PERMASALAHAN HUKUM TATA NEGARA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DAN PENDIDIKAN HUKUM DI INDONESIA
Pada pertemuan para Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri yang diselenggarakan oleh “subkonsorsium ilmu hukum” sekitar tahun 1982 di Jakarta, dibahas wacana (discourse) mengenai “the science tree of law” (pohon ilmu tentang hukum). Dalam diskursus tersebut dijelaskan bahwa “Ilmu Hukum diibaratkan sebuah pohon, yang mempunyai akar, cabang, anak cabang, ranting, anak ranting, dan seterusnya”. Pertemuan tersebut juga menyimpulkan bahwa “Pohon hukum mempunyai cabang hukum keperdataan, cabang hukum pidana, cabang hukum tata Negara, dan cabang hukum tata pemerintahan (hukum administrasi). Tiap cabang hukum mempunyai anak cabang hukumnya masing – masing, sedangkan anak cabang hukum mempunyai ranting hukum, dan seterusnya”.
Salah satu cabang hukum yang mempunyai hubungan erat (very close relationship) dengan politik (politiek) adalah Hukum Tata Negara. Dalam kepustakaan Belanda, Hukum Tata Negara (staatrecht, constitutional law) yang berasal dari kata “staatsrecht” dapat dilihat baik sebagai hukum positif maupun sebagai Hukum Tata Negara (staatsrechtswetenschap). Sebagai suatu ilmu, ilmu Hukum Tata Negara mempunyai objek yang harus diselidiki dan juga mempunyai metode untuk melakukan penyelidikan/penelitian (research methodology).
Di Belanda ada tiga orang pakar hukum (legal experts) yang membahas masalah obyek penelitian Hukum Tata Negara dan Politik, yaitu Burkens, Belifante, dan Donner. Hasil pikiran dan ide ketiga orang guru besar Belanda tersebut dibahas dalam suatu Staatsrechtconferentie pada tahun 1982. Perihal yang menarik perhatian adalah statement Burkens dan Belifante. Dalam makalah yang disampaikan pada tahun 1973, Burkens mengatakan: “De staatsrechtswetenschap houdt zich bezig met beslissingssysteem, de staat, zoals deze gestructureerd is door het recht”;
“Het recht” (hukum) yang dimaksud Burkens adalah hukum positif yang meliputi hukum tertulis, hukum kebiasaan (konvensi) dan hukum yurisprudensi (jurisprudentierecht). Burkens menyatakan bahwa “Objek penyelidikan ilmu Hukum Tata Negara adalah sistem pengambilan keputusan: Negara”.
Sistem pengambilan keputusan: Negara, berkenaan dengan berbagai lembaga negara (lembaga politik) yang terdapat dalam negara, baik yang berada dalam suprastruktur politik maupun yang berada dalam infrastruktur politik. Masalah – masalah ini tidak hanya merupakan kajian ilmu Hukum Tata Negara, tetapi juga Ilmu Politik. Namun, menurut Burkens, hal – hal itu menjadi kajian dan juga objek penyelidikan ilmu Hukum Tata Negara, sepanjang diatur (distrukturkan) dalam hukum positif merupakan Hukum Tata Negara Positif.
Wacana yang dikemukakan oleh Belifante mengandung hipotesis pemikiran yang lebih jauh, dengan mengatakan bahwa “yang diselidiki, jadi yang menjadi objek penyelidikan ilmu Hukum Tata Negara, bukan hanya sistem pemgambilan keputusan: negara, yang diatur dalam hukum positif, melainkan juga yang tidak diatur di dalamnya”. Menurut Belifante, “karena alasan – alasan politik praktis, keputusan – keputusan yang sangat penting dilakukan di luar sistem hukum. Itulah yang menyebabkan para sarjana hukum dan warga negara (Belanda) merasa tidak enak dan tidak mempunyai kekuasaan mempengaruhi”. Dijelaskan Belifante juga bahwa “adalah tugas pemerhati Hukum Tata Negara mencari jalan untuk memasukkan masalah – masalah diatas kedalam sistem hukum”.
Belifante mengemukakan suatu contoh mengenai “pembentukan kabinet di Belanda” (cabinet formation in the Netherlands, Kabinetsformatie in Nederland). Aturan fundamental dalam Undang – Undang Dasar Kerajaan Belanda ditentukan bahwa Ratu/Raja sebagai Kepala Negara mengangkat seorang Pembentuk Kabinet (Cabinet Formateur). Ketentuan mengenai bagaimana Pembentuk Kabinet bekerja, Undang – Undang Dasar/konstitusi (grondwet, constitution) tidak mengatur lebih lanjut. Belifante mengintrodusir pendapat bahwa “langkah – langkah pengambilan keputusan yang dilakukan pembentuk kabinet Belanda tersebut juga merupakan objek penyelidikan ilmu Hukum Tata Negara”.
Sebagai bahan komparasi ilmiah (scientific comparasion, wetenschappelijke vergelijking) dari pendapat Belifante yang menyatakan bahwa “yang diselidiki, jadi yang menjadi objek penyelidikan ilmu Hukum Tata Negara, bukan hanya sistem pemgambilan keputusan: negara, yang diatur dalam hukum positif, melainkan juga yang tidak diatur di dalamnya”, maka perlu dikemukan pendapat dari S. Prajudi Atmosudirjo, yaitu: “Dalam setiap negara modern masa kini banyak sekali campur tangan penguasa negara ke dalam kehidupan masyarakat sehari – hari, yakni (a) campur tangan di bidang politik, (b) dalam bidang ekonomi, (c) dalam bidang sosial budaya: kehidupan keluarga, perkawinan, perhimpunan, hiburan, kesenian, olah raga, dan sebagainya (d) dalam bidang agama dan kepercayaan, dan (e) dalam bidang teknologi. Semua macam campur tangan penguasa negara tersebut diberi bentuk hukum agar segala sesuatunya tidak bersimpang siur dan tidak menimbulkan keragu – raguan pada semua pihak yang bersangkutan, dan bilamana timbul konflik, penyelesaiannya lebih mudah”.[1]
Di sisi lain, seorang guru besar Hukum Tata Negara Universitas Erasmus (Rotterdam) yang bernama Henc van Maarseveen menyatakan bahwa “perlu dipikirkan nama baru untuk Hukum Tata Negara (staatsrecht)”. Berkaitan dengan “nama baru” tersebut, Henc van Maarseveen mengusulkan nama “Politiekrecht (Hukum Politik)” untuk sebutan Hukum Tata Negara. Pendapat Henc van Maarseveen tersebut dikemukakan dalam bukunya yang berjudul “Politiekrecht, als Opvolger van het Staatsrecht (Hukum Politik sebagai Pelanjut Hukum Tata Negara)”.
[1] S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Ghalia Indonesia, Cetakan Kesepuluh, Tahun 1995, hlm. 25.
Writer and Copy Right: Dr. (Cand.) Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH. Lecturer, Advocate and Legal Consultant Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002
Comments are closed.