Prapenuntutan  dalam Konteks Integrated Criminal Justice System

Uncategorized

Corruption in the judiciary, the judge's gavel and euro banknotes in an envelope.

Prapenuntutan  dalam Konteks
Integrated Criminal Justice System

 

Proses penyelesaian setiap perkara pidana sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam  Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, yang disebut juga dengan nama   “Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana” (disingkat KUHAPidana)  menganut suatu sistem yang disebut “Peradilan Pidana Terpadu” (Integrated Criminal Justice System), dimana seluruh rangkaian penegakkan hukum (law enforcement) yang bersifat pro justitia  dilakukan melalui beberapa tahap yang bekesinambungan dan merupakan satu kesatuan yang integral.

Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa Integrated criminal justice system”  adalah “sistem peradilan pidana yang mengatur tatacara  pelaksanaan dan penegakkan Hukum Pidana secara konsisten, komprehensif dan terpadu sesuai dengan asas – asas Hukum Pidana”. Terminus “peradilan” dalam wacana tersebut adalah berbeda dengan terminus “Pengadilan”, oleh karena dalam konteks tataran “peradilan” maka ruang lingkupnya adalah sistem menyeluruh yang  mengatur bagaimana proses berjalannya suatu perkara mulai dari proses penyelidikan sampai pada penempatan narapidana/terpidan dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) sebagai warga biaan yang akan dipersiapkan untuk dapat kembali dalam interaksi kehidupan bermasyarakat. Selain itu  doctrine  yang dikemukakan oleh  SUKARTO MAMOSUDJONO menyebutkan bahwa  yang dimaksud dengan “Integrated Criminal Justice System” yaitu: “Peradilan perkara pidana terpadu, yang unsur – unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan, dan penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan”.

Secara tata aturan sistematis (systematic ordering, systematische ordening), maka rangkaian tahapan (series of stages)  dari peradilan terpadu sebagaimana dimaksudkan diatas meliputi tahap – tahap sebagai berikut Penyelidikan, : Penyidikan, Prapenuntutan (preprosecution), Rencana Surat Dakwaan atau disingkat Rendak, Surat Dakwaan,  Persidangan (Pembacaan Surat Dakwaan, Eksepsi, Tanggapan Jaksa Penuntut Umum, Putusan Sela,  Pembuktian, Rencana Tuntutan atau disingkat Rentut, Tuntutan, Penuntutan/Surat Tuntutan atau Prosecutor, Nota Pembelaan atau Pledooi, Replik, Duplik, Putusan Pengadilan oleh Majelis Hakim, dan  Pelaksanaan Putusan atau executie  termasuk penempatan narapidana/terpidana pada  Lembaga Pemasyarakatan (correctional facility, correctional institution, correctionele faciliteit). Berdasarkan deskripsi diatas, dalam konteks  penerapan “Peradilan Pidana Terpadu” (Integrated Criminal Justice System) maka yang tidak boleh dilupakan adalah peranan Penasehat Hukum (Lawyer, Advocate) sebagai bagian yang terintegrasi untuk melakukan hubungan koordinasi fungsional dan institusional seagai sub – sistem dari perangkat penegak hukum (law enforcement instruments), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 17 Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, yang berbunyi: “Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain  yang berkaitan dengan  kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang – undangan”.

Dalam wacana  “Peradilan Pidana Terpadu” (Integrated Criminal Justice System), maka tindakan  “PENYELIDIKAN” pada prinsipnya tidak dikategorikan sebagai bagian dari  “Peradilan Pidana Terpadu” (Integrated Criminal Justice System), oleh karena tindakan tersebut merupakan tindakan permulaan untuk mencari, mendapatkan dan mengumpulkan alat bukti (evidence, bewijs) dengan cara metode dan strategi tertentu. Selanjutnya, kemudian berdasarkan bukti – bukti permulaan (preliminary evidence, voorlopig bewijs) yang telah didapatkan dan dikumpulkan dilakukan identifikasi, perivikasi dan conclusie melalui gelar perkara internal untuk menentukan upaya lanjutan pro justitia dalam konteks tugas, kewajiban dan tanggung jawab Petugas Hukum (the obligations and responsibilities of law enforcement officers)  melakukan atau tidak melakukan penyidikan.

Pada jenjang pemeriksaan perkara pidana (atas adanya suatu dugaan Tindak Pidana atau Delik)  di tingkat Kejaksaan  (Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia), maka tahap awal proses penyelesaian perkara pidana yang menjadi tugas, kewajiban dan tanggung jawab Jaksa   Penuntut Umum (JPU) yaitu melakukan  “PRAPENUNTUTAN” berupa  meneliti Berkas Perkara. yang telah dilimpahkan oleh Penyidik, sesuai dengan  ketentuan yang dirumuskan  dalam Pasal 14 butir b KUHAP, yang berbunyi:“Mengadakan  prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari Penyidik”.  Dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) maka  ANDI HAMZAH menyatakan, “Prapenuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh Penyidik”.  Selanjutnya, dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER – 036/A/JA/09/2011 Tentang STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)  PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM, dinyatakan: “Prapenuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut lengkap atau tidak”.

Berdasarkan uraian diatas maka dalam konteks Prapenuntutan, yang dimaksud dengan Penuntut Umum adalah JAKSA PENELITI, yaitu Jaksa yang ditunjuk untuk melakukan pemantauan pada saat diterimanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang diterima dari Penyidik Kepolisian,  Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) atau penyidik lain sesuai dengan peraturan perundang undangan (vide Pasal 8 ayat 1 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER – 036/A/JA/09/2011 Tentang STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)  PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM. Secara prosedural yang menunjuk Penuntut Umum sebagai Jaksa Peneliti adalah Pimpinan Kejaksaan atau Pejabat Teknis dibawahnya.  Secara eksplisit, tugas Penutut Umum sebagai  Jaksa Peneliti telah ditentukan dalam Pasal 11 ayat (1) Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER – 036/A/JA/09/2011 Tentang STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)  PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM, yaitu:

  1. melaksanakan penelitian berkas perkara sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang – undangan yang terkait;
  2. menentukan sikap apakah berkas yang diteliti merupakan perkara pidana atau bukan;
  3. menentukan sikap apakah berkas perkara sudah lengkap atau belum (memenuhi syarat formil maupun materil);
  4. menentukan sikap tentang kompetensi absolut dan kompetensi relatif;

Apabila JAKSA PENELITI berkas perkara beranggapan penyidikan Penyidik belum lengkap maka BERKAS PERKARA dikembalikan kepada Penyidik disertai petunjuk mengenai hal – hal yang harus dilengkapi oleh Penyidik. Berkas Perkara dianggap lengkap apabila telah memenuhi persyaratan Formal dan persyaratan Materil, Ketentuan demikian diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER – 036/A/JA/09/2011 Tentang STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)  PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA UMUM juncto Pasal 138 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi: “Penuntut Umum setelah menerima hasil penyidikan dari Penyidik segera mempelajari dan meneliti dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada Penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum”. Perlu dipahami dalam lingkup perkara pidana, maka ketentuan Syarat formil: mencakup: nama, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, tempat tinggal, pekerjaan terdakwa, jenis kelamin, kebangsaan dan agama. Sedangkan  Syarat  materiil:adalah w aktu dan tempat tindak pidana dilakukan (tempus delicti dan locus delicti), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b KUHAP.

Selanjutnya ketentuan Pasal 138 ayat (2) KUHAP, menegaskan:  “Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, Penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada Penuntut Umum”.

Apabila BERKAS PERKARA yang dikembalikan oleh Penuntut Umum kepada Penyidik untuk dilengkapi melalui PENYIDIKAN TAMBAHAN ternyata tidak dapat dilengkapi oleh Penyidik, maka Penuntut Umum dapat melakukan tindakan:

  • Sesuai dengan Instruksi Jaksa Agung RI No. INS – 006/J.A/7/1986 Tanggal 15 Juli 1986, yaitu Berkas Perkara tersebut dapat diterima untuk selanjutnya perkara tersebut dihentikan penuntutannya.
  • Menerima Berkas Perkara penyidikan yang belum lengkap dari Penyidik untuk kemudian dilakukan pemeriksaan tambahan, sesuai dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik Indonesian, yang sekarang telah diganti dengan  Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pada Pasal 30 ayat (1) huruf e disebutkan: “Di bidang pidana Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikordinasikan dengan Penyidik”.

Sebagai bahan pelengkap, berikut ini dikemukakan penerapan proses “Peradilan Pidana Terpadu” (Integrated Criminal Justice System)  pada tataran pemeriksaan perkara di Pengadilan.[1]

Pemeriksaan Pidana Biasa:

  1. Penunjukan hakim atau majelis hakim dilakukan oleh KPN setelah Panitera mencatatnya di dalam buku register perkara seterus¬nya diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menetapkan Hakim / Majelis yang menyidangkan perkara tersebut.
  2. Ketua Pengadilan Negeri dapat mendelegasikan pembagian perkara kepada Wakil Ketua terutama pada Pengadilan Negeri yang jumlah perkaranya banyak.
  3. Pembagian perkara kepada Majelis / Hakim secara merata dan terhadap perkara yang menarik pehatian masyarakat, Ketua Majelisnya KPN sendiri atau majelis khusus.
  4. Sebelum berkas diajukan ke muka persidangan, Ketua Majelis dan anggotanya mempelajari terlebih dahulu berkas perkara.
  5. Sebelum perkara disidangkan, Majelis terlebih dahulu mempelajari berkas perkara, untuk mengetahui apakah surat dakwaan telah memenuhi-syarat formil dan materil.
  6. Syarat formil: nama, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, tempat tinggal, pekerjaan terdakwa, jenis kelamin, kebangsaan dan agama.
  7. Syarat – syarat materil :Waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (tempus delicti dan locus delicti),Perbuatan yang didakwakan harus jelas di¬rumuskan unsur-unsurnya,Hal – hal yang menyertai perbuatan – perbuatan pidana itu yang dapat menimbulkan masalah yang memberatkan dan   meringankan.
  8. Mengenai butir a dan b merupakan syarat mutlak, apabila syarat-syarat tersebut tidak ter¬penuhi dapat mengakibatkan batalnya   surat dakwaan (pasal 143 ayat 3 (KUHAP).
  9. Dalam hal Pengadilan berpendapat bahwa perkara menjadi kewenangan pengadilan lain maka berkas perkara dikembalikan dengan penetapan dan dalam tempo 2 X 24 jam, dikirim kepada Jaksa Penuntut Umum dengan perintah agar diajukan ke Pengadilan yang berwenang (pasal 148 KUHAP).
  10. Jaksa Penuntut Umum selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari dapat mengajukan perlawanan terhadap penetapan tersebut dan dalam waktu 7 (tujuh) hari Pengadilan Negeri wajib mengirimkan perlawanan tersebut ke Pengadilan Tinggi (pasal 149 ayat 1 butir d KUHAP).
  11. Pemeriksaan dilakukan sesuai dengan prinsip – prinsip persidangan diantaranya pemeriksaan terbuka untuk umum, hadirnya terdakwa dalam persidangan dan pemeriksaan secara langsung dengan lisan.
  12. Terdakwa yang tidak hadir pada sidang karena surat panggilan belum siap, persidangan ditunda pada hari dan tanggal berikutnya.
  13. Ketidakhadiran terdakwa pada sidang tanpa alasan yang sah, sikap yang diambil :
    Sidang ditunda pada hari dan tanggal berikutnya;Memerintahkan Penuntut Umum untuk memanggil terdakwa;Jika panggilan kedua, terdakwa tidak hadir lagi tanpa alasan yang sah,  memerintahkan Penuntut Umum memanggil terdakwa sekali lagi;Jika terdakwa tidak hadir lagi, maka memerintahkan Penuntut Umum untuk menghadirkan terdakwa pada sidang berikutnya secara paksa.
  14. Keberatan diperiksa dan diputus sesuai dengan ketentuan  KUHAP.
  15. Perkara yang terdakwanya ditahan dan diajukan permohonan penangguhan / pengalihan penahanan, maka dalam hal dikabulkan atau tidaknya permohonan tersebut harus atas musyawarah Majelis Hakim.
  16. Dalam hal permohonan penangguhan / pengalihan penahanan dikabulkan, penetapan ditandatangani oleh Ketua Majelis dan Hakim Anggota.
  17. Penahanan terhadap terdakwa dilakukan berdasar alasan sesuai Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP, dalam waktu sesuai Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29 KUHAP.
  18. Penahanan dilakukan dengan mengeluarkan surat perintah penahanan yang berbentuk penetapan.
  19. Penangguhan penahanan dilakukan sesuai Pasal 31 KUHAP.
  20. Dikeluarkannya terdakwa dari tahanan dilakukan sesuai Pasal 26 ayat (3) dan Pasal 190 huruf b.
  21. Hakim yang berhalangan mengikuti sidang, maka KPN menunjuk Hakim lain sebagai penggantinya.
  22. Kewajiban Panitera Pengganti yang mendampingi Majelis Hakim untuk mencatat seluruh kejadian dalam persidangan.
  23. Berita Acara Persidangan mencatat segala kejadian disidang yang berhubungan dengan pemeriksaan perkara, memuat hal penting tentang keterangan saksi dan keterangan terdakwa, dan catatan khusus yang dianggap sangat penting.
  24. Berita Acara Persidangan ditandatangani Ketua Majelis dan Panitera Pengganti, sebelum sidang berikutnya dilaksanakan.
  25. Berita Acara Persidangan dibuat dengan rapih, tidak kotor, dan tidak menggunakan tip-ex jika terdapat kesalahan tulisan.
  26. Ketua Majelis Hakim / Hakim yang ditunjuk bertanggung jawab atas ketepatan batas waktu minutasi.
  27. Segera setelah putusan diucapkan Majelis Hakim dan Panitera Pengganti menandatangani putusan.
  28. Segera setelah putusan diucapkan pengadilan memberikan petikan putusan kepada terdakwa atau Penasihat Hukumnya dan Penuntut Umum.

 

Pemeriksaan Pidana Singkat:

  1. Berdasarkan pasal 203 KUHAP maka yang diartikan dengan perkara acara singkat adalah perkara pidana yang menurut Penuntut Umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.
  2. Pengajuan perkara pidana dengan acara singkat oleh Penuntut Umum dapat dilakukan pada hari – hari persidangan tertentu yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
  3. Pada hari yang telah ditetapkan tersebut penuntut umum langsung membawa dan melimpahkan perkara singkat kemuka Pengadilan.
  4. Ketua Pengadilan Negeri sebelum menentukan hari persidangan dengan acara singkat, sebaiknya mengadakan koordinasi dengan Kepala Kejaksaan Negeri setempat dan supaya berkas perkara dengan acara singkat diajukan tiga hari sebelum hari persidangan.
  5. Penunjukan Majelis / Hakim dan hari persidangan disesuaikan dengan keadaan di daerah masing-masing.
  6. Pengembalian berkas perkara kepada kejaksaan atas alasan formal atau berkas perkara tidak lengkap.
  7. Pengembalian berkas perkara dilakukan sebelum perkara diregister.
  8. Cara pengembalian kepada kejaksaan dilakukan secara langsung pada saat sidang di pengadilan tanpa prosedur adminstrasi.
  9. Dalam acara singkat, setelah sidang dibuka oleh Ketua Majelis serta menanyakan identitas terdakwa kemudian Penuntut Umum diperintahkan untuk menguraikan tindak pidana yang didakwakan secara lisan, dan hal tersebut dicatat dalam Berita Acara Sidang sebagai pengganti surat dakwaan (pasal 203 ayat 3 KUHAP).
  10. Tentang pendaftaran perkara pidana dengan acara singkat, didaftar di Panitera Muda Pidana setelah Hakim memulai pemeriksaan perkara.
  11. Apabila pada hari persidangan yang ditentukan terdakwa dan atau saksi-saksi tidak hadir, maka berkas dikembalikan kepada Penuntut Umum secara langsung tanpa penetapan, sebaiknya dengan buku pengantar (ekspedisi).
  12. Hakim dalam sidang dapat memerintahkan kepada penuntut umum mengadakan pemeriksaan tambahan untuk menyempurnakan pemeriksaan penyidikan jika hakim berpendapat pemeriksaan penyidikan masih kurang lengkap.
  13. Perintah pemeriksaan tambahan dituangkan dalam surat penetapan.
  14. Pemeriksaan tambahan dilakukan dalam waktu paling lama 14 hari, sejak penyidik menerima surat penetapan pemeriksaan tambahan.
  15. Jika hakim belum menerima hasil pemeriksaan tambahan dalam waktu tersebut, maka hakim segera mengeluarkan penetapan yang memerintahkan supaya perkara diajukan dengan acara biasa.
  16. Pemeriksaan dialihkan ke pemeriksaan acara cepat dengan tata cara sesuai Pasal 203 ayat (3) huruf b KUHAP.
  17. Untuk kepentingan persidangan Hakim menunda persidangan paling lama 7 hari.
  18. Putusan perkara pidana singkat tidak dibuat secara khusus tetapi dicatat dalam Berita Acara Sidang.
  19. BAP dibuat dengan rapi, tidak kotor, dan tidak menggunakan tip ex jika terdapat kesalahan tulisan diperbaiki dengan renvoi.
  20. Ketua Majelis Hakim / Hakim yang ditunjuk bertanggung- jawab atas ketepatan batas waktu minutasi.
  21. Paling lambat sebulan setelah pembacaan putusan, berkas perkara sudah diminutasi.
  22. Hakim memberikan surat yang memuat amar putusan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya, dan penuntut umum.

 

Tindak Pidana Cepat/Ringan:

  1. Pengadilan menentukan hari tertentu dalam 7 (tujuh) hari untuk mengadili perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan.
  2. Hari tersebut diberitahukan Pengadilan kepada Penyidik supaya dapat mengetahui dan mempersiapkan pelimpahan berkas perkara tindak pidana ringan.
  3. Pelimpahan perkara tindak pidana ringan, dilakukan Penyidik tanpa melalui aparat Penuntut Umum.
  4. Penyidik mengambil alih wewenang aparat Penuntut Umum.
  5. Dalam tempo 3 (tiga) hari Penyidik menghadapkan segala sesuatu yang diperlukan ke sidang, terhitung sejak Berita Acara Pemeriksaan selesai dibuat Penyidik.
  6. Jika terdakwa tidak hadir, Hakim dapat menyerahkan putusan tanpa hadirnya terdakwa;
  7. Setelah Pengadilan menerima perkara dengan Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan, Hakim yang bertugas memerintahkan Panitera untuk mencatat dalam buku register.
  8. Pemeriksaan perkara dengan Hakim tunggal.
  9. Pemeriksaan perkara tidak dibuat BAP, karena Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik sekaligus dianggap dan dijadikan BAP Pengadilan.
  10. BAP Pengadilan dibuat, jika ternyata hasil pemeriksaan sidang Pengadilan terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat  Penyidik.
  11. Putusan dalam pemeriksaan perkara tindak pidana ringan tidak dibuat secara khusus dan tidak dicatat/ disatukan dalam BAP. Putusannya cutup berupa bentuk catatan yang berisi amar-putusan yang disiapkan / dikirim oleh Penyidik.
  12. Catatan tersebut ditanda tangani oleh Hakim.
  13. Catatan tersebut juga dicatat dalam buku register.

_________________________________

[1] Website Pengadilan Negeri Simalungun, Edisi Senin, 11 April 2016.

Writer and Copy Right:
Dr. Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant

 

 

Leave a Reply