HUKUM PERTANAHAN DI INDONESIA
POLITIK HUKUM ADAT dari Pemerintah Belanda pada masa lampau yang membiarkan tetapi tidak menumbuhkmbangkan Hukum Adat Indonesia yang berlaku terhadap golongan Bumiputera/Orang Indonesia Asli/Pribumi, merupakan politik antiakultrasi yang apabila ditinjau dari sudut sosial – ekonomi pada hakekatnya tidak menguntungkan bagi golongan Bumiputera/Orang Indonesia Asli/Pribumi.
Strategi kebijakan sosialisasi Hukum Adat kepada para sarjana hukum/dan pimpinan – pimpinan di kalangan masyarakat Indonesia oleh Pemerintah Belanda hanya upaya mengalihkan perhatian (afleidingsmanouvre), agar para sarjana hukum dan pimpinan – pimpinan yang berasal dari kalangan masyarakat Indonesia tidak melakukan kritisi dan protes terhadap politik antiakultrasi Pemerintah Hindia Belanda.
Hukum Adat yang secara nyata merupakan Hukum Indonesia Asli yang tidak tertulis dalam perundang – undangan Republik Indonesia (Hukum Kebiasaan/customary law/gewoonterecht), yang secara esensial mengandung unsur agama, hanya memenuhi tuntutan suatu kehidupan bersama (living together) yang bersifat tradisional, tetapi dianggap dan diposisikan sebagai kaidah hukum yang tidak memadai untuk digunakan dalam melakukan kegiatan business besar dan memenuhi tuntutan perkbangan jaman modern.
Politik hukum Pemerintah Belanda membiarkan bangsa kita khususnya golongan asli, menjadi salah satu sebab terbelakangnya kedudukan sosial ekonomi dari golongan asli, dibandingkan dengan golongan – golongan lainnya.
Terminologi “Hukum Adat” dalam pasal 5 UUPA (Undang – Undang Pokok Agraria) tidak mempunyai pengertian yang sama dengan pengertian Hukum Adat sebagi Hukum Indonesia Asli, melainkan merupakan hukum sintesis yang mengambil bahan – bahan yang baik – baik dari Hukum Adat maupun dari Hukum Barat. Namun demikian, pada hakekatnya Hukum Adat yang tercantum dalam UUPA sebagai hukum sintesis tidak menolak sistem hukum yang konsensual.
In actu, yurisprudensi mengenai pengertian Hukum Adat UUPA belum menganut satu pendirian yang sama (hal ini disebabkan dalam praktek peradilan Hakim menganut asas “Kebebasan yang terikat dan keterikatan yang bebas” sesuai aliran rechtsvinding), sehingga untuk menghindari carut – marut/simpang – siur bahkan pertentangan penafsiran pengertian Hukum Adat UUPA (khususnya Pasal 5) yang terus – menerus dan tidak berkesudahan, ipso jure mutlak perlu adanya keseragaman/kesamaan/persamaan interpretasi marut/simpang – siur bahkan pertentangan penafsiran pengertian Hukum Adat UUPA (khususnya Pasal 5). Dalam hal ini, modernisasi hukum nasional di bidang pertanahan terutama yang berhubungan dengan Hak Ulayat dan Hak – Hak Masyarakat Adat, hanya mungkin dilakukan dengan menggunakan asas konsensualisme diantara seluruh (stakeholders).
Pada prinsipnya penggunaan dan penempatan sistem hukum yang konsensual dalam Hukum Adat UUPA didukung pula oleh berbagai doktrin dan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sistem hukum yang konsensual atau asas konsensualisme dapat dijabarkan dari sejarah terjadinya UUPA, konstruksi kalimat yang dipakai, maupun dari putusan putusan Mahkamah Agung Republik Indonsia.
Penafsiran – penafsiran dari ketentuan UUPA dengan sistem hukum yang kontan menimbulkan kesulitan – kesulitan, terutama dalam menafsirkan lembaga – lembaga hukum yang abstrak sifatnya, misalnya lembaga fidusia. Penafsiran – penafsiran dengan sistem hukum yang konsensual memberi hasil yang memadai dan sesuai dengan asas – asas hukum umum yang sudah diterima.
Berkaitan dengan uraian diatas, perlu pula dipahami untuk dikaji mengenai prosedur pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (dahulu: Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah), yang berpotensi menimbulkan birokrasi yang berbelit -belit bahkan tidak efisien dan efektif, misalnya disebabkan adanya satu wewenang tumpang tindih, baik dalam satu instansi maupun antara dua atau beberapa instansi yang pada akhirnya menciptakan peluang terjadinya praktek – praktek pungutan liar, KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) bahkan penyalahgunaan wewenang.
Lembaga Hipotik (sekarang: Hak Tanggungan) yang oleh UUPA diperhatikan berlakunya, bilamana mengenai obyeknya ditafsirkan menurut Hukum Adat V (Hukum Adat zaman van Vollenhoven C.s), maka dalam hal tertentu dapat menimbulkan ketidakadilan bagi kreditur. Demikian pula sampai saat ini, kaidah hukum atau penelaahan yuridis dalam yurisprudensi belum terdapat adanya pedoman atau ketentuan baku yang bersifat tetap berkaitan dengan penafsiran ketentuan – ketentuan UUPA oleh Hakim mengenai eksistensi Hukum Adat dalam kejadian – kejadian konkrit kemasyarakatan (interaksi sosial) dalam penerapan praktek peradilan.
Writer and Copy Right: Dr. Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.