informasi sedang menyusun regulasinya.
Pengakuan lainnya terhadap dokumen elektronik semakin tegas dimuat pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik. Dalam ketentuan Pasal 17 PERMA tersebut diatur bahwa “Pengadilan menerbitkan salinan putusan/penetapan secara elektronik. Salinan putusan/penetapan Pengadilan yang diterbitkan secara elektronik dikirim kepada para pihak paling lambat 14 (empat belas) hari sejak putusan/penetapan kecuali kepailitan/PKPU”, pengiriman dilakukan melalui domisili elektronik. Namun sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (3) Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 271/DJU/SK/PS01/4/2018 diatur bahwa “salinan putusan /penetapan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah”. Hal ini berarti, Peradilan Umum khususnya tetap wajib mengeluarkan putusan/penetapan dalam bentuk cetak yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti.
Salinan putusan dalam bentuk dokumen elektronik, kelak dapat ditandatangani secara elektronik apabila telah tersertifikasi dan terhadap salinan dokumen putusan yang demikian tidak perlu dicocokkan dengan aslinya sebagaimana alat bukti surat menurut Pasal 1866 KUHPerdata. Sesuai dengan maksud Penjelasan Pasal 6 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maka “Keaslian putusan dalam bentuk dokumen elektronik dengan putusan asli yang ditandantangani oleh Majelis Hakim tidak perlu dibandingkan karena dalam lingkup sistem elektronik, informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya”.
Eksistensi dokumen elektronik telah diakui sebagai alat bukti yang sah di persidangan perdata sesuai dengan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan dan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, akan tetapi sebagai bagian dari hukum acara, Dokumen Elektronik belum memiliki pengaturan tata cara penyerahannya di persidangan, tata cara memperlihatkannya kepada pihak lawan dan sedang disusun regulasi mengenai standarisasi jasa penyelenggara sertifikasi elektronik. Tata cara penyerahan dan memperlihatkan dokumen elektronik dipersidangan dapat dijawab melalui PERKEMBANGAN PRAKTEK BERACARA di persidangan Pengadilan. Namun demikian, dalam rangka mengimplementasikan KEPASTIAN HUKUM (legal certainty/legal security) maka diperlukan pengaturan lebih tegas, spesifik dan konkrit dalam Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana yang termaktub dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Writer and Copy Right:
Dr. Appe Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant