PROBLEMATIKA PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
DALAM PERKARA PIDANA (TERMASUK PERKARA TIPIKOR)
JAKSA PENUNTUT UMUM adalah lembaga yang diberi wewenang oleh undang – undang untuk melakukan fungsi “penuntutan” dan “pelaksanaan putusan dan penetapan pengadilan”. Pelaksanaan Putusan Hakim/Pengadilan disebut juga execution/executie merupakan tindakan Jaksa Penuntut Umum untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Selain itu Penuntut Umum juga bertanggung jawab untuk melaksanakan penetapan yang dikeluarkan oleh Hakim/Majelis Hakim atau Pengadilan yang berisi suatu perintah tertentu. Ketentuan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dipertegas dalam Pasal 270 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi: “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”.
Merujuk pada rumusan ketentuan Pasal 270 KUHAP tersebut, seyogyanya secara serta merta setelah Jaksa Penuntut Umum menerima salinan putusan resmi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dari Panitera Pengadilan maka secara serta merta demi hukum Jaksa Penuntut Umum melakukan eksekusi (pelaksanaan putusan) perkara pidana. Tetapi sering dalam kenyataan praktek peradilan pidana tidak demikian. Banyak fenomena dalam penegakkan hukum pidana (criminal law enforcement), dimana Jaksa Penuntut Umum bersikap pasif dan tidak responsif untuk menjalankan eksekusi (pelaksanaan putusan) atas suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Keadaan demikian dapat terjadi karena penafsiran yang keliru seolah – olah terdapat dikotomi ketentuan hukum antara Pasal 270 KUHAP dengan Pasal 30 ayat (1) huruf b Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang berbunyi: “Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan penetapan Hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Ketentuan yang demikian menimbulkan persepsi di sebagian kalangan Kejaksaan bahwa tugas Kejaksaan untuk melakukan eksekusi atas suatu putusan, harus terlebih dahulu ada penetapan Pengadilan yang menerangkan bahwa suatu putusan perkara pidana telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), dan disertai perintah dari Pengadilan agar Jaksa Penuntut Umum (Kejaksaan) segera melakukan eksekusi (pelaksanaan putusan) atas putusan perkara pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut.
Implikasi yuridis dari dikotomi pemahaman antar – institusi yang demikian, mengakibatkan tidak jelasnya konsep pelaksanaan putusan (execution/executie) dalam perkara pidana. Sehingga untuk menyikapi kesimpangsiuran yang demikian maka pihak – pihak yang berkepentingan harus mengajukan “PERMOHONAN KETERANGAN INKRACHT” dan “PERMOHONAN PERINTAH PELAKSANAAN PUTUSAN” kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berhubungan dengan yurisdiksi Kejaksaan (Jaksa Penutut Umum) tersebut.