ASPEK TINDAK PIDANA KORUPSI
PADA LEMBAGA PERBANKAN MILIK NEGARA
Fenomena yuridis “korupsi” merupakan salah satu bentuk kejahatan (criminal act) yang menjadi permasalahan global yang serius pada seluruh negara – negara di dunia. Terminologi “korupsi” berasal dari Bahasa Latin yakni, corruptio yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, atau menyogok. Merujuk pada arti kata “korupsi” tersebut maka dapat diketahui secara umum bahwa korupsi di negara Indonesia sudah ada dan marak bahkan merajalela sejak sebelum kemerdekaan, lebih tepatnya pada masa eksistensi Vereenigde Oostindische Compagnie. Perusahaan tersebut digadang – gadang sebagai perusahaan terbesar di dunia pada masanya yang kemudian ternyata harus dibubarkan pada penghujung abad ke 18 disebabkan skandal mega korupsi dengan meninggalkan hutang sebesar 136,7 juta gulden yang diambil alih oleh pemerintah Belanda. Pada masa sekarang, Indonesia tentu saja sedang berupaya untuk menyelesaikan permasalahan berbagai tindak pidana korupsi dalam praktek perbankan melalui beberapa cara/model dan metode, salah satunya adalah melalui memperketat kebijakan regulasi yang berkaitan dengan SISTEM PERBANKAN.
Perlu dipahami bahwa dalam konteks “ASPEK TINDAK PIDANA KORUPSI PADA LEMBAGA PERBANKAN MILIK NEGARA” adanya doktrin terpisahnya kekayaan antara negara sebagai pemberi modal dengan kekayaan badan hukum sebagaimana diatur dalam Undang – Undang Nomor 40 tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, membuat pertanggungjawaban negara hanya sebatas kepemilikan modal. Namun, kekayaan yang terpisah tersebut termasuk pada ruang lingkup keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf g Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Sehingga kerugian yang dialami oleh lembaga perbankan milik negara dapat berimplikasi menjadi kerugian keuangan negara.
Rujukan regulasi dalam fenomena yuridis tersebut diatas adalah ketentuan – ketentuan yang termaktub dalam Pasal 2 dan 3 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan dasar hukum yang mengatur korupsi berkaitan dengan kerugian keuangan negara dan/atau perekonomian negara. Kerugian negara mutlak harus dibuktikan sebagaimana ditekankan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIVI2016 yang menyatakan kata “dapat” dalam pasal tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. “Kerugian negara pada LEMBAGA PERBANKAN MILIK NEGARA sangat erat kaitannya dengan fungsi bank sebagai penyalur dana kepada masyarakat (lending). Dapat dikemukakan sebagai contoh dalam praktek, dalam hal jika terdapat orang yang dengan sengaja dan melawan hukum bersama-sama dengan oknum dari bank memanipulasi data calon penerima kredit sehingga tidak terdapat agunan yang dapat dilelang ketika terjadi gagal bayar, maka telah terjadi kerugian keuangan negara dan/atau perekonomian negara. Atau peristiwa hukum lain, apabila terdapat kebijakan pengelolaan uang nasabah yang disalahgunakan oleh pihak perbankan yang menimbulkan kerugian yang dialami oleh para nasabah Bank. Namun demikian masih banyak praktek – praktek lain dalam pengelolaan operasional perbankan yang merugikan keuangan negara dan/atau perekonomian negara serta keuangan para nasabah, sebagai contoh dapat disebutkan KASUS BANK CENTURY.