HUBUNGAN   ANTARA KEBIJAKAN LEGISLASI PEMERINTAH DI BIDANG SUMBER DAYA ALAM MINERAL DAN BATUBARA DENGAN   KONSEP   NEGARA   KESEJAHTERAAN   MENURUT    SISTEM KETETANEGARAAN INDONESIA

Big family illustration concept shows a lovely family standing together among the beautiful nature.

 

BAB I
DESKRIPSI WACANA ILMIAH

A.  KEBIJAKAN LEGISLASI DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN BERBASIS GOOD GOVERNANCE.

Kooiman (1993) mengemukakan bahwa “Governance” berarti serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintahan dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan – kepentingan masyarakat . Selanjutnya Mardiasmo (2004:23) mengartikan “governance” sebagai cara mengelola urusan – urusan publik. Dan Rewansyah (2010:80)  mengatakan Governance (kepemerintahan) yang merujuk pada proses, yaitu proses penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara dengan melibatkan bukan saja negara, tetapi juga semua stakeholder  yang ada, baik itu dunia usaha / bisnis dan masyarakat madani (civil society)[1].

Kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan isu sentral yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gencar yang dilakukan oleh masyarakat  kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat, selain adanya pengaruh globalisasi. Pola lama penyelenggaraan pemerintah, kini sudah tidak sesuai lagi dengan tatanan masyarakat yang telah berubah. Oleh karena itu, tuntutan ini  merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon oleh pemerintah dengan melakukan perubahan yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik[2].

Secara sederhana, good governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Yang dimaksud  dengan kata “baik”  disini adalah mengikuti kaidah – kaidah tertentu sesuai dengan prinsip – prinsip dasar good governance. Sebagai penerjemahan konkret demokrasi dengan meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang, sustainabilitas demokrasi itu sendiri. World Bank mendfinisikan good governance  sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab serta sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha[3].

International NGO Forum on Indonesia Development (INFID)  merupakan suatu forum yang  terdiri dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia maupun luar negeri. Partisipasinya mempunyai latar belakang orientasi dan kegiatan yang sangat beragam. Kesamaan yang menyatukan lembaga – lembaga swadaya dalam INFID adalah perhatian mereka terhadap sebagian masyarakat Indonesia yang masih belum menikmati hasil pembangunan. Perhatian mereka melampaui golongan yang hidup dalam kemiskinan yang jumlahnya menurut pemerintah tinggal 27 juta jiwa (kursip penulis: pada zaman Orde Baru). Melainkan juga pada kondisi – kondisi yang mengakibatkan atau akan mengarahkan masyarakat kepada penyingkiran dasi akses ekonomi, ketergantungan, penghinaan sosial, atau kerusakan alam. Melalui forum ini, kegiatan – kegiatan advokasi diarahkan untuk memperbaiki arah dan jalannya pembangunan Indonesia[4].

Pada konferensinya yang ke IX di Paris pada bulan April 1994, INFID memilih tema “Penyelenggaraan Negara yang Baik  dan Pembangunan Daerah” (Good Governance in Regional Development). Persoalan sosial ekonomi yang ada di berbagai daerah, terutama di bagian Indonesia Timur, sangat mendesak untuk diperhatikan.  Dipandang bahwa sifat persoalan yang ada di sana sangat mendasar dan berdampak besar  dan karenanya perlu pendekatan baru dalam kebijakan pembangunan daerah, tidak saja menyangkut lembaga – lembaga yang ada di daerah melainkan kebijakan sosial dan ekonomi secara nasional. INFID mempunyai 3 prinsip pendekatan untuk mengatasi masalah kemiskinan, baik yang absolut, relatif, maupun yang potensial. Pertama, pembangunan kesejahteraan rakyat untuk Indonesia adalah yang menggunakan prinsip people’s entitlement dimana tingkat kemajuan rakyat diukur dari pembesaran haknya sesuai dengan bertambahnya kekayaan dan kesempatan ekonomi. Pembangunan prinsip ini adalah untuk mengikis persoalan – persoalan kesenjangan dan kemiskinan relatif beserta segala akibat negatifnya dalam jangka lebih panjang[5].

Prinsip yang kedua adalah bahwa masyarakat harus diberi kesempatan membangun institusi – institusinya sendiri, dengan tujuan meningkatkan taraf hidup maupun melindungi dari dampak negatif pembangunan. Bertitik tolak pada kondisi dimana institusi – institusi masyarakat yang terlanjur melemah dan budaya yang apatis, yang mungkin menyukarkan masyarakat membangun dirinya sendiri, pemerintah selaiknya memberi kesempatan yang luas bagi golongan – golongan masyarakat yang mempunyai keinginan membangun masyarakat lokal, seperti LSM dan perguruan tinggi. Mereka merupakan middle layers yang menjembatani kepentingan lokal[6].

Prinsip yang ketiga, pemerintah daerah, dan juga pemerintah pusat dalam kebijaksanaan yang berkaitan dengan pemerintah pusat dan daerah, harus mendorong tersedianya segala informasi yang berguna bagi masyarakat lokal untuk memahami persoalan – persoalan yang dihadapi. Pemerintah daerah sendiri harus accountable terhadap masyarakat daerah, dalam hal ini penduduk miskin.  Tidak hanya agar masyarakat daerah dapat lebih baik memahami persoalan daerahnya sendiri, melainkan juga menjamin bahwa keputusan yang diambil sesuai dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Prinsip yang ketiga ini menuntut dipenuhinya empat kriteria penyelenggaraan negara yang baik  yaitu: hak rakyat atas informasi, proses penyelenggaraan negara yang transparan, pemenuhan hak – hak asasi manusia, dan penghormatan terhadap pluralisme. Di sini pemahaman mengenai governance (penyelenggaraan negara) sangat penting. Dalam suatu governance, tingkat lokal dan nasional tarik menarik dalam pembagian sumber ekonomi melalui berbagai pola hubungan kewenangan.    Meskipun suatu governance umumnya memiliki paham keadilan, perhatian kita terpusat pada bagaimana bekerjanya secara faktual lembaga – lembaga yang membentuk pola hubungan antarkelompok  masyarakat yang pada akhirnya mempengaruhi pola pembagian sumber daya. Dalam hal ini pola – pola hubungan yang ingin dilihat adalah yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dimana terlibat di dalamnya pemerintah sebagai pemegang wewenang eksekutif, lembaga – lembaga normatif  yang diformalkan sebagai aturan main, serta masyarakat sendiri sebagai sumber inspirasi dan gerak suatu bangsa. Prinsip – prinsip Good Governance adalah untuk menjaga tujuan dasar diselenggarakannya negara yaitu keadilan dan kesejahteraan  umum melalui suatu bentuk pertimbangan antara ketiga elemen tersebut. Tiga prinsip inilah yang dijadikan pijakan dalam melihat persoalan – persoalan di daerah[7].

Asal konsep penyelenggaraan negara yang baik (Good governance) akan disingkat PNB – ditemukan di sebuah laporan Bank Dunia tentang kemiskinan di Sub – Sahara Afrika. PNB didefinisikan oleh suatu kelompok kerja di Bank Dunia sebagai “cara dimana kekuasaan dilaksanakan dalam pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial suatu negara bagi kemajuan”. Disimpulkan di sana bahwa, “PNB adalah sangat penting untuk menciptakan  dan mempertahankan kebijakan ekonomi yang sehat”. Bahwa fokus dari prinsip PNB pada awalnya berkaitan dengan efesiensi pasar dapat dilihat dari dimensi – dimensi PNB sebagaimana diartikan  oleh Bank Dunia yaitu: a) keterandalan; b) kerangka hukum efektif; c) informasi yang sejalan dengan transparansi; d) tenaga kerja terdidik. Bank Dunia melihat kegagalan pembangunan berkaitan dengan transfer modal – sebagai suatu faktor eksternal – yang dipergunakan secara salah tidak benar oleh pemerintah di negara berkembang. Selanjutnya, prinsip PNB berkembang lebih jauh di dalam Bank Dunia sendiri, mengakomodasikan dua fenomena global: diskursus tentang hak asasi manusia dan perubahan politik di Eropa Timur yang menyebabkan dana bantuan luar negeri diarahkan ke negara – negara di wilayah tersebut. Sebuah makalah yang ditulis oleh suatu tim Bank Dunia memasukkan elemen – elemen baru yang mengakui tumpang tindihnya prinsip – prinsip PNB dengan hak asasi manusia, yaitu: a) keterandalan politik; b) kebebasan berserikat / pluralisme institusional; dan c) kebebasan menyatakan pendapat. Penambahan elemen – elemen baru oleh aktivis kemanusiaan ke dalam prinsip PNB serupa dengan issu keterikatan (indivisibility) antara hak ekonomi dengan hak sosial.  Issu – issu tersebut berakar pada pertanyaan tentang bagaimana pembangunan diukur dan dicapai. Konsep awal PNB melihat keberhasilan pembangunan dari kemampuan pemerintah menciptakan pasar yang kompetitip dan efisien, pengadaan fasilitas publik baik dari segi prasarana maupun sumber daya manusia, dan kemantapan hukum. Dalam kenyataannya, adalah tidak mungkin mengharapkan pemerintah sebagai suatu komponen dari proses politik memenuhi prinsip PNB dalam ketiadaan partisipasi populer. Dengan kata lain, masyarakat membutuhkan kekuatan politik  yang diperoleh melalui hak berorganisasi dan kebebasan menyatakan pendapat agar dapat berinteraksi dengan pemerintah. Hanya jika kondisi – kondisi di atas dipenuhi, keterandalan, transparansi, dan efisiensi dapat diharapkan dari pemerintah[8].

Dalam konteks negara Indonesia, C.F.G. Sunaryati Hartono menyebutkan, dengan asas bahwa segala cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak  harus dikuasai dan diarahkan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat, (pasal 33 ayat 3) kiranya jelas bahwa UUD 1945 tidak menganut faham demokrasi ekonomi berdasarkan pasar bebas. Tetapi juga tidak sepenuhnya menganut faham perekonomian sosialis, karena bagaimanapun UUD 1945 mensyaratkan campur tangan dan pengaturan Pemerintah ke dalam kehidupan  perekonomian masyarakat hanya dalam hal cabang – cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan itupun karena tujuan negara adalah sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat[9].

Dalam pada itu hak asasi manusia atas pekerjaan dan penghidupan yang layak tetap dijunjung tinggi, sehingga ciri – ciri demokrasi ekonomi Indonesia kiranya tidak perlu lagi dicari acuannya pada teori – teori asing. Cukuplah sudah falsafah UUD 1945 yang begitu bijaksana dan seakan – akan melihat jauh ke depan dalam kebutuhan ekonomi  abad ke – 21  kita pegang teguh dalam memenuhi kebijaksanaan dan peraturan hukum di segala bidang ekonomi[10].

Pada bulan Juli 1991 negara – negara industri maju yang tergabung dalam OECD (Organization  for Economic Cooperation and Development) dengan inspirasi  isu tersebut pada pertemuan puncak di London merumuskan kebijakan bantuan pembangunan yang dikaitkan dengan good governance. Dalam waktu singkat isu good governance menjadi sangat populer  di Indonesia antara lain melalui Conference on Good Governance in East Asia yang diselenggarakan  di Jakarta  tanggal 17 – 18 November 1999 atas prakarsa CSIS (Central for Strategic and Internasional Studies)[11].

Meskipun good governance populer di Indonesia namun hingga saat ini belum ada istilah baku dalam bahasa Indonesia baik untuk governance maupun untuk good governance.  Hadi Soesastro mengatakan bahwa untuk istilah governance telah dicoba diintrodusir istilah penadbiran, namun diakuinya sendiri bahwa istilah itu masih terdengar asing. Sadu Wasistiono mengetengahkan bahwa dalam bahasa Indonesia istilah governance ada yang menerjemahkan tata pemerintahan dan ada pula yang menerjemahkan kepemerintahan. Dalam Undang – Undang No. 25 th. 2000 tentang PROPENAS digunakan istilah pemerintahan yang baik dalam konteks mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang baik[12].

Doktrin Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) merupakan doktrin yang sebenarnya terdapat dan dikembangkan dalam ilmu managemen maodern, tetapi kemudian menyusup juga dan diterima ke dalam bidang hukum. Manakala doktrin Good Governance ini diterapkan ke dalam sistem pemerintahan, disebut dengan istilah Good Governance saja. Dan, manakala doktrin Good Governance ini diterapkan ke dalam manajemen perusahaan misalnya, maka untuk hal itu akan disebut dengan istilah  Good Corporate Governance[13].

Doktrin Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance)  adalah suatu doktrin yang mengharuskan  suatu pemerintahan dikelola secara baik,  benar dan penuh integritas, yang memiliki beberapa elemen – elemen pokok sebagai berikut:

  1. Elemen Keterbukaan (Transparancy);
  2. Elemen Keadilan (Justice);
  3. Elemen Akuntabilitas publik (Public Accountability);
  4. Elemen Responsibilitas (Responsibility);
  5. ElemenPemerintahan yang Bersih (Clean Government);
  6. Elemen Responsivitas (Responsiveness);
  7. Elemen Efektivitas dan Efisiensi (Effective and Efficient);
  8. Element Prediktabilitas (Predictability);
  9. Elemen Partisipasi Publik (Public Participation);
  10. Elemen Pendekatan Konsensus (Consensus Approach);
  11. Elemen Penegakan Hukum (Law Enforcement);
  12. Elemen Perlindungan yang Sama (Equal Protection);
  13. Elemen Penghormatan terhadap Prinsip – Prinsip Etika (Ethical Appreciation)dan Moralitas Publik (Public Morality);
  14. Elemen Visi yang Strategis (Strategic Vision);
  15. Elemen Partisipasi Masyarakat (Society Participation);
  16. Elemen Kompetensi dari Pengelola Pemerintahan (Competency);
  17. Elemen Kesejahteraan Rakyat (Social Welfare Approach)[14].

Penerapan konsep good governance  ke dalam suatu sistem pemerintahan diyakini sudah menjadi suatu keharusan bagi negara – negara modern. Pada prinsipnya, dengan istilah good governance berarti bagaimana manajemen pemerintahan mengelola pemerintahan tersebut secara baik,  benar dan penuh integritas. Karena itu, prinsip good governance melingkupi juga seluruh aspek dari organisasi, bisnis dan budaya. Namun demikian, secara lebih spesifik, good governance dapat diartikan sebagai suatu proyek sosial, hukum dan pemerintahan, yang melibatkan sektor negara, rakyat dan pasar, yang berisikan ketentuan yang mengatur hubungan antara unsur – unsur pemerintah, parlemen, pengadilan dan rakyat, dan lain – lain yang berkaitan dengan pengendalian pemerintahan. Good corporate governance lebih merupakan proses, bukan tujuan, ketika pemerintah mengelola suatu negara dan pemerintahan[15].

Konteks kebijakan legislasi dalam perencanaan pembangunan berbasis good  governance  yang dimaksudkan dalam hal ini adalah bagaimana pemerintah membuat suatu regulasi yang benar  sesuai dengan asas – asas pemerintahan umum yang baik berkaitan dengan pengelolaan sumber daya minera dan batubara.  Dalam hal ini dibutuhkan kemauan dan keberanian pemerintah  untuk melakukan pengendalian tambang mineral dan batubara dalam rangka mewujudkan negara kesejahteraan.  Sikap tegas tersebut telah diperlihatkan oleh pemerintah dengan adanya aturan hilirisasi industri pertambangan, yang dapat dianggap sebagai revolusi besar dalam dunia pertambangan di Indonesia.

Revolusi kebijakan legislasi industri pertambangan mineral dan batubara di Indonesia tidak terjadi secara tiba – tiba dan kebetulan, melainkan melalui suatu proses yang cukup panjang.  Pemerintah telah melakukan kajian secara seksama dan komprehensif  dengan mempertimbangkan  kepentingan – kepentingan berbagai elemen masyarakat. Indonesia merupakan negara yang berlimpah sumber daya mineral dan batubara. Berbagai komoditas seperti, biji besi, timah dan berbagai mineral lainnya telah ditambang dan diperdagangkan di pasar internasional selama bertahun – tahun. Ironisnya,  pengembangan pertambangan Indonesia tidak sejalan dengan sejarah panjang eksploitasi, perdagangan  dan kontribusi terhadap penerimaan negara. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengaturan lebih baik agar pengelolaan sumber daya alam tersebut tidak hanya menguntungkan pihak – pihak tertentu terutama kalangan pengusaha dengan pemilik modal (capital) besar.

B. IMPLEMENTASINEGARA KESEJAHTERAAN MELALUI KEBIJAKAN LEGISLASI  DI BIDANG SUMBER DAYA ALAM MINERAL DAN BATUBARA

Perundang – undangan sebagai manifestasi filosofis atau pandangan hidup bangsa maksudnya perundang – undangan itu  merupakan abstraksi nilai dan darivasi nilai. Pergeseran nilai disebabkan pengaruh berbagai faktor. Perbedaan persepsi  mengenai nilai – nilai, sesuai dengan perbedaan pandangan hidup bangsa  atau masyarakat[16].  Dalam membentuk suatu peraturan, pemerintah harus melihat keadaan masyarakat sebelum membuatnya agar pembentukan peraturan tersebut tidak mengalami ketidakharmonisan dalam pelaksanaan peraturan tersebut[17].

Perundang – undangan sebagai produk pertimbangan politik, maksudnya prosedur atau meknisme pengambilan keputusan dalam sistem politik tertentu, interaksi antara infra dan sufra struktur politik dan masyarakat. Hubungan antara public policy dan law. Misalnya Undang – Undang di DPR Pusat dan Peraturan Daerah (Perda) di DPRD. Pembuatan setiap peraturan adalah melalui pertimbangan – pertimbangan kebijakan (political consideration). Untuk mengetahui isi considerans ini baca bahagian “memperhatikan, menimbang dan seterusnya” yang menjadi sasaran perhatian, tentunya ialah “situasi dan kondisi”, dan pada bahagian “menimbang”, dapat dibaca pertimbangan politik (policy), yang selalu diawali dengan kata – kata “dipandang perlu, dan seterusnya”[18].

Sejarah menunjukkan masyarakat bisa mencapai kemakmuran karena berhasil memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki. Misalnya saja masyarakat Mesopotamia di jaman dulu yang berhasil menciptakan sistem irigasi untuk pertanian. Atau beberapa   kerajaan di tanah air seperti Kahuripan, Singasari, juga memanfaatkan potensi air sungai Brantas untuk irigasinya dan membawa kemakmuran[19]. Dalam masa berikut, Adam Smith mengemukakan teori tentang “absolut comparative advantage”. Dengan teori tersebut Adam Smith menyarankan agar setiap masyarakat berproduksi sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Jadi sebuah masyarakat yang kaya akan sumberdaya dibanding masyarakat lain akan mampu lebih banyak berproduksi[20].

Simon Kuznets (1955) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi sayangnya dibatasi oleh kekurangan absolut dari sumberdaya alam. Dari pernyataan  Simon Kuznets tersebut tersirat perkiraan negara – negara yang miskin akan sumberdaya alam akan tersendat – sendat pertumbuhan ekonominya. Namun ekonom lain berpendapat kekayaan suatu negara akan sumberdaya alam tidak berhubungan sama sekali dengan pertumbuhan ekonomi. Negara – negara seperti Jepang, Swiss dan Israel bisa tumbuh cepat  meskipun kurang sekali kekayaan sumberdaya alamnya, sehingga ada pendapat produksi nasional dan pertumbuhannya tidak tergantung pada seberapa besar kekayaan sumberdaya yang dimiliki, namun lebih tergantung pada kemampuan menyiapkan sumberdaya alam proses produksi[21].

       Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam  mineral dan batubara (SDA Minerba) yang sangat banyak tersebar di berbagai daerah (wilayah) dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun kekayaan tersebut belum mampu memberikan kesejahteraan yang optimal untuk rakyat. Ekspor mentah – mentah   bahan tambang dan mineral menyebabkan sumber daya alam tersebut tidak memberikan nilai tambah yang signifikan. Sesuai amanat Undang – Undang  Nomor  4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, maka Pemerintah  telah  memberlakukan pelarangan ekspor mineral mentah pada 12 Januari 2014.

Setidak – tidaknya  ada 5 (lima) komoditas galian / tambang yang harus diselamatkan Indonesia, sehingga mampu mengolah sendiri komoditi tersebut sehingga mendapatkan benefit  dan  value addict, yaitu:

  1. Batubara

       Indonesia memiliki cadangan batubara mencapai 26 miliar ton yang berupa proven atau possible resources. Sebagian besar cadangan tersebut berada di underground sehingga belum banyak terekspose. Saat ini sebagian besar tambang batubara dilakukan melalui tambang terbuka (open pit), sedangkan sekitar 2 miliar ton berada di hutan lindung. Pada prinsipnya, pelarangan ekspor mineral mentah bertujuan untuk mendapatkan nilai tambah (value addict). Produksi mineral mentah akan memberikan banyak manfaat jika dikelola sendiri oleh bangsa Indonesia, tidak  diekspor secara mentah dan diolah negara lain, dan selanjutnya kita sendiri yang impor barang yang sebenarnya dasarnya dari Indonesia.

       Jangan sampai Indonesia timbul kesan (image) bahwa Indonesia sebagai negara yang kaya akan hasil sumber daya alam baik minyak, mineral tambang dan lainnya namun tetap masyarakatnya / rakyatnya miskin. Negara yang tidak punya sumber daya alam justru maju, mereka berhasil memanfaatkan bahan dasar dari negara pemilik suber daya alam (SDA), mereka mengolahnya, kemudian dijual kembali dengan harga yang tentu jauh lebih mahal.

  1. Tembaga

       Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2012, negara Indonesia memiliki tembaga terukur berupa besi  sebanyak 6,031 miliar ton dan 32 juta ton berupa logam. Indonesia saat ini berupaya untuk menerapkan pelarangan ekspor raw materials (mineral mentah), tujuannya agar industri hilir di Indonesia berkembang, diharapkan dengan berkembangnya industri hilir, Indonesia bisa mengolah sendiri mineral tambang mentahnya. Pelarangan ekspor mineral mentah merupakan gejala global, banyak negara yang melakukan ketentuan tersebut. Hampir semua negara melakukan kebijakan seperti itu, seperti; Myanmar, Laos,  dan juga negara-negara di Afrika, karena issue utamanya adalah negara – negara  yang kaya sumber daya alam (resources) pasti terbelakang, oleh karena itu terdapat sebutan “kutukan sumber daya alam”  (resources curse).

       Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa  saat ini Indonesia mengekspor nickel ore ke China, sementara oleh China diolah menjadi stainless steel. Oleh karena itu, sangat beralasan apabila  Pemerintah Indonesia  mengeluarkan kebijakan yang melarang ekspor mineral mentah  sesuai amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Walaupun pada tataran implimentasinya pelarangan ekspor ini mendapat tentangan berbagai pihak terutama dari perusahaan mineral tambang yang beroperasi di Indonesia dengan alasan akan mengakibatkan penerimaan negara turun, banyaknya pemutusan tenaga kerja, mengakibatkan dua daerah akan bangkrut dan dampak lainnya lagi.

  1. Bauksit

       Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM pada 2012 Indonesia memiliki cadangan bauksit terukur berupa biji sebanyak 340 juta ton dan berupa logam sebanyak 161 juta ton.

  1. Nikel

       Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM pada 2012 Indonesia mempunyai sumber daya berupa nikel mencapai 1,091 miliar ton dalam bentuk bijih dan 15 juta ton berupa logam.

  1. Bijih besi

       Salah satu komoditas yang wajib diselamatkan Indonesia adalah pasir besi. Pada 2012 berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM, memiliki pasir besi terukur sebanyak 46 juta ton dalam bentuk bijih dan 9 juta ton dalam bentuk logam. Diperkirakan Indonesia mempunyai potensi pasir besi sebanyak 182 juta ton berupa bijih dan 63 juta ton berupa logam.

       Komoditas – komoditas  tambang yang disebutkan diatas sangat banyak ditemukan di Indonesia, dan dapat menghidupkan industri hilir dan bahkan dapat mencukupi kebutuhan energi listirk untuk menerangi 100% masyarakat Indonesia. Artinya kalau bangsa Indonesia menghidupkan industri hilir dari komoditas tersebut, maka negara Indonesia akan kuat, oleh karena itu  harus ada hilirisasi. Hilirisasinya harus benar, artinya bangsa Indonesia tidak  bergantung dari negara manapun juga karena industri hilir ada dimiliki oleh bangsa Indonesia, tetapi faktanya selama ini justeru kita  menghidupi industri orang lain.

       Sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka pengelolaan sumberdaya alam harus berorientasi kepada konservasi sumberdaya alam (natural resource oriented) untuk menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam, dengan menggunakan pendekatan yang bercorak komprehensif dan terpadu[22]. Namun kenyataannya apa yang diidealkan dan diharapkan sebagaimana  uraian di atas adalah jauh dari harapan, telah terjadi banyak kerusakan atas SDA kita, yang ternyata persoalan pokok dari sumber daya alam (dan lingkungan hidup) yang terjadi  selama ini justru dipicu oleh persoalan Hukum dan Kebijakan atas sumber Daya Alam tersebut[23].

       Tantangan terberat bagi kalangan pertambangan saat ini adalah menghadapi iklim perobahan paradigma di Indonesia, antara lain dengan adanya perobahan kebijakan – kebijakan  (policies) dan peraturan; perlunya renegosiasi kontrak; larangan ekspor hasil tambang yang masih berbentuk bahan baku; pengurangan lahan usaha untuk eksplorasi maupun untuk eksploitasi dan sebagainya. Usaha pertambangan memang lain dari usaha perdagangan, industri dan pertanian. Bisnis pertambangan memerlukan jangka waktu yang jauh lebih panjang, baik untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Selain itu, usaha pertambangan umumnya memerlukan modal yang sangat besar, sampai ratusan bahkan milyaran juta dolar Amerika Serikat (AS), serta memerlukan lahan usaha yang luas. Begitu pula adanya masalah persaingan dan tumpang tindih perizinan dengan sektor kehutanan dan perkebunan,  serta terjadinya masalah lingkungan.

       Secara umum pertambangan sumber daya alam mineral dan batubara Indonesia dapat memberikan dampak yang  positif  dan significant  untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, oleh karena:

  1. Indonesia termasuk “the top producers in the world for gold, copper, nickel, and tin”. Indonesia termasuk supplieryang sangat penting, termasuk batu bara bagi negara – negara  Asia yang sedang tumbuh dan berkembang;
  2. Pertambangan mewakili  11.54% dari PDB Indonesia; lebih besar dari bidang pertanian; kehutanan atau perikanan;
  3. Menurut berbagai pakar manfaat ekonomi pertambangan lebih besar dari ekonomi kehutanan sebagai saingannya;
  4. Ekspor pertambangan sekarang merupakan 17% dari pendapatan ekspor;
  5. Dewasa ini tantangan berat dirasakan adalah dalam bidang eksplorasi; tanpa eksplorasi tidak akan ada hasil tambang yang berupa mineral, metal,  maupun batu bara;

Pertambangan dapat memberikan manfaat yang besar dalam pembangunan daerah pada umumnya, daerah – daerah terpencil dan terbelakang pada khususnya. Tetapi sampai sekarang hasilnya masih minimal, sehingga menjadi masalah sosial – politis  yang serius yang perlu segera mendapatkan perhatian dan  perbaikan.

        Walaupun pertambangan merupakan sektor yang kompleks, akan tetapi dapat dikemukakan  beberapa observasi, yang merupakan indikator positif sebagai berikut:

  1. Dengan memiliki profil yang umumnya baik terutama dalam hal “rich resources”, industri pertambangan dapat merupakan motor pembangunan Indonesia  yang sangat kuat;
  2. Sudah tiba waktunya / saatnya mengadakan koreksi untuk mencapai manfaat dan penghasilan yang lebih baik  dari hasil pertambangan untuk kepentingan negara dan kesejahteraan rakyat Indonesia;
  3. Tetapi untuk itu diperlukan usaha “good governance”dan “sustainable development” terutama di daerah-daerah pertambangan;
  4. Sudah sangat urgent untuk diadakan usaha yang optimal menemukan solusi yang positif dan efektif bagi para stakeholders (pemilik saham);
  5. Para pemilik saham antara lain terdiri dari: pihak pemerintahan di pusat maupun di daerah; masyarakat setempat yang memerlukan peningkatan   kesejahteraan; dengan tidak mengabaikan kepentingan para investor dan perusahaan pertambangan;

       Peningkatan pertambangan sebagai motor pembangunan dapat dicapai jika ada kesamaan visi yang positif, semangat kerjasama dan saling mendukung, adanya kepastian hukum berupa kebijakan legislasi di bidang sumber daya alam mineral dan batubara. Prospek pertambangan Indonesia kedepan sangat baik, sepanjang dapat diciptakan kebijakan dan regulasi pembangunan yang kondusif, penegakkan hukum yang konsisten, dan suasana politik  dan bisnis  yang positif.

       Selain Gross Domestic Product (GDP) Index yang selama ini dipegang oleh semua negara untuk mengukur kemakmuran tiap – tiap negara, kini orang mulai berpaling untuk mengukur Happiness Index, yakni tingkat kebahagiaan suatu negara yang terkadang  secara mencengangkan berbanding terbalik dengan tingginya indeks GDP dari negara tersebut.

ad.1. PENEGAKKAN HUKUM DI BIDANG PERTAMBANGAN

Hukum pertambangan mineral dan batubara  merupakan kaidah hukumyang bersifat khusus, oleh karena:

  1. objeknya khusus; dan
  2. sifat hubungan para pihak bersifat administratif [24].

Pokok permasalahan yang menjadi objek kajian hukum pertambangan mineral dan batubara hanya berkaitan dengan pertambangan mineral dan batubara. Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan. Bijih adalah “sekumpulan mineral yang daripadanya dapat dihasilkan satu atau lebih logam secara ekonomis sesuai dengan keadaan teknologi dan lingkungan pada saat itu”. Pertambangan Batubara  adalah  adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal[25].

Hukum pertambangan mineral dan batubara  bersifat administratif, karena pemerintah maupun pemerintah daerah mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dalam proses pemberian izin kepada IPR, IUP, IUPK. Pemerintah dalam pemberian izin tersebut adalah didasarkan kepada syarat – syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundang – undangan. Apabila syarat – syarat itu dipenuhi oleh calon pemegang izin, maka pemerintah dapat menetapkan izin secara sepihak kepada  IPR, IUP, IUPK. Namun, apabila syarat – syarat itu tidak dipenuhi, maka pemerintah dapat menolak izin yang diajukan oleh calon pemegang izin. Disamping itu, pemerintah juga dapat membatalkan segala bentuk izin, baik IPR, IUP. maupun IUPK secara sepihak, apabila pemegang IPR, IUP, maupun IUPK tidak memenuhi dan mentaati segala ketentuan – ketentuan yang terdapat dalam substansi izin dan ketentuan perundang – undangan. Lain halnya dengan sistem kontrak,  dimana pemerintah tidak dapat membatalkan secara sepihak segala kontrak yang dibuat oleh dan antara pemerintah dengan kontraktor atau pihak lainnya. Untuk membatalkan setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak, maka salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan ke pengadilan atau ke lembaga arbitrase internasional. Lembaga inilah nantinya yang akan membatalkan kontrak yang dibuat oleh para pihak[26].

Hukum atau aturan perundangan,  harus adil, tetapi nyatanya seringkali tidak. Hukum terkait keadilan tanpa sepenuhnya menyadarinya[27]. Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkannya merupakan proses dinamis yang memakan waktu, upaya ini didominasi oleh kekuatan – kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya[28].

Otoritas aturan hukum berkembang sebagai akaibat dari meningkatnya wawasan tentang sifat rasionalnya. Fakta bahwa ia mampu memberi penjelasan rasional menjadi kian jelas bagi mereka yang merupakan anggotanya. Otoritas ini dibangun diatas norma – norma transpersonal, sedangkan kekuasaan dan pemaksaan mengacu pada ranah alami. Karena kedua ranah ini tidak sepenuhnya terpisah satu sama lain, maka terjadilah transisi dari yang satu ke yang lain. Kekuasaan aktual yang ada memberi orang yang memegangnya peluang lebih besar untuk mengemukakan apa yang menurutnya benar secara lebih meyakinkan; dia memiliki akses lebih besar ke sarana komunikasi yang memungkinkan dirinya membujuk dengan penjelasan masuk akal[29].

Interpretation adalah usaha untuk menggali, menemukan, dan memahami nilai – nilai  dan norma – norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, untuk dijadikan sebagai bahan (dasar) pertimbangan dalam menyusun hukum dan menetapkan  suatu keputusan dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang timbul dalam masyarakat, sehingga terwujud tujuan hukum itu sendiri, yaitu “keadilan”. Bila melakukan suatu pendekatan dalam mengamati fenomena sosial dalam masyarakat, yang kemudian hasil pengamatan itu digunakan untuk memecahkan suatu masalah (dalam hal ini adalah permasalahan hukum yang meliputi penggalian, penyusunan, pemeliharaan, dan penegakan hukum), maka dapat disebut tercapai tujuan interprestsi[30].

Tujuan diterbitkannya Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan Dan Pemurnian Mineral sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral (“Permen ESDM tentang Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral”) adalah untuk melaksanakan ketentuan Pasal 96 dan Pasal 111 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba).

       Secara eksplisit kegiatan pertambangan dalam  Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Untuk lebih merinci pelaksanaan dari Undang – Undang tersebut, dibuat turunannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang salah satu diantaranya adalah Peraturan Pemerintah  Nomor  23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Berdasarkan Peraturan Pemerintah  ini komoditas pertambangan dikelompokkan dalam 5

(lima) golongan, yaitu :

  1. Mineral radioaktif antara lain: radium, thorium, uranium;
  2. Mineral logam antara lain: emas, tembaga;
  3. Mineral bukan logam antara lain: intan, bentonit;
  4. Batuan antara lain: andesit, tanah liat, tanah urug, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, pasir urug;
  5. Batubara antara lain: batuan aspal, batubara, gambut.

       Saat ini kegiatan pertambangan yang lebih dikenal adalah pertambangan untuk komoditas mineral logam antara lain: emas, tembaga, nikel, bauksit dan komoditas batubara. Selain komoditas mineral utama dan batubara ini, komoditas batuan memiliki peran yang sama pentingnya terutama dalam memberikan dukungan material untuk pembangunan infrastruktur antara lain: pendirian sarana infrastruktur jalan, pembangunan perumahan, dan gedung perkantoran. Terminologi bahan galian golongan C yang sebelumnya diatur dalam Undang – Undang  Nomor  11 Tahun 1967 telah diubah berdasarkan Undang – Undang  Nomor  4 Tahun 2009, menjadi batuan, sehingga penggunaan istilah bahan galian golongan C sudah tidak tepat lagi dan diganti menjadi batuan.

       Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam bidang  Pertambangan Mineral Dan Batubara, Pemerintah sedang menggalakan Status C and C. Ketika Pemilik IUP ingin bekerjasama dengan pihak lain (joint operation) biasanya karena kekurangan modal atau ingin menjual atau Take Over tentunya calon partner atau investor akan melakukan due diligence baik potensi bisnis (deposit dan kualitas tambang) tentunya yang dilihat kemudian adalah dari segi legalitasnya, maupun aspek legalitas IUP didahulukan dibandingkan pertimbangan yang lain. Cara mudah bagi calon partner atau calon investor mengecek legalitasnya adalah ke Ditjen Minerba Kementerian ESDM apakah IUP yang dimaksud sudah diumumkan atau belum. Begitupula apakah sudah mendapat Sertifikat CNC atau belum.

       Karena CNC adalah hasil sinkronisasi  yang diadakan oleh Pemerintah Pusat  dengan Pemerintah Daerah, maka terhadap  pemegang IUP  yang  tidak memiliki Clear  and Clean Status,  maka dapat dilakukan  dengan meneliti 2 (dua)  hal :

  1. Apakah IUP bertumpang tindih dengan Pemilik IUP lain?
  2. Apakah proses keluarnya IUP tersebut sudah sesuai dengan Peraturan Perundang – undangan yang berlaku?

       Bagi pemegang IUP Operasi Produksi di bidang pertambangan mineral bukan Batubara saat ini adalah situasi  yang masih membingungkan karena begitu banyaknya persyaratan untuk mengekspor raw material  sejak keluarnya :

  1. Permen ESDM 7 Tahun 2012 yang di revisi dengan Permen ESDM No. 11 Tahun 2012;
  2. Permendag  No. 29/M-Dag/Per/5/2012 Tentang Ketentuan Produk Pertambangan;
  3. Permenkeu No. 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yg dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar;

       Intinya para pemilik IUP atau pemilik izin lainnya yang mengekspor raw material,  harus memenuhi Ketentuan-Ketentuan baru di atas. Selain harus membayar ketentuan Bea Keluar 20 % (dua puluh persen), Eksportir harus memiliki ETPP (Eksportir Terdaftar Produk Pertambangan). Untuk mendapatkan ETPP ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, terutama adalah Status CNC. Sampai saat ini tidak ada ketentuan mengenai  sanksi bila tidak memiliki CNC selain hanya untuk 2 kepentingan di atas[31].

      Secara umum dapat dikemukakan bahwa terdapat  6 (enam)  pokok pikiran yang diatur dalam Undang – Undang  Nomor  4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,  yaitu:

1)     Mineral dan Batubara merupakan energi tidak terbarukan karena itu dikuasai negara dan pengembangan serta pendayagunaan dilaksanakan pemerintah, pemda dan pelaku usaha;

2)     Diberikan kesempatan kepada badan usaha, koperasi, perseorangan;

3)     Dalam rangka desentralisasi dengan  prinsip eksternalitas, akuntabilitas, efisiensi;

4)     Harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yg sebesar – besarnya  bagi kesejahteraan rakyat Indonesia;

5)     Mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat dan tumbuhnya industri penunjang;

6)     Terciptanya pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, partisipasi masyarakat[32].

       Setelah sempat terjadi kekosongan pengaturan mengenai pengenaan kewajiban divestasi saham pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang dimiliki perusahaan asing, terutama terkait belum adanya pengaturan tahapan (waktu) divestasi saham serta belum mencerminkannya semangat penguasaan mineral dan batubara oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, kini dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, sejumlah persoalan di bidang pertambangan mineral dan batubara mulai terjawab.  Peraturan Pemerintah (PP) yang ditetapkan oleh Presiden dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM pada tanggal 21 Februari 2012 ini kehadirannya telah ditunggu oleh banyak pihak. Sebagaimana dibahas di atas, bahwa persoalan tahapan (waktu) divestasi saham oleh perusahaan asing kepada peserta Indonesia belum ada pengaturannya sebelum PP ini terbit. Apalagi dengan adanya pengenaan kewajiban divestasi saham oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengatur bahwa setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemagang IUP dan IUP Khusus (IPUK) yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah (pusat), pemerintah daerah, badan usaha milik Negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), atau badan usaha swasta nasional (Pasal 112 ayat (1)). Kemudian sebagai aturan organis dari UU No.4 Tahun 2009 ini, terbitlah PP No. 23 Tahun 2010 yang diantaranya mengatur mengenai peraturan pelaksanaan dari Pasal 112 UU No. 4 Tahun 2009 yang dalam Pasal 97 mengatur bahwa pemegang IUP dan IUPK dalam rangka penanaman modal asing, setelah 5 (lima) tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya secara bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sahamnya paling sedikit 20% (dua puluh persen) dimiliki peserta Indonesia yang penawaran saham tersebut dilakukan secara hirarkies, maksudnya pertama-tama ditawarkan kepada Pemerintah (pusat) dan apabila Pemerintah (pusat) tidak berminat maka ditawarkan kepada pemerintah daerah, dan seterusnya.

       Terhadap pengaturan dalam PP 23 Tahun 2010 tersebut, ada beberapa persoalan pokok yang menimbulkan perdebatan, antara lain mengenai komposisi saham paling sedikit 20% (dua puluh persen) yang dianggap belum mencerminkan kedaulatan sektor pertambangan Negara sebagaimana amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945, yaitu negara sebagai penguasa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya hanya memiliki hak kepemilikan saham sebesar paling sedkit 20% (dua puluh persen). Padahal dalam Pasal 4 UU No.4 Tahun 2009 mengatur bahwa mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar – besar  kesejahteraan rakyat.

       Secara filosofis, terdapat perbedaan makna antara “penguasaan” dan “pemilikan”, sebagaimana dalam putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2010 tentang Minyak dan Gas Bumi, bahwa: “Interpretasi Pasal 33 UUD 1945 mengenai “penguasaan” dengan penguasaan negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bukan semata-mata pemilikan. Pemilikan adalah konsep perdata, sedangkan penguasaan adalah konsep tata negara. Di dalam konsep menguasai tersebut tercakup pengawasan, pemilikan, pengelolaan dan sebagainya. Itu merupakan kebijakan negara. Yang penting adalah menentukan bagaimana kebijakan mengenai teknis penguasaan yang tergantung  kepada komoditinya. Apakah suatu komoditi penting bagi negara atau menguasai hidup orang banyak atau tidak tergantung kondisi, situasi dan perkembangan zaman. Jadi dapat saja berubah. Misalnya migas kalau suatu hari nanti ada penggantinya jauh lebih hemat dan ramah lingkungan boleh jadi migas tidak dianggap penting lagi bagi negara atau tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak. Berikutnya adalah bagaimana cara menguasainya. Yang penting adalah cara yang tidak merubah status menguasai itu sendiri. Misalnya pemilikan, pemilikan adalah salah satu bentuk penguasaan, tetapi tidak harus 100 persen, bisa saja 25 persen  jika 25 persen tersebut berada pada posisi menguasai. Sebaliknya walaupun 49 persen tetapi menentukan direktur saja tidak bisa, berarti tidak berkuasa. Jadi konsep menguasai jelas sekali. Jangan sampai ketentuan konstitusi diplesetkan “Bumi dan air dan segala kekayaan alam yang terkandung  di dalamnya dikuasai oleh negara dan dijualbelikan dengan harga internasional, dikuasai oleh negara dan dijualbelikan dengan rakyat dengan harga internasional untuk sebesar-besar kemakmuran pejabat negara.”Di sisi lain harus disadari bahwa negara ini sudah terintegrasi oleh ekonomi dunia. Seorang negarawan harus pandai-pandai melihat dan menilai dari banyak aspek. Jangan hanya melihat dari satu kacamata teori ekonomi saja. Pasal 33 UUD 1945 janganlah  dipahami secara kaku. Pasal 33 UUD 1945 tidak anti privatisasi dan tidak juga anti swastanisasi. State hanya salah satu domain saja dari 3 (tiga) domain yang ada, yaitu statecivil society, dan market. Hakim harus adil  di tengah-tengahnya, tidak bisa hanya memihak negara dalam pengertian sempit, begitu juga civil society, tidak juga berpihak kepada market. Ketiganya harus sama-sama kuat saling mengimbangi. Dalam sistem demokrasi moderen ketiganya  saling menunjang dan harmoni. Dengan begitu demokrasi tumbuh sehat, dan di tengah demokrasi yang sehat kesejahteraan  sosial-pun tumbuh”.

       Dengan demikian konsep “penguasaan” mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang mengusai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan tersebut sangat erat kaitannya dengan tujuan dari penguasaan untuk kemakmuran rakyat. Keterkaitan penguasaan oleh negara untuk kemakmuran rakyat, menurut Bagir Manan akan mewujudkan kewajiban negara dalam hal:

  1. segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat;
  2. melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat;
  3. mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknnya dalam menikmati kekayaan alam.

       Secara riil, bentuk penguasaan oleh negara tersebut dapat dimanifestasi dari adanya pola pemberiaan izin dari negara (pemerintah) kepada pihak lain untuk dapat memanfaatkan suatu sumber daya alam yang dikuasai negara melalui rezim perizinan. Pemberian izin tersebut bukan berarti suatu penguasaan oleh negara kemudian beralih kepada penguasan oleh bukan negara, namun dengan rezim perizinan memperjelas kedudukan negara (pemerintah) sebagai entitas yang memiliki kekuasaan terhadap penguasaan sumber daya alam.

       Sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UU No. 4 Tahun 2009, IUP diberikan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota. Pemberian izin tersebut memperkuat kedudukan Negara sebagai “penguasa” sumber daya alam.  Selain itu, bentuk penguasaan oleh negara terhadap sumber daya alam mineral dan batubara sebagaimana diulas sebelumnya bentuk divestasi saham pemegang izin usaha pertambangan asing kepada peserta Indonesa. Karakteristikan penambangan mineral dan batubara yang high costhigh technology, high risk memang mengharuskan perusahaan asing untuk dapat pula dalam kegiatan usaha pertambangan di Indonesia. Modal besar, teknologi tinggi, serta kesiapan atas kerentanan resiko masih belum banyak dimiliki oleh perusahaan nasional, sehingga mau tidak mau perusahaan asing dapat melakukan kegiatan penambangan mineral dan batubara, sehingga selain menembus kesulitan modal dan teknologi, maka potensi tambang yang ada tidak dibiarkan saja tanpa pengelolaan sehingga menjadi “silent trove” namun dapat menjadi penerimaan negara serta terjadinya alih teknologi guna mendukung teknologi dalam negeri.

       Guna mengembalikan penguasaan dan pemilikan mineral dan batubara tersebut dibentuklah konsep pengalihan kembali atau divestasi saham dari perusahaan asing tersebut kepada peserta Indonesia. Melalui pengaturan 5 (lima) tahu setelah berproduksi memungkinkan pelaku usaha asing mendapat keuntungan secara penuh selama 5 tahun awal sebelum didivestasikan sahamnya. Selain itu, peserta Indonesia (Pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan swasta nasional) tidak serta merta menerima pengalihan saham secara cuma-cuma, saham yang ditawarkan tersebut tentunya dibeli sesuai dengan mekanisme pasar.

       Sebagaimana dalam PP No. 24 Tahun 2012 bahwa dalam rangka memberi kesempatan lebih besar kepada peserta Indonesia untuk lebih berpartisipasi dalam kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, perlu mewajibkan modal asing untuk mengalihkan sebagian sahamnya kepada peserta Indonesia, Pemegang IUP dan IUPK dalam rangka penanaman modal asing, setelah 5 (lima) tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya secara bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sahamnya paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) dimiliki peserta Indonesia. Perubahan jumlah saham yang ditawarkan dari semula paling sedikit 20% (dua puluh persen) menjadi paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) merupakan bentuk semangat dari Pemerintah untuk memberikan partisipasi kebih besar kepada peserta Indonesia, selain bahwa secara filosofis memuat kepentingan agar penguasaan serta kedaualatan sektor pertambangan  mineral dan batubara berada di tangan Negara. Selain itu, diperlukan kebijakan yang tegas untuk menjamin pengusahaan batubara  kedepan, misalnya penguatan pengawasan tambang terkait berpindahnya mekanisme pengawasan ke daerah, penanganan masalah lingkungan, serta tindakan tegas terhadap penambangan tanpa ijin (PETI) yang selalu saja menjadi masalah laten.

       Selain itu, untuk memperjelas mekanisme persentase penawaran yang dalam PP No. 23 Tahun 2010 belum diatur makan dalam PP No.24 Tahun 2012 hal tersebut diatur. Kepemilikan peserta Indonesia dalam setiap tahun setelah akhir tahun kelima sejak produksi tidak boleh kurang dari presentase sebagai berikut: tahun keenam 20% (dua puluh persen); tahun ketujuh 30% (tiga puluh persen); tahun kedelapan 37% (tiga puluh tujuh persen);  tahun kesembilan   44%   (empat puluh empat persen) tahun kesepuluh 51 % (lima puluh satu persen) dari jumlah seluruh saham. Dengan demikian, tidak terjadi kekosongan pengaturan mengenai tahapan waktu pengaturan sebagaimana dalam PP No. 23 Tahun 2010 belum diatur.

        Namun demikian, terdapat persoalan pula dari rumusan tersebut, yaitu bagaimana bila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah berproduksi komoditas tambang yang diusahakan telah habis terlebih dahulu sebelum sahamnya dialihkan kepada peserta Indonesia. Tentunya akan menjadi persoalan tersendiri, terutama apabila dengan sengaja perusahaan tambang asing tersebut memproduksi komoditas tambangnya secara besar-besaran dalam 5 (lima) tahun masa produksi sebelum dikenakan kewajiban divestasi saham. Persoalan ini harus ditelaah dulu secara ilmu pertambangan, sehingga apabila mungkin persoalan ini menjadi sesuatu yang mungkin, maka sebaiknya segera pula dicarikan solusi hukumnya.

       Lahirnya PP No. 24 Tahun 2012 menjadi secercah harapan bagi beberapa persoalan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, selain permasalahan divestasi saham, PP ini pun mengatur menganai penataan kembali  pemberian IUP untuk mineral bukan logam dan batuan; tata cara permohonan IUP perpanjangan dalam bentuk IUP terhadap pemegang Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara sehingga memberikan kepastian hukum. Semoga dengan lahirnya PP ini dapat menjadi instrument bagi potensi mineral dan batubara untuk dapat sebesar-besar kemakmuran rakyat[33].

ad.2.  PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM USAHA PERTAMBANGAN

       Penegakan  hukum  berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut[34].  Kalau warga  masyarakat sudah mengetahui hak – hak dan kewajiban – kewajiban mereka, maka mereka juga akan mengetahui aktivitas – aktivitas penggunaan upaya – upaya hukum untuk melindungi, memenuhi dan mengembangkan kebutuhan – kebutuhan mereka dengan aturan yang ada. Hal itu semua biasanya dinamakan kompetensi hukum yang tidak mungkin ada, apabila warga masyarakat:

  1. tidak mengetahui atau tidak menyadari, apabila hak – hak mereka dilanggar atau terganggu;
  2. tidak mengetahui akan adanya upaya – upaya hukum untuk melindungi kepentingan – kepentingannya;
  3. tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya – upaya hukum karena faktor – faktor keuangan, psikis, sosial atau politik;
  4. tidak mempunyai pengalaman menjadi anggota organisasi yang memperjuangkan kepentingan – kepentingannya;
  5. mempunyai pengalaman – pengalaman kurang baik di dalam proses interaksi dengan pelbagai unsur kalangan hukum formal[35].

Oleh karena hukum berasal dari masyarakat  dan hidup serta berproses dalam masyarakat, maka pembaharuan hukum tidak mungkin dilepaskan secara mutlak dari masyarakat. Ini antara lain berarti,  bahwa yang harus dihadapi adalah kenyataan – kenyataan sosial dalam arti yang luas[36]. Walaupun hukum datangnya dari  “atas”, akan tetapi sumbernya adalah tetap masyarakat. Dan tidak pula boleh dilupakan, bahwa kategori masyarakat yang membentuk hukum, juga mempunyai kepentingan – kepentingan, keadaan ini merupakan suatu gejala yang secara sosiologis adalah wajar. Masalahnya bagaimana mengusahakan agar konflik  dapat menghasilkan keadaan yang positif. Disinilah letak salah satu fungsi hukum; sebab, konflik merupakan gejala atau proses yang tidak mungkin dihilangkan  (mungkin pada suatu waktu dianggap telah hilang, karena konflik tadi sifatnya tersembunyi)[37].

Di dalam pembangunan yang berhasil, ikut sertanya masyarakat yang luas bukan hanya di dalam mengawasi aparat pemerintahan seperti birokrasi pemerintahan. Berkenaan dengan ini, apabila kita bebicara mengenai pembangunan sesungguhnya yang diperbincangkan ialah keterlibatan keseluruhan masyarakat sebagai sistem terhadap masalah yang dihadapinya dan pencarian jawaban bagi masalah tersebut. Persoalan motivasi, nilai, maksud dan tujuan, seperti juga vitalitas sebagai suatu bangsa, dianggap penting. Lalu kalau kita memperbincangkan pembangunan ekonomi, maka kita bukan hanya membicarakan  mengenai pencapaian tujuan ekonomi, penyempurnaan sistem ekonomi, atau menciptakan sistem modernisasi, sistem politik yang berkembang, akan tetapi kita amat terikat di dalam proses pembentukan masyarakat yang baru. Maka sesungguhnya pembangunan ekonomi melibatkan semua perubahan yang mungkin diselenggarakan di dalam masyarakat. Sebab sebagai suatu sistem, perubahan ekonomi sukar berjalan dengan serasi dan bergerak kepada tujuan ekonomi itu sendiri kalau tidak diimbangi oleh keseluruhan perubahan di dalam masyarakat yang pada tahap pertama merupakan persyaratan bagi perubahan ekonomi[38].

Setiap masyarakat memerlukan suatu mekanisme pengendalian sosial agar segala sesuatunya berjalan dengan tertib. Yang dimaksud dengan mekanisme pengendalian sosial (mechanisms of social control) ialah segala seuatu yang dilakukan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa para warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kaedah – kaedah dan nilai – nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan (J.S. Roucek 1951: 3). Namun permasalahan disini adalah bagaimana untuk menentukan bahwa salah satu tipe pengendalian sosial tersebut dapat dinamakan hukum. Dengan perkataan lain, persoalannya kembali lagi pada masalah membedakan hukum dari kaedah – kaedah sosial lainnya, persoalan mana telah lama membingungkan para antropoloog dan sosioloog.  Walaupun kesulitan – kesulitan tetap ada, namun ada suatu konsensus bahwa semua masyarakat mempunyai suatu perangkat kaedah – kaedah yang dapat dinamakan hukum[39].

Lembaga – lembaga kemasyarakatan terdapat di dalam setiap masyarakat, oleh karena setiap masyarakat tentu mempunyai kebutuhan – kebutuhan pokok yang apabila dikelompok – kelompokkan, terhimpun menjadi lembaga – lembaga kemasyarakatan di dalam pelbagai bidang kehidupan. Dengan demikian maka suatu lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan daripada kaedah – kaedah dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, maka lembaga – lembaga kemasyarakatan mempunyai beberapa fungsi, yaitu:

  1. Untuk memberikan pedoman kepada para warga masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah – masalah masyarakat yang terutama menyangkut kebutuhan – kebutuhan pokok;
  2. Untuk menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan;
  3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social control)[40].

Bagi para ahli atau sarjana hukum, maka hubungan antara struktur sosial dengan hukum memberikan pengertian yang lebih mendalam tentang lingkungan sosial – budaya di mana hukum berlaku. Disamping itu merekapun mendapat kesempatan untuk menelaah dalam keadaan – keadaan apakah hukum merupakan dependent variable dan bilamanakah hukum merupakan independent variable di dalam hubungannya dengan gejala – gejala sosial lainnya. Dengan mempelajari struktur  sosial diketahui pula bahwa disamping hukum, terdapat pula alat – alat pengendalian sosial lainnya yang di dalam keadaan – keadaan tertentu lebih efektif daripada hukum[41].

Hukum sebagai sarana pengendali sosial, tidak akan efektif apabila  tidak dapat mengakomodir kepentingan masyarakat. Dalam kaitan ini, dengan diberlakukannya Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang diyakini akan dapat memberikan nilai tambah dan manfaat lainnya kepada pemerintah, akan tetapi  seberapapun besarnya kontribusi yang diperoleh oleh pemerintah dari  sektor pertambangan mineral dan batubara, apabila dalam kenyataannya tidak memberikan hasil dan manfaat yang nyata, terutama bagi komunitas lokal di sekitar wilayah tambang  maka keberlakuan Undang – Undang Minerba tersebut tidak ada arti bagi masyarakat, dan sebaliknya akan terjadi ketidakpuasan di komunitas lokal yang dapat menyebabkan kekacauan (chaos) bahkan dapat menimbulkan dampak negatif misalnya  masyarakat akan menutup wilayah operasi pertambangan tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan sebuah konsep di dalam kalangan industri  pertambangan mineral dan batubara untuk memberikan kontribusi bagi pengembangan daerah dan masyarakat lokal (local community) untuk terciptanya pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan menciptakan kemandirian masyarakat. Konsep tersebut adalah Tanggung jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility). Implementasi dari CSR adalah melaksanakan program Community development (Comdev) sebagai bagian dari CSR. Prinsip Comdev sektor pertambangan adalah pembangunan yang berkelanjutan dimana aspek sosial diimplementasikan dalam bentuk Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat.

Secara implisit, kewajiban dan tanggung jawab sosial tersebut telah diataur  pada Undang – Undang  Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas pasal 74 ayat (1) dan ayat  (2). Begitupula  kewajiban tentang tanggung jawab sosial, khsusnya subsektor pertambangan umum telah telah ditegaskan dalam     Undang – Undang  Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pasal 108 dan pasal 109 yang mewajibkan pemegang IUP dan IUPK untuk menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Ketentuan mengenai  detail dan teknis dari pelaksanaan Comdev termaktub pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara,  pasal 106 sampai dengan pasal  109.

Pelaksanaan Comdev yang dilakukan oleh perusahaan (corporate) perlu mendapat pembinaan dan pengawasan baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sehingga tepat pada sasaran. Berkenaan dengan hal tersebut Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah  Nomor 55 Tahun 2010 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam ketentuan  pasal Pasal 13 ayat 2, Pasal 16 huruf  k dan huruf m, pasal 31, dan pasal 32 dijelaskan mengenai pengawasan dan pembinaan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat.

Diharapkan perusahaan pertambangan dapat merealisasikan  Comdev  dengan baik dalam rangka menciptakan aspek kemandirian bagi masyarakat, dan bukan ketergantungan. Sehingga tujuan dan cita-cita konsep pembangunan berkelanjutan benar – benar  dapat tercapai dan  memberikan kontribusi optimal terhadap perekonomian Indonesia secara keseluruhan dan daerah khususnya. Selain itu juga, dengan adanya kemandirian ekonomi dan masyarakat baik ditingkat nasional maupun lokal , walaupun tambang telah ditutup namun ekonomi tetapt berjalan. Dengan demikian, tujuan mewujudkan negara kesejahteraan melalui subsektor pertambangan mineral dan batubara dapat tercapai.

       Selain itu, pemberdayaan masyarakat berkaitan dengan  pengelolaan tambang mineral dan batubara diatur pula dalam Undang – Undang Minerba yang berkenaan dengan pembagian izin usaha pertambangan,  yaitu :

  1. Daerah tambang yang luasnya kurang dari 500 Ha, izin usaha pertambangan diatur ditingkat Kabupaten dan Kota dalam hal ini Bupati / Walikota;
  2. Daerah tambang yang luasnya lebih dari 500 Ha, izin usaha pertambangan diatur Propinsi dalam hal ini Gubernur;
  3. Apabila daerah tambang berada di 2 propinsi maka izin usaha pertambangan diatur ditingkat propinsi dalam hal ini Gubernur;

Selanjutnya  dalam pelaksananaannya izin usaha pertambangan dapat dimiliki oleh :

  1. Instansi pemerintah yang ditunjuk menteri;
  2. Perusahaan negara;
  3. Perusahaan daerah;
  4. Perusahaan dengan modal bersama antar negara dan daerah;
  5. Koperasi;
  6. Badan perseorangan.

       Dengan memberikan peluang / kesempatan  kepada koperasi dan badan perseorangan untuk  memiliki Izin Usaha Pertambangan  (IUP), maka dapat dikatakan bahwa Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memberi respon untuk pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam mineral dan batubara. Secara umum dapat dikatakan, bahwa  pemberdayaan masyarakat  adalah pengikutsertaan peran masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemilikan usaha pertambangan mineral dan batubara. Pemberdayaan Masyarakat  adalah upaya pemberian fasilitas, dorongan atau bantuan kepada masyarakat lokal agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan sumber daya alam. Pengertian tersebut, secara eksplisit dirumuskan dalam pasal 1 Angka 28 UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, yang menyebutkan Pemberdayaan Masyarakat  adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya.

      Begitu pula, pengelolaan lingkungan bagi industri di bidang usaha tambang batubara merupakan hal terpenting dari suatu kegiatan usaha yang harus dilakukan agar industri tetap berjalan dan berkelanjutan. Pembangunan industri yang berkelanjutan mencakup tiga aspek yaitu lingkungan (environment), ekonomi (economy) dan sosial (social) / kesempatan yang sama bagi semua orang (equity) yang dikenal sebagai 3E. Aspek lingkungan tidak berdiri sendiri namun sangat terkait dengan dua aspek lainnya. Dalam kegiatan internal industri, peluang untuk memadukan aspek lingkungan dan ekonomi sangat besar, tergantung cara mengelola lingkungan dengan bijak dan menguntungkan. Faktor sosial yang sebagian besar menyangkut masyarakat sekitar atau di luar industri juga sangat terkait dalam pengelolaan lingkungan[42].

       Secara ringkas dapat diuraikan bahwa untuk memenuhi amanat pasal 33 ayat (3) UUD 1945, telah diterbitkan Undang – Undang  Nomor  11 Tahun1967 Tentang  Ketentuan – Ketentuan  Pokok Pertambangan. Dengan mempertimbangkan tuntutan nasional dan internasional, serta untuk  menghadapi tantangan lingkungan strategis dan menjawab sejumlah permasalahan maka disusunlah peraturan baru sebagai pengganti undang – undang tersebut  yaitu Undang – Undang  Nomor 4 Tahun  2009 Tentang  Pertambangan Mineral dan Batubara, yang didukung oleh  Peraturan Pemerintah  Nomor  22 Tahun  2010 Tentang  Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam ketentuan pasal 2 Undang – Undang Minerba tersebut ditegaskan bahwa pertambangan mineral dan / atau batubara dikelola berdasarkan asas: a). manfaat, keadilan, dan keseimbangan; b). keberpihakan kepada kepentingan bangsa; c). partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas; dan d). berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa dalam  rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan pengelolalaan mineral dan batubara adalah antara lain:  a). menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing; b). mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional; c). meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

C.  KEBIJAKAN LEGISLASI PEMERINTAH DALAM MEWUJUDKAN NEGARA KESEJAHTERAAN MELALUI PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM MINERAL DAN BATUBARA

Seringkali dikatakan, bahwa pembangunan merupakan suatu proses yang dikaitkan dengan  pandangan – pandangan yang optimistis, yang berwujud dalam usaha – usaha untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik daripada apa yang telah dicapai. Artinya, pembangunan merupakan perubahan terencana dan terarah yang antara lain mencakup aspek – aspek politik, ekonomi, demografi, psikhologi, hukum, intelektual maupun teknologi. Taraf kehidupan tadi yang merupakan tujuan pembangunan, mencakup serangkaian cita – cita yang menjadi ciri masyarakat modern[43].

Cita – cita tersebut, antara lain mencakup cita – cita  sebagai berikut:

  1. Rasionalistis; artinya, kebijaksanaan – kebijaksanaan yang diambil harus didasarkan pada pertimbangan – pertimbangan yang rasionil. Kebijaksanaan – kebijaksanaan tersebut hendaknya didasarkan pada fakta nyata, sehingga nantinya merupakan suatu kerangka yang sinkron;
  2. Adanya rencana pembangunan dan proses pembangunan. Artinya, adanya keinginan untuk selalumembangun  yang didasarkan pada ukuran – ukuran kebijaksanaan yang terkoordinir secara rasional, didalam suatu sistem;
  3. Peningkatan produktivitas;
  4. Peningkatan standar kehidupan;
  5. Kedudukan, peranan dan kesempatan yang derajat di bidang sosial serta ekonomi;
  6. Pengembangan lembaga – lembaga kemasyarakatan dan sikap – sikap dalam masyarakat;
  7. Konsolidasi nasional;
  8. Kemerdekaan nasional[44].

Sejarah Indonesia mencatat, proses divestasi perusahaan yang melibatkan Pemerintah Daerah (Pemda) dan swasta sebagai penyokong dana selalu berakhir dengan kecilnya porsi saham Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah selalu memiliki posisi tawar (bargaining position) yang lemah dengan swasta.

       Pelemahan ekonomi yang ditandai jatuhnya nilai tukar rupiah, kenaikan inflasi, penurunan pertumbuhan ekonomi hingga defisit transaksi berjalan, telah mendorong pemerintah untuk menstabilkan kondisi makroekonomi melalui empat paket kebijakan ekonomi. Salah satu paket kebijakan tersebut adalah relaksasi sektor mineral-batu bara. Tujuannya adalah meningkatkan penerimaan negara dari mineral – tambang, meningkatkan ekspor, dan meraih devisa guna mengurangi tekanan defisit perdagangan[45].

       Ada beberapa insentif yang diberikan dalam rangka relaksasi sektor mineral dan batu bara. Pertama, menaikkan royalti batubara untuk perusahaan pemegang izin usaha pertambangan pada 2014. Kedua, pengusaha boleh mengekspor bijih mineral pada tahun 2014 yang hanya berlaku bagi pengusaha yang serius membangun smelter, antara lain sudah melaksanakan studi kelayakan ataupun mulai membangun smelter[46].

       Pemegang izin usaha pertambangan yang memenuhi ketentuan diberikan rekomendasi persetujuan ekspor produk pertambangan berdasarkan permohonan tertulis. Pemegang izin usaha pertambangan (IUP) mineral yang telah mendapat persetujuan ekspor diberikan relaksasi untuk meningkatkan volume ekspor produk pertambangan sesuai revisi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya Tahun 2013. Hal itu berlaku sampai 12 Januari 2014, batas waktu di berlakukannya kewajiban pengolahan di dalam negeri[47].

       Langkah pemerintah merelaksasi mineral-tambang dengan menaikkan royalti batu bara untuk perusahaan pemegang izin usaha pertambangan pada 2014 dan pengusaha boleh mengekspor bijih mineral pada tahun 2014, akan memberi ruang bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dan devisa. Melunaknya pengendalian ekspor mineral akan memberi ruang untuk pengusaha melakukan ekspor karena pemerintah perlu devisa untuk mengatasi defisit neraca perdagangan. Meski demikian, ketentuan ini menjadi tidak produktif bagi upaya pemerintah meningkatkan nilai tambah mineral melalui hilirisasi industri pengolahan mineral sesuai dengan yang digariskan dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Pemerintah telah mematok tahun 2014 sebagai upaya meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi industri pengolahan mineral[48].

       Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara mengamanatkan pengolahan dan pemurnian harus dilakukan di dalam negeri paling lambat lima tahun setelah undang-undang terbit. Artinya sejak 2014, ekspor mineral mentah sepenuhnya dilarang. Ketentuan itu diperkuat Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 20 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 07 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.

       Pemerintah seolah memanfaatkan kesempatan belum siapnya pengusaha membangun smelter dalam rangka hilirisasi industri pengolahan mineral, dengan merelaksasi ekspor mineral. Memang harus diakui selama ini kesiapan membangun smelter tidak kunjung terealisasi. Tentu saja melunaknya sikap pemerintah ini patut disayangkan karena memberi kesan pemerintah tidak konsisten dalam upaya pengendalian ekspor bijih mineral guna meningkatkan nilai tambah produk mineral. Kebijakan relaksasi sektor mineral dan batubara tidak sejalan dengan semangat hilirisasi sektor pertambangan yang digalakkan pemerintah sejak dua tahun lalu. Dengan relaksasi ini diperkirakan laju eksploitasi mineral mentah makin meningkat. Meski pemerintah berhasil meningkatkan volume ekspor mineral dan penerimaan devisa negara dan menekan defisit perdagangan, namun di sisi lain justru mengorbankan semangat kemandirian dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya mineral dan batu bara, sesuai dengan amanat konstitusi kita[49].

       Pemerintah Indonesia memandang bahwa pengusahaan batubara masih diperlukan untuk menunjang pembangunan, sehingga pengembangan tambang batubara masih akan terus berlanjut. Pelaksanaan UU Mineral dan Batubara yang baru ditujukan untuk mendorong realisasi hal itu. Di bawah ini adalah poin – poin penting dalam UU tersebut:

  1. Selain menteri, penerbitan ijin pengusahaan batubara dapat dilakukan oleh gubernur, bupati / walikota. (Menyesuaikan dengan otonomi daerah);
  2. Kewajiban meningkatkan nilai tambah hasil pertambangan di dalam negeri, dalam hal ini adalah kewajiban membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian hasil tambang (Belum ada kewajiban untuk membangun fasilitas prepasi batubara/coal preparation plant);
  3. Kewajiban bagi pengusaha pertambangan untuk melakukan pembangunan daerah (community development) dan penanganan lingkungan yang terkait dengan pelaksanaan pertambangan;
  4. Pemberian wewenang kepada pemerintah untuk mengatur jumlah produksi, volume ekspor, serta harga batubara. Pemberlakukan kewajiban suplai untuk kebutuhan domestic (Domestic Market Obligation/ DMO) dan regulasi harga batubara (Indonesia Coal Price Reference / ICPR);
  5. Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang memprioritaskan BUMN dan perusahaan dalam negeri untuk melakukan penambangan di Wilayah Pencadangan Negara (WPN) diterbitkan oleh pemerintah pusat;
  6. Wewenang penyelidikan memasukkan unsur kepolisian dan pejabat publik. Aturan hukum menjadi lebih keras, dari yang bersifat toleran menjadi lebih tegas, serta memungkinkan hukuman pidana bagi badan hukum[50].

       Di Indonesia, batubara memberikan kontribusi yang besar terhadap pemasukan negara yang dapat dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, yaitu:

  1. Royalti dan pajak lainnya dari batubara merupakan sumber pendapatan yang penting bagi negara maupun daerah;
  2. Ekspor batubara menjadi sumber devisa yang penting;
  3. Mendorong terciptanya lapangan kerja di daerah serta kemajuan bagi daerah.

Berdasarkan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pengelolaan batubara harus berpihak pada kepentingan bangsa. Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar – besarnya kesejahteraan rakyat. Bila diamati keadaan saat ini, perlu dipertanyakan sejauhmana amanat Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang terkait pengelolaan mineral dan batubara dilaksanakan dengan baik, misalnya penerapan asas yang menekankan pada keberpihakan terhadap kepentingan bangsa.

Berbagai sumber potensial pendapatan negara terus didorong, antara lain dari subsektor mineral dan batubara. Mineral dan batubara diperlakukan sebagai komoditi dagang. Dengan demikian, apabila Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 ditelaah lebih dalam  maka manfaat besar dari pertambangan mineral dan batubara seharusnya didapatkan dihilirnya, melalui proses nilai tambah dan efek gandanya. Nilai tambah batubara tentunya banyak dapat dikembangkan. Saat ini yang sudah terbukti yaitu sebagai energi primer untuk membangkitkan tenaga listrik. Maka yang harus diperdagangkan sebaiknya listriknya, bukan bahan bakarnya.

 Dalam rangka mencapai tujuan untuk mewujudkan negara kesejahteraan melalui pengelolaan pertambangan mineral dan batubara maka pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang mineral dan batubara. Berkaitan dengan tugas tersebut Dirjen Minerba mempunyai fungsi:

  1. perumusan kebijakan di bidang mineral dan batubara;
  2. pelaksanaan kebijakan di bidang mineral dan batubara;
  3. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang mineral dan batubara;
  4. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang mineral dan batubara; dan
  5. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara.

Sehubungan dengan optimalisasi fungsi pemerintah tersebut pengelolaan sumber daya alam mineral dan batubara maka harus segera dilakukan koordinasi dan sinkronisasi peraturan – peraturan terkait sektor pertambangan antar kementerian dan / atau antar Pusat dan Daerah. Selain itu, Segera dilakukan penyempurnaan peraturan perundang – undangan dan melengkapi peraturan pelaksanaan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, untuk mewujudkan kepastian hukum.

Dengan menyadari bahwa negara Indonesia memiliki potensi yang sangat besar di bidang sumber daya alam mineral dan batubara, maka sangat diyakini bahwa apabila kekayaan potensial tersebut dikelola dengan seksama  melalui kebijakan legislasi sesuai good governance maka pasti dapat memberikan kontribusi yang sangat significant untuk mewujudkan negara kesejahteraan. Dalam hal tersebut akan terjadi pemberdayaan masyarakat dan  peningkatan  income  per capita masyarakat.

Kebijakan – kebijakan di bidang legeslasi tersebut diharapkan dapat memajukan dan mengembangkan subsektor pertambangan mineral dan batubara Indonesia yang akan semakin mingkat kontribusinya terhadap pembangunan nasional. Selain itu, prinsip kebijakan legeslasi pemerintah  harus mengutamakan kepentingan nasional dan prinsip berkelanjutan (sustainable), serta kebijakan pengusahaan mineral dan batubara dikelola berdasarkan asas manfaat, keadilan, keseimbangan dan bersifat strategis sehingga dapat menguntungkan bagi investor, terutama mendatangkan manfaat bagi negara untuk mensejahterakan rakyat sesuai amanat Undang – Undang Dasar 1945 dan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

BAB II
ANALISA   YURIDIS  UNDANG – UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
DITINJAU DARI ASPEK HUKUM TATANEGARA

A. PERSPEKTIFYURIDIS  UNDANG – UNDANG NOMOR 4 TAHUN  2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

Negara  Indonesia sangat kaya  dengan hasil tambang mineral dan batubara. Bahkan untuk beberapa barang tambang tertentu, Indonesia merupakan pemasok utama di seluruh dunia. Pertambangan Indonesia merupakan aset (kekayaan) negara yang harus dilindungi dan dikembangkan agar pemanfaatannya  dapat berkelanjutan untuk jangka waktu yang sangat lama. Oleh karena itu, dengan kerjasama dari seluruh stake holder maka Indonesia dapat memulai era baru industri tambang nasional yang membawa kemakmuran / kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebelum diberlakukannya Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, maka undang – undang yang mengatur mengenai pertambangan mineral dan batubara di Indonesia adalah Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan. Alasan digantinya Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan, dengan    Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah oleh karena undang – undang tersebut dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan tuntutan masyarakat. Meskipun telah diundangkan sejak tahun 2009, akan tetapi  Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara baru kemudian tanggal 12 Januari 2014 dinyatakan mulai berlaku.

Pada saat Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara  dinyatakan mulai berlaku, banyak pihak yang melakukan aksi penolakan. Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) secara tegas menolak pelarangan ekspor bijih mineral karena dinilai menguntungkan pihak asing. Bahkan menuduh pemerintah tak berpihak pada rakyat[51].

Berdasarkan studi yang telah dilakukan pihak Apemindo dan City Research disebut, bila pemerintah SBY tetap memaksakan menerapkan larangan bijih mineral ekspor, maka keputusan tersebut bakal berdampak pada kian terpuruknya ekonomi dalam negeri. Tak cuma terpuruknya ekonomi, Aspemindo juga hakul yakin kalau regulasi minerba bakal berbuntut pada perusahaan tambang nasional dan pertambangan kecil yang gulung tikar lantaran tidak memiliki cukup modal untuk membiayai pembangunan smelter[52].

        Masyarakat membutuhkan tatanan yang teratur  dan ajeg dan membutuhkan stabilitas, karena stabilitas menjamin ketertiban tatanan  dalam masyarakat dan menjamin kepastian hukum.  Dalam membentuk undang – undang, pembentuk undang – undang harus memperhatikan hal ini. Sebaliknya, tidak boleh dilupakan bahwa hukum merupakan  perlindungan kepentingan manusia, sedangkan kepentingan manusia itu selalu berkembang, dinamis, baik jenis maupun jumlahnya. Dengan demikian, hukum harus dinamis pula agar dapat mengikuti perkembangan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia yang terus berkembang itu selalu terlindungi. Di satu pihak, masyarakat menghendaki stabilitas yang berarti kemandegan, di pihak lain hukum harus dinamis, harus berkembang untuk selalu dapat mengikuti perkembangan kepentingan manusia atau perkembangan masyarakat. Hukum itu historisch bestimmt, merupakan fenomena sejarah. Pengertian perkembangan itu sendiri mengandung arti stabilitas dan sekaligus juga dinamika  atau perubahan. Jadi, pembentuk undang – undang di satu pihak harus memperhatikan stabilitas demi kepastian hukum, di pihak lain pembentuk undang – undang harus berusaha agar undang – undang tidak ketinggalan dengan perkembangan kepentingan manusia dan masyarakat. Stabilitas dan dinamika pada dasarnya bertentangan satu sama lain. Pembentuk undang – undang harus pandai – pandai menciptakan keseimbangan antara stabilitas dan dinamika.  Dalam usahanya melindungi kepentingan manusia dan masyarakat dalam bentuk peraturan perundang – undangan, dalam memilih kepentingan mana yang harus didahulukan, serta sanksi yang akan diterapkan dengan mencegah adanya konflik kepentingan, dan akhirnya dalam merumuskannya dalam bentuk peraturan hukum atau undang – undang yang bersifat sederhana, jelas, dan seberapa dapat berlaku untuk kurun waktu yang lama dan jangan sampai terjadi konflik dengan undang – undang yang telah ada, merupakan seni – seni membentuk undang – undang[53].

       Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dalam pasal 2 merumuskan secara eksplisit asas – asas hukum pertambangan mineral dan batubara, yang meliputi:

  1. Asas manfaat;
  2. Asas keadilan;
  3. Asas keseimbangan;
  4. Asas keberpihakan kepada kepentingan bangsa;
  5. Asas partisipatif;
  6. Asas transparansi;
  7. Asas akuntabilitas; dan
  8. Asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

  Didalam  teori – teori hukum pada umumnya dibedakan antara tiga macam kelakukan atau hal berlakunya kaedah hukum, yaitu:

  1. Kelakuan atau hal berlakunya secara yuridis, yang mengenai hal ini dapat anggapan – anggapan, sebagai berikut:
  2. Hans Kelsen yang menyatakan bahwa kaedah hukum mempunyai kelakukan yuridis, apabila penentuannya berdasarkan kaedah yang lebih tinggi tingkatnya; ini berhubungan dengan teori “Stufenbau” dari Kelsen[54].
  3. W. Zevenbergenmenyatakan, bahwa suatu kaedah hukum mempunyai kelakukan yuridis, jikalau kaedah tersebut, “op de vereischte wijze is tot stand gekomen” (terjemahannya: “ … terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan”)[55].
  4. Logemann mengatakan bahwa “De norm, als oordeel, legt een dwingendverband, al is het dan geen verband van oorzakelijkheid, noch van logische noodzakelijkheid, maar van behoren. Een dwingend verband, tussen de voorwaarden, die vervuld  moeten zijn en datgene, wat daarop behoort te volgen. Of, zoals de rechtswetenschap het pleegt uit te drukken, tussen rechtsfeiten en rechtsgevolg. Het behoren, dat de band slaat tussen rechtsfeit en rechtsgevolg, legt een dwingend verband, spreekt … een gelden uit. De norm geldt”. (terjemahannya: Sebagai suatu pandangan, maka kaedah menetapkan suatu hubungan yang bersifat memaksa, walaupun bukan merupakan hubungan sebab – akibat maupun suatu keharusan yang logis, akan tetapi hubungan yang sepantasnya atau seyogya. Suatu hubungan memaksa antara syarat – syarat yang harus dipenuhi dengan apa yang seharusnya menjadi hasil / akibatnya. Atau, sebagaimana dirumuskan dalam ilmu hukum, antara peristiwa hukum dengan akibat hukum.  Hal yang sepantasnya atau seyogya yang menghubungkan peristiwa hukum dengan akibat hukum, menetapkan suatu ikatan yang bersifat memaksa, mengungkapkan suatu kelakukan. Kaedah tersebut berlaku)[56].

Inti daripada apa yang telah dikemukakan oleh Logeman adalah, bahwa secara yuridis kaedah hukum mengikat, apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya.

  1. Kelakuan sosiologis atau hal berlakunya secara sosiologis, yang intinya adalah efektivitas kaedah hukum didalam kehidupan bersama. Mengenai hal ini dikenal dua teori, yaitu:
  2. Teori kekuasaan (“Machttheorie”, “The Power Theory”)yang pada pokoknya menyatakan, bahwa kaedah hukum mempunyai kelakukan sosiologis, apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima ataupun tidak oleh warga – warga masyarakat[57].
  3. Teori pengakuan (“Anerkennungstheorie”; “The Recognition Theory”)yang berpokok  pangkal pada pendapat, bahwa kelakuan kaedah hukum berdasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka kepada siapa kaedah hukum tadi tertuju[58].
  4. Kelakuan filosofis atau hal berlakunya secara filosofis. Artinya adalah, bahwa kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita – cita hukum (rechtsidee)sebagai nilai positif  yang tertinggi (“Uberpositieven Wert”), misalnya, Pancasila, Masyarakat Adil dan Makmur, dan seterusnya.

Agar supaya berfungsi, maka kaedah hukum harus memenuhi ketiga unsur kelakuan, yaitu  berlakunya secara yuridis, sosiologis, dan filosofis. Sebab, apabila suatu kaedah hukum hanya mempunyai kelakuan yuridis belaka, maka kaedah hukum tersebut merupakan suatu kaedah yang mati (“dode regel”). Kalau suatu kaedah hukum hanya mempunyai kelakuan sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka kaedah hukum yang bersangkutan menjadi aturan pemaksa (“dwangmaatregel”). Akhirnya, apabila suatu kaedah hukum hanya mempunyai kelakuan filosofis, maka kaedah hukum tersebut hanya boleh disebut sebagai kaedah hukum yang diharapkan atau dicita – citakan (“ius constituendum”, “ideal norm”). Dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa apabila kaedah hukum tersebut diartikan sebagai patokan hidup bersama yang damai (tenang / bebas dan tertib), maka tidak boleh tidak kaedah tersebut harus mempunyai kelakuan dalam ketiga bidang tersebut[59].

Fungsi dari hukum adalah untuk mengatur hubungan antara negara atau masyarakat dengan warga – warganya dan hubungan antara warga – warga masyarakat tersebut, agar supaya kehidupan didalam masyarakat berjalan dengan tertib dan lancar. Hal ini mengakibatkan bahwa tugas hukum adalah untuk mencapai kepastian hukum (demi adanya ketertiban) dan keadilan didalam masyarakat. Kepastian hukum mengharuskan diciptakannya peraturan – peraturan umum atau kaedah – kaedah hukum yang berlaku umum. Agar supaya tercipta suasana yang aman dan tenteram didalam masyarakat, maka kaedah – kaedah termaksud harus ditegakkan serta dilaksanakan dengan tegas. Untuk kepentingan itu,  maka kaedah – kaedah hukum tersebut harus diketahui sebelumnya dengan pasti. Oleh karena itu, kaedah – kaedah hukum yang dinyatakan berlaku surut seringkali menimbulkan ketidakpastian hukum[60].

Hukum merupakan landasan pembangunan di bidang lainnya yang bermakna teraktualisasinya fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial / pembangunan (law as a tool of social engineering), instrumen penyelesaian masalah (dispute resolution), dan instrumen pengatur perilaku masyarakat (social control). Begitupun untuk konteks Indonesia, hukum telah memberikan peran penting melalui tiga fungsinya tersebut. Di era reformasi, pasca perubahan UUD 1945, strategi pembangunan hukum nasional berpedoman pada apa yang dikenal sebagai Visi dan Misi Pembangunan Nasional[61].

Yang menjadi Visi Pembangunan Hukum Nasional adalah “terwujudnya negara hukum yang adil dan demokratis melalui pembangunan sistem hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk melindungi segenap rakyat dan bangsa, serta tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Visi tersebut kemudian diimplementasikan dalam Misi Pembangunan Hukum Nasional dengan:

  1. Mewujudkan materi hukum di segala bidang dalam rangka penggantian terhadap peraturan perundang – undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat yang mengandung kepastian, keadilan, dan kebenaran dengan memperhatikan nilai – nilai hukum yang hidup dalam masyarakat;
  2. Mewujudkan budaya hukum dan masyarakat yang sadar hukum;
  3. Mewujudkan aparatur hukum yang berkualitas, profesional, bermoral, dan berintegritas tinggi; serta
  4. Mewujudkan lembaga hukum yang kuat, terintegrasi dan berwibawa[62].

Hak negara menguasai bumi berada di sepanjang wilayah kedaulatannya terdiri atas lapisan permukaan bumi dan di bawah permukaan (perut) bumi.  Berdasarkan hak menguasai tersebut dikenal adanya bermacam – macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang – orang, baik sendiri maupun bersama – sama dengan orang – orang lain serta badan – badan hukum[63].

Sehubungan dengan hak menguasai oleh negara tersebut orang atau rakyat tidak bebas untuk menggunakan bumi, air  dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta ruang angkasa. Pada prinsipnya pemerintah akan memberikan izin – izin tersebut sepanjang persyaratan – persyaratan atau prosedur yang ditetapkan telah terpenuhi[64]. Dengan demikian, persoalan penambangan tidak dapat dipisahkan dari aspek hukum agraria (hukum pertanahan) oleh karena kegiatan pertambangan berada di dalam bumi (tanah) dan untuk melaksanakan kegiatan tersebut wajib mendapat izin dari pejabat yang berwenang.

ad.1.  Konsiderans

       Konsideran selalu didapatkan dalam setiap undang – undang. Hal ini disebabkan karena dalam  “formulir”  undang – undang, yang dimuat dalam Undang – Undang No. 2 / 1950 (RIS) yang sampai lama kemudian masih diikuti dengan perubahan – perubahan yang diperlukan, dengan dicantumkannya perkataan “Menimbang ….” adanya suatu konsiderans di dalam undang – undang memang masih diharuskan[65].  Di dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia tanggal 20 Agustus 1970 Nomor 15 Tahun 1970, perkataan  “Menimbang”  ternyata tercantum juga dalam bentuk rencana undang – undang dan Peraturan Pemerintah yang dilampirkan pada Instruksi tersebut, sehingga dalam peraturan perundang – undangan negara sampai kini masih didapatkan konsiderans[66].

       Menurut Instruksi Presiden tersebut di atas yang dimuat dalam  “menimbang” ialah alasan – alasan pertimbangan pembentukan undang – undang / peraturan pemerintah, berupa konstatasi fakta – fakta secara singkat.   Menurut pendapat umum, yang dimaksud dengan konsiderans ialah pertimbangan – pertimbangan yang menggerakkan pembuat Undang – Undang untuk mengadakan undang – undang itu. Dengan demikian, maka dalam konsiderans haruslah dimuat leidmotief – leidmotief – nya  atau suatu ikhtisar dari jalan pikiran pembuat undang – undang pada waktu ia mulai membuat undang – undang itu. Dari bunyi konsiderans itu saja, orang seharusnya sudah dapat mengerti isi pokok dari Undang – Undang, sekalipun ia belum membaca ketentuan – ketentuan dalam undang – undangnya sendiri. Inilah nampaknya maksud semula dari keharusan adanya konsiderans pada tiap – tiap undang – undang[67].

       Dalam kaitannya dengan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, maka dapat dipahami maksud dari Pembuat Undang – Undang (Law Maker) dengan membuat Undang – Undang Minerba tersebut. Meskipun kenyataannya banyak pihak dari kalangan usaha pertambangan  yang menuding negatif kebijakan legislasi Pemerintah di bidang sumber daya mineral dan batubara tersebut. Pada umumnya kalangan pengusaha pertambangan beranggapan apriori, yaitu; kebijakan Pemerintah tersebut sangat keliru karena  akan mematikan industri tambang dalam negeri, atau menuding pemerintah bermufakat dengan pihak asing untuk mematikan semua perusahaan lokal tanah air.

       Menurut Poltak Sitanggang selaku Ketua Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) bahwa Indonesia adalah pemain kunci pasar global bijih mineral. Pelarangan ekspor oleh Pemerintah akan menaikkan harga bijih mineral dunia. Namun pengusaha Indonesia sendiri tidak memanfaatkan situasi ini. Produsen bijih mineral dalam negeri berpotensi kehilangan pendapatan yang sangat besar, sehingga tidak memiliki kemungkinan untuk melakukan ekspansi usaha ke sektor hilir. Kalaupun bisa bertahan, dipastikan tidak akan mendapatkan pendanaan untuk mengembangkan usaha hilir. Ekspansi sektor hilir akan didominasi para pemain asing. Mereka dapat menggunakan penerimaan dari kegiatan di luar negeri untuk mendanai pengeluaran modal untuk mengembangkan sektor hilir di Indonesia. Bahkan menurut Ketua Apemindo tersebut, Pemerintah tidak bertanggung jawab terhadap kebijakan yang dibuat. Akibat dari kebijakan tersebut, banyak perusahaan yang akan bangkrut, sehingga penggangguran  bertambah. Dampak samping berkelanjutan dari penyetopan ekspor mineral akan memukul perekonomian Indonesia[68].

       Kajian mengenai konsideran (pertimbangan) pembentukan  Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dalam hal ini sangat relevan dikaitkan dengan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). Pembentukan  Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 merupakan pelaksanaan dari perintah pasal 22A UUD 1945, yang berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut  mengenai tata cara pembentukan undang – undang diatur lebih lanjut dengan undang – undang”. Dalam menyusun suatu peraturan perundang – undangan maka yang disebutkan  dalam  konsideran (pertimbangan)  peraturan perundang – undangan tersebut meliputi; pertimbangan filosofis, pertimbangan sosiologis dan pertimbangan yuridis.

       Apabila dicermati dengan seksama konsideran dari Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:

       Pertama, pada bagian minimbang huruf a disebutkan, “bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan”.

       Konsideran pada huruf a tersebut secara substansi teiritis telah mencerminkan landasan filosofis dari nilai – nilai Pancasila sila kelima yang berbunyi,”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, dan ketentuan – ketentuan yang diatur dalam pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945. Selain itu, dalam pertimbangan tersebut terdapat pengakuan bangsa Indonesia bahwa sumber daya alam mineral dan batubara yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa sehingga harus dikelola dengan baik untuk kepentingan kemanusiaan. Bentuk pengakuan dalam pertimbangan ini merupakan refleksi dari sila pertama Pancasila yang berbunyi,”Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan sila kedua yang berbunyi, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.

       Kedua, pada bagian minimbang huruf  b disebutkan, “bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan  nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan”.

       Pertimbangan pada huruf b ini pada hakekatnya merupakan pengejawantahan dari landasan sosiologis, dimana dalam kenyataannya negara Indonesia adalah lumbung mineral dan batubara, akan tetapi selama ini penguasaan atas sumber daya alam ini belum sepenuhnya berada di tangan negara. Masyarakat belum dapat menikmati kemakmuran dari kekayaan sumber daya alam mineral dan batubara yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pembuat undang – undang beranggapan perlu dilakukan pembaharuan kebijakan legislasi di bidang sumber daya alam mineral dan batubara agar dapat memberikan nilai tambah bagi penerimaan / pendapatan negara sebagai modal untuk mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state).

       Ketiga, pada bagian minimbang huruf c disebutkan, “bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang – undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara  secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan”.

              Keempat, pada bagian minimbang huruf d disebutkan, “bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk  Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara”.

       Pertimbangan pada huruf c dan huruf d dapat dipahami sebagai landasan yuridis bagi keberlakukan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Undang – undang sebelumnya, yaitu Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan nasional dan Internasional. Oleh karena itu, dinyatakan dengan mengingat pasal 5 ayat (1), pasal 20 dan pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang – Undang Dasar 1945 maka dibentuk Undang – Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.  Apabila diperhatikan konsideran yang dimuat dalam Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, maka pertimbangan – pertimbangan di dalamnya telah merefleksikan / mencerminkan nilai – nilai pokok negara kesejahteraan yang dimaksud dalam Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945.

ad.2. Substansi

       Pada bulan Januari 2014 pelarangan ekspor bahan mentah  hasil tambang mineral sebagaimana ditentukan dalam Undang – Undang Minerba,  mulai diberlakukan. Kemudian sebagai tindak lanjut dari kebijakan tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang seterusnya diikuti dengan turunannya berupa Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6 Tahun 2014. Akan tetapi, kebijakan legislasi tersebut  menimbulkan kontroversi antara pemerintah dan kalangan dunia usaha. Kalangan dunia usaha yang bergerak di bidang minerba menolak pelarangan ekspor ini untuk diberlakukan tahun 2014 karena banyak yang belum membangun smelter. Di pihak lain, pemerintah berpendapat bahwa tenggat waktu sejak Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 diundangkan hingga tahun 2014 sudah cukup lama untuk memberi kesempatan bagi pengusaha minerba yang mempunyai itikad baik (good faith) untuk membangun smelter.

        Selain kekhawatiran  kalangan pengusaha tambang, aksi penolakan pemberlakukan Undang – Undang Minerba tersebut juga datang dari para pekerja tambang karena adanya kekhawatiran akan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara besar – besaran. Akan tetapi pemerintah beranggapan bahwa efek domino dari larangan ekspor bahan mentah hasil tambang mineral, yaitu pasca selesainya pembangunan smelter  maka justeru akan membuka kesempatan / lapangan kerja  yang jauh lebih banyak.

       Sebenarnya,  larangan ekspor bahan mentah hasil tambang mineral, pernah ditegaskan dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Larangan Ekspor Bahan Mentah Tambang. Akan tetapi peraturan tersebut digugat oleh Asosiasi Nikel Indonesia (ANI) dan kemudian Mahkamah Agung (MA) mengabulkan sebagian gugatan tersebut dimana salah satu diktum (amar) putusannya membatalkan pasal 21 yang melarang  ekspor bahan mentah.  Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan kembali berbagai  aspek yuridis maka pemerintah kembali membuat peraturan yang menegaskan   mengenai larangan ekspor bahan mentah hasil tambang mineral. Sehingga kemudian dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Ketentuan penting  yang dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah  Nomor 1 Tahun 2014 tersebut berkaitan dengan larangan ekspor bahan mentah hasil tambang mineral, adalah:

  1. Pasal 112 ayat (3) yang menyatakan: “Kontrak Karya dan perjanjian karyaperusahaan pertambangan  mineral yang telah melakukan tahap kegiatan operasi produksi, wajib melakukan pengutamaan kepentingan dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan”.
  2. Pasal 112C ayat (2) yang menyatakan: “Pemegang IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 angka 4 huruf a Peraturan Pemerintah ini wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri”.

       Apabila dikaji secara seksama, pada hakekatnya semangat Undang – Undang Minerba yang disahkan dan diundangkan tanggal 12 Januari 2009 adalah bertujuan untuk melakukan proses penambahan nilai bagi sumber daya alam Indonesia. Oleh karena, selama ini hasil tambang  Indonesia langsung diekspor tanpa proses apapun. Undang – Undang Minerba memberikan / membuka peluang bagi Indonesia untuk dapat memperbaiki sektor industri hilir. Selain itu, antisipasi yang dilakukan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 memberikan keleluasaan bagi pengusaha yang masih mengusahakan untuk membangun smelter  hingga tahun 2017. Ekspor hasil tambang tetap diperbolehkan, asalkan telah melalui proses ekstraksi dengan kadar yang berbeda – beda untuk setiap jenis mineral[69].

        Untuk memahami bagaimana seyogyanya kekayaan alam termasuk Sumber Daya Mineral dan Batubara dikelola dengan benar  tentunya kita harus merujuk pada landasan konstitusional kita dimana Pasal 33 UUD 1945 ayat 3  menyatakan sebagai berikut, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dengan demikian dapat dipahami bahwa  segala bentuk kebijakan tata kelola  dimaksud harus berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah membuat Undang – Undang   Nomor  4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengatur segala hal yang berkaitan dengan aktifitas pertambangan baik di bidang pertambangan mineral dan  batubara.

       Hal yang perlu dicermati dalam  Undang – Undang  Nomor  4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah  Pasal 1 butir 20, yang menyatakan: “Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan”. Ketentuan ini selanjutnya dipertegas dalam pasal 102, yang menyatakan: “Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara”,  begitu pula dalam pasal 103, yang berbunyi:

(1) Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri;

(2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya;

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

       Ketentuan yang diatur dalam pasal 1 butir 20, pasal 102 dan 103 Undang – Undang Minerba tersebut  diperjelas  lagi oleh pasal  93  Peraturan Pemerintah  Nmor  23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang berbunyi:

(1) Pemegang IUP OP dan IUPK OP mineral wajib melakukan pengolahan dan pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah mineral yang diproduksi, baik secara langsung maupun melalui kerja sama dengan perusahaan, pemegang IUP dan IUP lainnya;

(2) Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah mendapatkan IUP OP khusus untuk pengolahan dan pemurnian.

       Namun demikian, Undang – Undang Minerba ini tidak secara serta – merta berlaku pada saat diundangkan / disahkan, oleh karena undang – undang tersebut masih memberikan kelonggaran sebagaimana ditentukan dalam pasal 170, yang berbunyi: “Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU ini diundangkan”. Artinya pemberlakuan Undang – Undang Minerba tersebut  baru akan  ini diterapkan 5 (lima) tahun kemudian yaitu  tanggal 12 Januari  2014.

       Undang – Undang  Nomor  4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan  Batubara, yang  menggantikan Undang – Undang  Nomor  1 Tahun 1967 merupakan terobosan kebijakan legislasi dalam hukum pertambangan mineral dan batubara yang sangat relevan diterapkan dewasa ini. Apabila Undang – Undang Nomor   1 Tahun 1967 dianggap terlalu sentralistik maka reformasi hukum pertambangan yang diatur dalam Undang – Undang  Nomor  4 Tahun 2009 menumbuhkan semangat desentralisasi dan otonomi daerah yang sangat luas. Hal ini dapat dilihat dari aspek kewenangan memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP), dimana  Pemerintah Daerah dapat / mempunyai kewenangan memberikan  Izin Usaha Pertambangan.

       Ketentuan  Undang – Undang  Nomor  4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mengamanatkan bahwa pengolahan dan pemurnian mineral harus dilakukan di dalam negeri, sehingga terjadi peningkatan nilai tambah dan pengendalian produksi komoditas mineral, adalah sangat relevant dengan tuntutan tujuan pembangunan nasional. Pemerintah harus bertindak tegas dan tidak memberikan toleransi dalam bentuk apapun terhadap perusahaan pertambangan yang tidak bersedia membangun  smelter, karena substansi ketentuan undang – undang tersebut semata – mata demi kepentingan masyarakat dan negara Indonesia. Termaktubnya ketentuan tersebut juga  sekaligus untuk menjawab berkembangnya issue selama ini yang menyatakan  bahwa tingginya ekspor bahan baku hasil tambang yang seolah – olah  “menjual tanah air”, sehingga dikhawatirkan ketersediaan bahan baku tidak akan mencukupi kebutuhan industri – industri  sektor hilir di dalam negeri. Pembangunan pabrik pemurnian (smelter) bernilai strategis dalam rangka pengelolaan sumber daya alam  mineral dan batubara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat sesuai dengan prinsip  four track stategy yang sudah dicanagkan oleh pemerintah, yaitu Pro Growth, Pro Job, Pro Poor dan Pro Environment.

B. BEBERAPA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

        Kewenangan pemerintah untuk menentukan Wilayah Ijin Usaha Pertambangan untuk mineral dan batubara diamputasi oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan ini tentu saja semakin memperkuat cengkeraman kekuasaan dan kewenangan Pemerintah Daerah dalam mengelola sumber daya alamnya dan menyebabkan ketergantungan Pemerintah Pusat dalam menetapkan wilayah usaha pertambangan. Meskipun pemerintah daerah menyatakan bahwa putusan ini tidak mengakibatkan perubahan yang signifikan dalam pelaksanaan kewenangan Pemerintah Pusat terkait pertambangan mineral dan batubara, namun tidak dapat dipungkiri, adanya putusan ini akan menimbulkan komplikasi-komplikasi dalam pelaksanaan penataan wilayah usaha pertambangan untuk memaksimalkan potensi pendapatan negara terkait dengan sumber daya alam berupa mineral dan batubara.  Banyaknya permohonan uji materil dan mudahnya Mahkamah Konstitusi  mengabulkan permohonan uji materil di bidang sumber daya mineral, dapat saja dimaknai oleh investor asing bahwa kepastian hukum di Indonesia teramat lemah dan pada akhirnya berimbas pada keraguan investor untuk menanamkan modalnya di bidang mineral dan batubara di Indonesia.

       Putusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian Uji Materi atas Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang diajukan oleh Bupati Kutai Timur Isran Noor, akhir November lalu dinilai sebagai sebuah kemenangan bagi semangat otonomi daerah. Pakar Otonomi Daerah Ryaas Rasyid menilai bahwa Keputusan MK ini merupakan koreksi dari penyimpangan semangat otonomi daerah. “Keputusan ini merupakan sebuah kemenangan bagi semangat otonomi daerah,” katanya dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) di Kantor Sekretariat APKASI, Jakarta[70]. Mahkamah Konstitusi  memutuskan penetapan Wilayah Pertambangan (WP) dapat dilakukan oleh pemerintah setelah ditentukan oleh Pemerintah Daerah, yang sebelumnya berbunyi “…setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah”.

       Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Permohonan tersebut diajukan 27 Perusahaan di bawah PT. Merukh Enterprise dan 5 orang pemilik PT. Merukh. Pemohon menilai pasal 172 UU Pertambangan Mineral dan Batubara bertentangan dengan beberapa pasal dalam UUD 1945. Pasal 172 menyebutkan permohonan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) harus memenuhi dua syarat. Pertama, telah diajukan satu tahun sebelum UU Pertambangan Mineral dan Batubara. Kedua, sudah mendapat persetujuan prinsip atau surat izin penyelidikan pendahuluan. Ketentuan tersebut dianggap merugikan para pemohon. Sehingga, pemohon yang berjumlah lima orang dan 27 perusahaan meminta pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945[71].

        ”Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim Mahfud MD Rabu (9/3/2011) di Gedung MK saat membacakan putusan uji materi pasal 172 UU Pertambangan Mineral dan Batubara. Majelis MK menilai para pemohon tidak dapat membuktikan adanya kerugian konstitusional dari pasal 172 UU Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam putusan tersebut, Hakim konstitusi Akil Mochtar memunculkan beda pendapat. Dia berpendapat, pasal 172 tersebut harusnya dibatalkan. Salah satu alasannya, pasal tersebut mengatur tentang hal yang bersifat lampau atau retroaktif.  Hal itu terlihat dari frasa “paling lambat 1 (satu) tahun” yang terdapat dalam pasal 172 UU Pertambangan Mineral dan Batubara[72].

        Pemerintah memastikan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara (Minerba), terkait Wilayah Pertambangan seperti dalam pasal Pasal 6 ayat (1) huruf e, 14 ayat (1), Pasal 17 tidak mengganggu proses renegosiasi dengan perusahaan tambang yang sedang berlangsung. “Keputusan MK tersebut sama sekali tidak berpengaruh terhadap renegosiasi kontrak,” kata Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, Thamrin Sihite dalam pesan singkatnya kepada wartawan, Kamis (22/11/2012).Gugatan itu diajukan oleh Bupati Kutai Timur Isran Noor. Pasal yang digugat itu terkait kewenangan menentukan wilayah pertamabngan (WP) yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat meski saat yang sama otonomi daerah juga berlaku[73].

        Dalam salah satu amar putusannya, MK mengatakan, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambanga Mineral dan Batubara selengkapnya menjadi “Luas dan batas WIUP mineral logam dan batubara ditetapkan oleh Pemerintah setelah ditentukan oleh pemerintah daerah berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh Pemerintah”.Thamrin sendiri sempat menguatirkan dampak putusan MK itu pada renegosiasi kontrak karya yang sedang berlangsung. Juga akan berdampak pada kebijakan pengolahan atau pemurnian bahan mentah menjadi kacau[74].

       Produk hukum berkembang sangat dinamis. Tak terkecuali pada bidang pertambagan dan kehutanan. Larangan ekspor beberapa jenis mineral, ketentuan divestasi saham asing, dan konsep baru penyelenggarraan usaha jasa pertambangan menjadi permasalahan hangat pada akhir tahun lalu. Dihapuskannya beberapa pasal dalam Undang – Undang  Nomor  4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terkait Wilayah Pertambangan  oleh Mahkamah Konstitusi (MK)  juga akan menjadi isu menarik lainnya ditengah-tengah aktifitas bisnis pertambangan. Selain itu, aktifitas usaha pertambangan juga tidak bisa lepas dengan kebijakan pada sektor kehutanan. Mekanisme peroleh Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) menjadi fokus tersendiri bagi para pelaku usaha pertambangan.

___________________________________________________________________________________________

[1] Delly Mustafa, Birokrasi Pemerintahan, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2013, hlm. 185 – 186.

[2] Delly Mustafa, Ibid, hlm.  186.

[3] Delly Mustafa, Ibid, hlm.  186 – 187.

[4] Didik J. Rachbini dkk, Op. cit, hlm. 7.

[5]  Didik J. Rachbini dkk, Ibid, hlm. 7 – 8.

[6] Didik J. Rachbini dkk, Ibid, hlm. 8.

[7] Didik J. Rachbini dkk, Ibid, hlm. 8 – 9.

[8] Didik J. Rachbini dkk, Ibid, hlm.  19 – 20.

[9] C.F.G. Sunaryati Hartono, Opcit, hlm. 102.

[10] C.F.G. Sunaryati Hartono, Ibid, hlm. 102

[11] Philipus M. Hadjon, dkk., Hukum Administrasi dan Good Governance, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2012, hlm. 3.

[12] Philipus M. Hadjon, dkk., Ibid, hlm. 3 – 4.

[13] Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtsstaat), Penerbit PT Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 77.

[14] Munir Fuady, Ibid , hlm. 77 – 78.

[15] Munir Fuady, Ibid , hlm.78.

[16] M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang – Undangan. Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm. 30.

[17] M. Solly Lubis, Ibid, hlm. 32.

[18] M. Solly Lubis, Ibid, hlm. 33.

[19] Sukanto Reksohadiprodjo, Pradono, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Energi, Tanpa Penerbit, Yogyakarta, 1988, hlm. 3.

[20] Sukanto Reksohadiprodjo, Pradono, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Energi, Tanpa Penerbit, Yogyakarta, 1988, hlm. 4.

[21] Sukanto Reksohadiprodjo, Pradono, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Energi, Tanpa Penerbit, Yogyakarta, 1988, hlm. 4.

[22] Dwi Nofi Andhiyantama, Hukum Sumber Daya Alam, Jakarta, Blogger Internet, diakses pada pukul 9.00, hari Senin, tanggal  24 Maret 2014.

[23] Dwi Nofi Andhiyantama, ibid.

[24] H. Salim HS, Hukum Pertambangan Mineral & Batubara, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 21.

[25] H. Salim HS, Ibid,  hlm. 21.

[26] H. Salim HS, Ibid,  hlm. 21 – 22.

[27] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum, Persfektif hirtoris, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 239.

[28] Carl Joachim Friedrich, Ibid , hlm. 239.

[29] Carl Joachim Friedrich, Ibid , hlm. 256.

[30] H. Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 41.

[31] Siraj El Munir Bustami, Blog Hukum Pertambangan, Jakarta, Blogger Internet, diakses pada pukul 14.00, hari Senin, tanggal 24 Maret 2014.

[32] Siraj El Munir Bustami, Ibid.

[33] Ahmad Redi, Secercah Cahaya Pengaturan Divestasi Saham Pertambangan Mineral dan Batubara, Jakarta, Blogger Internet, diakses pada pukul  15.15 WIB, hari Senin, tanggal 24 Maret 2014.

[34] Soerjono Soekanto, Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 45.

[35] Soerjono Soekanto, Ibid , hlm. 56 – 57.

[36] Soerjono Soekanto, Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Penerbit CV Rajawali, Jakarta, 1987,  hlm. 256.

[37] Soerjono Soekanto, Mustafa Abdullah, Ibid,  hlm. 259.

[38] Arbi Sanit, Sistem politik Indonesia, Kestabilan, Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 108.

[39] Soerjono Soekanto, Pokok – Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, CV. Rajawali, 1980, hlm. 68 – 69.

[40] Soerjono Soekanto, Pokok – Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, CV. Rajawali, 1980, hlm. 76.

[41] Soerjono Soekanto, Pokok – Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, CV. Rajawali, 1980, hlm. 91 – 92.

[42] Lela Purnamasari, Makalah Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Industri Tambang dan Batubara, Jakarta, Blogger Internet, diakses pada pukul 17.10 WIB, hari Senin, tanggal 24 Maret 2014.

[43] Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 1979, hlm. 23.

[44] Soerjono Soekanto, Ibid ,  hlm. 23 – 24 .

[45] Berita satu.com, Kebijakan Relaksasi Ekspor Mineral dan Tambang, Jakarta, Media Online, diakses pada pukul 16.15 WIB, hari Senin, tanggal 24 Maret 2014.

[46]Berita satu.com, Ibid.

[47] Berita satu.com, Ibid.

[48] Berita satu.com, Ibid.

[49] Berita satu.com, Ibid.

[50] Lela Purnamasari, Opcit.

[51] Majalah Geo Energi, Jalan Terjal Pelaksanaan UU Minerba, Edisi 39, TAHUN IV, Januari 2014, hlm. 32.

[52] Majalah Geo Energi, Ibid , hlm. 33.

[53] Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012, hlm. 25 – 26.

[54] Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 88.

[55] Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto, Ibid , hlm. 88 – 89.

[56] Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto, Ibid , hlm.  89 – 90.

[57] Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto, Ibid , hlm.  91.

[58] Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto, Ibid , hlm.  92.

[59] Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto, Ibid , hlm.  92 – 93.

[60] Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto, Opcit , hlm.  38 – 39.

[61] H. Aziz Syamsuddin, Proses & Teknik Penyusunan Undang – Undang, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm.1.

[62] H. Aziz Syamsuddin, Proses & Teknik Penyusunan Undang – Undang, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm.1- 2.

[63] Gatot Supramono, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm. 174.

[64] Gatot Supramono, Ibid , hlm. 174.

[65] Irawan Soejito, Teknik Membuat Undang – Undang, Penerbit PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1988, hlm.123.

[66] Irawan Soejito, Ibid, hlm.123.

[67] Irawan Soejito, Ibid, hlm.124.

[68] Alfonsus Atu Kota, Hilirisasi, Poltak pun Mengadu ke PBB, The Indonesian Energy & Mining Tambang, Penerbit  PT media Bakti Tambang, Jakarta, Volume 8 No. 103, Januari 2014, hlm.49.

[69] Sabrun Jamil, Era Baru Industri Pertambangan, Jakarta,  Geo Energi, Edisi 40, Tahun IV, Februari 2014.

[70] Antara News.Com., Putusan MK Soal Minerba Dinilai Semangati Otonomi Daerah, Jakarta, diakses hari Jumat tanggal  7 Pebruari 2014, pukul 12.30.

[71] Fahriyadi, MK Tolak Uji Materi UU Minerba, Jakarta, Media Online, Diakses hari Jumat tanggal 7 Pebruari 2014, pukul14.20.

[72] Fahriyadi, Ibid., Diakses hari Jumat tanggal 7 Pebruari 2014, pukul14.35.

[73] [73] Permata Indonesia, Perhimpunan Mahasiswa Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining Student Association), Putusan MK atas Uji Materi UU Minerba Tak Ganggu  Renegosiasi Kontrak Karya, Jakarta, Media Online, Diakses hari Jumat, pukul 15.00.

[74] Permata Indonesia, Perhimpunan Mahasiswa Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining Student Association), Ibid,  Diakses hari Jumat, pukul 15.10.

 

 

Writer and Copy Right:
Dr. Appe  Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant

Leave a Reply

News Feed