BATAL DEMI HUKUM DAN PEMBATALAN SUATU KONTRAK ATAU PERJANJIAN
Syarat – syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), pada prinsipnya dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) kategori yaitu 1) syarat subyektif (unsur kesepakatan dan unsur kecakapan), dan 2) syarat obyektif (unsur hal tertentu dan unsur causa yang halal). Dalam praktek interaksi business atau dalam aspek sosial kemasyarakatan lainnya, apabila syarat subyektif tidak terpenuhi atau dilanggar maka kontrak atau perjanjian tersebut “dapat dibatalkan (canceling)” oleh salah satu pihak atau pihak lain yang berkepentingan (misalnya orang tua atau wali pengampu). Sedangkan apabila syarat obyektif tidak terpenuhi atau dilanggar maka kontrak atau perjanjian tersebut adalah “batal demi hukum (null and void)”.
Apabila suatu kontrak atau perjanjian telah dibuat/diadakan meskipun bertentangan dengan syarat – syarat subyektif sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata maka kontrak atau perjanjian tersebut dianggap tetap berlaku sepanjang tidak dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak atau pihak lain yang berkepentingan. Pada konteks lain, apabila syarat – syarat obyektif yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak terpenuhi atau dilanggar maka kontrak atau perjanjian tersebut secara yuridis dianggap tidak pernah ada yang menimbulkan implikasi bahwa kontrak atau perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan pembuktian sebagai adanya “Hubungan Hukum (rechtsbetrekking)”.
Syarat subyektif dianggap tidak terpenuhi apabila suatu kontrak atau perjanjian dibuat atau diadakan oleh pihak – pihak tertentu yang ternyata diketahui bahwa: a) adanya unsur “tidak cakap untuk bertindak menurut hukum atau tidak memiliki handelings bekwaamheid”, atau b) tidak adanya kesepakatan kehendak atau wewenang berbuat dimana salah satu pihak memberikan persetujuannya tidak secara bebas oleh karena adanya “unsur paksaan (dwang, duress) dan /atau unsur kekhilafan/kekeliruan (bedrog, fraud) dan/atau penipuan (dwaling,mistake)”. Syarat subyektif dianggap tidak terpenuhi apabila suatu kontrak atau perjanjian dibuat atau diadakan oleh pihak – pihak tertentu dengan obyek perjanjian yang bertentangan atau dilarang oleh peraturan perundang – undangan yang berlaku, atau dapat pula berkaitan dengan formalitas atau bentuk tertentu suatu kontrak atau perjanjian yang secara eksplisit diatur oleh undang – undang tertentu, misalnya perjanjian perdamaian harus dibuat secara tertulis, hibah harus dengan akta notaris, jual beli tanah harus berdasarkan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan sebagainya.
Kewenangan untuk berbuat atau bertindak secara hukum dianggap sah apabila perbuatan atau tindakan pihak – pihak tersebut sebagai subyek hukum adalah:
- Orang pribadi (sebagai pihak) yang dewasa menurut hukum;
- Orang pribadi (sebagai pihak) yang tidak berada dibawah pengampuan (curatele);
- Orang Pribadi atau Badan Hukum yang tidak dilarang oleh peraturan perundang – undangan yang berlaku melakukan perbuatan hukum tertentu (atau dicabut hak keperdataannya).
Dr. APPE HUTAURUK, SH., MH.