KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA – BANGSA (PBB) MENGENAI ANTI KORUPSI
Pada prinsipnya terdapat 4 (empat) crucial issues dari Konvensi Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) Anti Korupsi ini yaitu; 1) Usaha – usaha pencegahan tindakan Korupsi, 2) Kriminalisasi dari Tindakan Korupsi, 3) Kerjasama Internasional dalam rangka penanggulangan tindakan Korupsi, dan 4) Pengembalian dari aset-aset yang ditempatkan di luar negeri. Masalah pencegahan ini berkaitan masalah kebijakan negara untuk mencegah terjadinya tindakan korupsi termasuk di dalamnya pembentukan badan anti korupsi (hal ini telah dilakukan di Indonesia dengan Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta selanjutnya diatur secara spesifik dalam Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (yang telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) , begitu juga ketentuan regulasi yang berkaitan dengan transparansi dalam bidang keuangan publik.
Sehubungan dengan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud dalam konvensi tersebut, terdapat pula ketentuan pengaturan mengenai Pejabat Publik dan Kode Etik. Akan tetapi mengenai hal tersebut, di Indonesia tidak diatur secara terpusat, tetapi perbidang sesuai dengan profesinya misalnya kode etik untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta Kode etik bagi pejabat di bidang legislatif yang diatur secara terpisah. Upaya pencegahan juga berkenaan dengan pengaturan kinerja terhadap pihak swasta yang di Indonesia juga masih diatur secara terpisah sesuai masing-masing bidang. Selain itu, masalah pencegahan juga mengatur masalah peran serta masyarakat untuk mendapatkan informasi atau melakukan pencegahan terjadinya korupsi.
Perihal ketentuan mengenai aspek kriminalisasi, maka mewajibkan negara – negara pihak untuk menganggap tindakan – tindakan yang diatur dalam konvensi PBB sebagai tindak kejahatan sebagai suatu delik yang dirumuskan dalam ketentuan hukum nasionalnya serta untuk menjatuhkan sanksi atas tindakan – tindakan tersebut berdasarkan ketentuan hukum nasional masing – masing negara. Di negara Indonesia prinsip tersebut diatur secara eksplisit ketentuan Undang – Undang Noomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian diubah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Aspek lain dalam konvensi PBB tersebut adalah masalah kerjasama internasional dimana dalam konvensi ini negara-negara pihak menyetujui untuk melakukan kerjasama dalam usaha-usaha pemberantasan Tindak Korupsi ini yang meliputi pencegahan, penyidikan dan pengadilan bagi pelaku kejahatan korupsi ini. Negara-negara pihak juga diwajibkan untuk membentuk sebuah Mutual Legal Assistance (MLA) dalam pengumpulan dan penyerahan bukti-bukti yang dipergunakan di pengadilan, untuk mengekstradisi, serta mengambil langkah-langkah untuk melacak, membekukan, mendapatkan dan merampas hasil kejahatan tersebut. Walaupun demikian kerjasama internasional dalam bentuk Ekstradisi, Transfer Narapidana, Bantuan Hukum Timbal Balik, transfer naraPidana, Kerjasama penegakan hukum, Penyidikan bersama, serta dikenalkannya teknik-teknik penyidikan khusus tetaplah harus berdasarkan ketentuan hukum nasional sehingga tetap tidak menjadi penghalang dalam meratifikasinya.
Elemen lain yang juga significant dalam konvensi PBB tersebut bagi Indonesia adalah masalah pengembalian aset – aset hasil kejahatan yang ditempatkan di luar negeri. Hal ini merupakan salah satu prinsip dasar dari konvensi ini, dan ini menjadi amat penting karena sering kali korupsi telah menimbulkan kerugian negara dalam jumlah yang amat besar dimana dana tersebut sebenarnya amat diperlukan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Dengan diangkatnya masalah pengembalian aset ini maka aset – aset hasil kejahatan yang ditempatka di luar negeri dapat diperoleh kembali oleh negara pihak yang dirugikan. Selain itu terdapat suatu permasalahan, yaitu persyaratan dual criminality untuk masalah ini. Tetapi dengan diangkatnya masalah ini kedalam konvensi ini, maka dianggap syarat tersebut telah terpenuhi asalkan baik negara peminta atau yang diminta adalah sama-sama negara pihak dari konvensi ini.