PERANAN HUKUM TATA NEGARA INDONESIA DALAM PENYELESAIAN
PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI ATAS NAMA DJOKO TJANDRA
Pemerintahan yang menjalankan fungsi tata kelola negara (kenegaraan) bertanggung jawab untuk membuat aturan hukum (regulation) agar tujuan hidup berbangsa dan bernegara dapat terwujud sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan (Mukadimah) Undang – Undang Dasar 1945. Dalam kerangka berpikir (frame of thinking) yang demikian, maka Pemerintah berkomitmen untuk melakukan REFORMASI BIROKRASI di segala instansi/institusi Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah agar tercipta Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih (clean and good governance).
Prinsip clean and good governance merupakan konsepsi mendasar dari konsepsi modern state yang berorientasi pada fungsi pelayanan publik (public service) sebagai refleksi dari Negara Kesejahteraan (wefare state) berdasarkan demokrasi (democracy) demi terwujudnya kesejahteraan rakyat (bonum publicum) atau kebaikan bersama (bonum commune). Dalam pemahaman politik Hukum Tata Negara yang demikian maka dapat dikatakan bahwa demokrasi tidak mungkin berkembang pada kondisi dimana terdapat jurang pemisah (gap) perikehidupan sosial antara kaya dan miskin (democracy cannot thrive in a climate of social contrast between rich and poor). Begitu juga adanya pengakuan bahwa demokrasi juga tidak mungkin berkembang dalam suatu masyarakat yang tidak memiliki pluralisme (keanekaragaman), dengan hanya ada satu kelas sosial yang mempunyai satu dimensi (democracy cannot thrive in society lacking pluralism with only a one – dimensional social class).
Merujuk pada konsepsi literatur bahwa Hukum Tata Negara merupakan hukum yang mengatur organisasi – organisasi dan fungsi jabatan – jabatan yang terdapat dalam suatu negara atau mengatur kewenangan lembaga – lembaga negara antara lain: membuat aturan hukum, melaksanakan aturan hukum, dan menggunakan upaya termasuk sarana paksa agar setiap anggota masyarakat (warga negara) taat atau patuh pada aturan hukum, maka fungsi utama jabatan – jabatan tersebut adalah menata keajegan hidup bersama dalam organisasi negara agar tidak terjadi ketimpangan yang signifikan atau jurang pemisah yang sangat lebar dan dalam antara “KELOMPOK YANG KAYA” (the have group) dengan “KELOMPOK YANG MISKIN” (the poor group). Apalagi kekayaan tersebut didapatkan oleh kelompok atau orang tertentu dengan cara – cara yang bertentangan atau melawan/melanggar hukum atau peraturan perundang – undangan yang berlaku, seperti melakukan Pungutan Liar (PUNGLI), pemerasan, korupsi atau dengan model dan pola lain yang merugikan keuangan negara dan/atau perekonomian negara.
Alat – alat perlengkapan negara dalam rangka menjalankan fungsinya menggunakan upaya dan sarana paksa dalam konteks penegakkan hukum (law enforcement) dilakukan secara represif untuk meneggakkan asas supremasi hukum (supremacy of the law) terutama untuk melakukan tindakan tegas terhadap Kejahatan Kerah Putih (White Collar Crime) seperti Tindak Pidana Korupsi yang sudah dikualifikasikan sebagai Kejahatan Luar Biasa (extra ordinary crime). Upaya represif – imperatif fungsi jabatan – jabatan atau alat – alat perlengkapan negara yang demikian, sangat nyata dapat dilihat dalam kasus “KORUPSI PENGALIHAN HAK TAGIH (CESSIE) BANK BALI” (berkaitan dengan proses pencairan klaim Bank Bali terhadap BDNI) yang diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp. 546.000.000.000,- (lima ratus empat puluh enam milyar rupiah) yang dilakukan oleh Terpidana DJOKO SOEGIARTO TJHANDRA atau DJOKO SUGIARTO TJANDRA alias DJOKO TJANDRA (Direktur PT. ERA GIAT PRIMA). Dalam kasus tersebut, sebelumnya DJOKO SOEGIARTO TJHANDRA atau DJOKO SUGIARTO TJANDRA alias DJOKO TJANDRA dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada putusan yang dibacakan akhir tahun 2001. Akan tetapi, pada bulan Oktober 2008 Jaksa Penuntut Umum/JPU (pihak Kejaksaan) mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali/PK (Herziening) kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI). Kemudian, terhadap permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum/JPU (pihak Kejaksaan) tersebut, selanjutnya Mahkamah Agung dalam tingkat pemeriksaan Peninjauan Kembali pada bulan Juni 2009 menjatuhkan putusan (vonis) bahwa DJOKO SOEGIARTO TJHANDRA atau DJOKO SUGIARTO TJANDRA alias DJOKO TJANDRA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi dimana sebelumnya juga telah diputus bersalah dalam perkara yang sama SYAHRIL SABIRIN (Mantan Gubernur Bank Indonesia) dan PANDE N. LUBIS (Mantan Wakil Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional/BPPN), sehingga DJOKO TJANDRA dihukum pidana penjara selama 2 (dua) tahun, denda Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) serta uang miliknya di Bank Bali sebesar Rp. 546.000.000.000,- (lima ratus empat puluh enam milyar rupiah) dirampas untuk negara, sebagaimana termaktub dalam Putusan Mahkamah Agung dalam perkara pidana khusus Peninjauan Kembali Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 Tanggal 11 Juni 2009 (catatan: dalam Surat Dakwaan/Surat Tuntutan Jaksa Penutut .Umum, DJOKO SOEGIARTO TJHANDRA atau DJOKO SUGIARTO TJANDRA alias DJOKO TJANDRA diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp. 940.000.000.000.). Sangat disayangkan bahwa 1 (satu) hari sebelum putusan Putusan Mahkamah Agung pada tingkat Peninjauan Kembali dibacakan, DJOKO SOEGIARTO TJHANDRA atau DJOKO SUGIARTO TJANDRA alias DJOKO TJANDRA telah melarikan diri (kabur) ke luar negeri (Papua Nugini) pada tanggal 10 Juni 2009. Pelarian panjang DJOKO SOEGIARTO TJHANDRA atau DJOKO SUGIARTO TJANDRA alias DJOKO TJANDRA (selama + 11 tahun) akhirnya terhenti setelah Terpidana “PENGEMPLANG UANG NEGARA” tersebut ditangkap pada bulan juli 2020 di Malaysia hasil kerjasama Interpol (International Criminal Police Organization) atau dalam bahasa Indonesia disebut “Organisasi Polisi Kriminalitas Internasional” pihak negara Indonesia dengan pihak negara Malaysia.
Mengacu pada pendekatan kajian (study approach) Hukum Tata Negara, maka negara sudah dengan tegas menjalankan role playing dalam rangka membuat perangkat regulasi yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), kemudian pada level pelaksanaannya mengenai perbuatan – perbuatan (perilaku) yang tidak boleh dilakukan, yang selanjutnya berujung pada tataran PENGGUNAAN UPAYA PAKSA sebagai transformasi dari asas “Equality Before the Law” dan asas “Putusan Pengadilan Adalah Hukum”. Dalam konteks kasus “KORUPSI PENGALIHAN HAK TAGIH (CESSIE) BANK BALI” maka tugas negara melalui alat – alat perlengkapannya seperti kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung yang mengadili perkara Tindak Pidana Korupsi atas nama DJOKO SOEGIARTO TJHANDRA atau DJOKO SUGIARTO TJANDRA alias DJOKO TJANDRA di Tingkat Peninjauan Kembali, menangkap dan menahan serta merampas uang milik DJOKO SOEGIARTO TJHANDRA untuk kepentingan negara adalah tepat dan benar demi KEPENTINGAN UMUM (public interest) agar terwujud “Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia” (Sila Ke – 5 Pancasila) sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945. Hal ini juga berarti negara melalui alat – alat perlengkapannya telah menjalankan tugas dan fungsinya untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”, oleh karena frasa tersebut juga mengandung makna melindungi kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia, termasuk keuangan negara dan perekonomian negara yang mencakup hajat hidup orang banyak. Dalam konteks kajian “Peranan Hukum Tata Negara Indonesia dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi Atas Nama Djoko Tjandra”, maka perlu dikemukakan bahwa “Kasus KORUPSI PENGALIHAN HAK TAGIH (CESSIE) BANK BALI (berkaitan dengan proses pencairan klaim Bank Bali terhadap BDNI) bermula dari piutang Bank Bali di Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) sebesar Rp598 miliar dan Bank Umum Nasional (BUN) Rp200 miliar. Pada 11 Januari 1999, Bank Bali dan PT EGP (yang mengaku bisa menarik kembali dana tersebut) membuat perjanjian pengalihan hak tagih piutang (cessie)”. Sehubungan dengan peristiwa hukum tersebut, perlu dijelaskan bahwa pada tanggal 3 Juni 1999, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menginstruksikan transfer dana dari rekening Bank Bali di BI ke sejumlah rekening senilai Rp798 miliar. Rinciannya adalah sebagai berikut Rp. 404 miliar ke rekening PT EGP di Bank Bali Tower, Rp. 274 miliar ke rekening Djoko Tjandra di BNI Kuningan, dan Rp. 120 miliar ke rekening PT EGP di BNI Kuningan (pada mement perbuatan hukum inilah rangkaian Tindak Pidana Korupsi tersebut secara materil mulai dilaksanakan setelah sebelumnya terjadi konspirasi masif, sistematis dan konstruktif). Sekedar komplemen deskripsi yuridis, perlu dijelaskan bahwa dalam peristiwa hukum tersebut, peranan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) memiliki andil besar, meskipun sejatinya Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang didirikan/dibentuk pada tanggal 26 Januari 1998 (berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 Tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional), yang pada hakekatnya mengemban tugas pokok untuk melakukan penyehatanperbankan, penyelesaian assets bermasalah dan mengupayakan pengembalian uang negara yang tersalur pada sektor perbankan. Sayang seribu kali sayang (ibarat kata pepatah “UNTUNG TAK DAPAT DIRAIH, MALANG TAK DAPAT DITOLAK”), oleh karena kinerja BPPN yang sangat buruk serta tidak memuaskan sama sekali, pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, lembaga ini dibubarkan pada 27 Februari 2004 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran BPPN.
Akan tetapi, dari segi pendekatan hukum publik (publiekrecht, public law) yaitu HUKUM PIDANA (Criminal Law) memang tndakan Jaksa Penuntut Umum/JPU (Kejaksaan) yang mengajukan permohonan Peninjauan Kembali/PK terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut diperdebatkan beberapa pihak termasuk Penasehat Hukum DJOKO SOEGIARTO TJHANDRA atau DJOKO SUGIARTO TJANDRA alias DJOKO TJANDRA dengan alasan bahwa tindakan Jaksa Penuntut Umum/JPU (Kejaksaan) bertentangan dengan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, Teridana atau Ahli Warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Begitu pula dalil yang tidak relevan dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum/JPU (Kejaksaan) tidak mempunyai hak untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 (judicial review tersebut diajukan oleh Isteri Djoko Tjandra, yang bernama Anna Boentaran), dimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada pokoknya dinyatakan, “Jaksa Penuntut Umum tidak bisa mengajukan peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”. Makna konotasi dari 2 (dua) ketentuan hukum tersebut pada hakekatnya menegaskan bahwa Peninjauan Kembali adalah suatu upaya hukum luar biasa yang disediakan undang – undang untuk kepentingan hukum Terpidana atau Keluarganya.
Dalam konteks kajian hukum pidana (juga merupakan kajian Hukum Tata Negara) tersebut, baik Penasehat Hukum DJOKO SOEGIARTO TJHANDRA atau DJOKO SUGIARTO TJANDRA alias DJOKO TJANDRA maupun Majelis Hakim yang menerbitkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 adalah keliru memahami jangkauan keberlakuan Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Memang banyak pihak yang mempertanyakan alasan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dalam kasus DJOKO TJANDRA tersebut, apalagi apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 263 KUHAP. Oleh karena dalam prakteknya, ternyata Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga beberapa kali mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dan diterima oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI), sebagai contoh kasus/perkara pidana atas nama Muchtar Pakpahan pada tahun 1996 sebagaimana termaktub dalam Putusan Nomor 55/PK/Pid/1996 Tanggal 25 Oktober 1996.
Ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, Teridana atau Ahli Warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”, secara gramatikal memang menimbulkan perdebatan yang bersifat dualisme – kontraversial diantara kalangan akademisi, penegak hukum dan para ahli hukum (pidana) oleh karena tidak ada ketentuan tertulis yang bersifat eksplisit yang melarang (tidak memperbolehkan) Jaksa Penutut Umum (JPU) untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK). Apalagi dalam ketentuan Pasal 263 (3) KUHAP dinyatakan, ”Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwa telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”. Dalam konteks ketentuan Pasal 263 (3) inilah yang semakin kuat memposisikan legal standing Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK).
Ternyata apabila diteliti secara seksama, maka Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus “KORUPSI PENGALIHAN HAK TAGIH (CESSIE) BANK BALI” yang diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp. 546.000.000.000,- (lima ratus empat puluh enam milyar rupiah) yang dilakukan oleh Terpidana DJOKO SOEGIARTO TJHANDRA atau DJOKO SUGIARTO TJANDRA alias DJOKO TJANDRA tidak semata – mata didasarkan pada ketentuan Pasal 263 KUHAP yang bersifat ambiguity, tetapi juga dalam praktek peradilan pidana maka Jaksa Penuntut Umum (JPU) dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dengan pertimbangan – pertimbangan: 1) ASPEK HUKUM TATA NEGARA, antara lain asas legalitas, asas keseimbangan, dan nilai – nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, 2) ASPEK HUKUM PIDANA, yaitu adanya bukti baru (novum), adanya putusan bebas atau lepas, dan di dalam putusan telah berkekuatan hukum tetap tidak terdapat putusan pemidanaan padahal terbukti adanya suatu perbuatan pidana.
Dalam dictum/amar Putusan Mahkamah Agung dalam perkara pidana khusus Peninjauan Kembali Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 Tanggal 11 Juni 2009 , juga dibatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel. yang menyatakan Djoko Tjandra lepas dari segala tuntutan hukum (onstlag van rechtsvervolging), dan Putusan Mahkah Agung Nomor 1688K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut. Pertanyaannya ada “BIG DEAL” apa sebenarnya dalam kasus DJOKO SOEGIARTO TJHANDRA atau DJOKO SUGIARTO TJANDRA alias DJOKO TJANDRA tersebut? Apalagi kita semakin terperangah ketika Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang dibacakan tahun 2016 menyatakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap kasus DJOKO SOEGIARTO TJHANDRA atau DJOKO SUGIARTO TJANDRA alias DJOKO TJANDRA, padahal kasus tersebut sudah diputus tanggal 11 Juni 2009. Dalam konteks kasus DJOKO SOEGIARTO TJHANDRA atau DJOKO SUGIARTO TJANDRA alias DJOKO TJANDRA maka selain alasan – alasan yang berkaitan dengan ketentuan KUHAP, dapat dipahami secara jelas kewenangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) berdasrkan asas dan prinsip dasar Hukum Tata Negara sebagaimana disebutkan diatas, yang kemudian dikonkritisasikan secara essensial yaitu “Keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi (salus populi suprema lex estro)” sebagaimana dinyatakan oleh MARCUS TULLIUS CICERO. Dalam konteks kasus/perkara seperti ini, maka penafsiran (interpretatie) secara lebih luas dari “KESELAMATAN RAKYAT” adalah “KEPENTINGAN RAKYAT” yang menyangkut keuangan negara dan/atau perekonomian negara.
Meskipun telah ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang pada pokoknya seolah – olah menyatakan penegasan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, karena merumuskan 4 (empat) landasan pokok yaitu: 1) Peninjauan Kembali hanya diajukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, 2) Peninjauan Kembali tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan, 3) Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan oleh Terpidana atau Ahli Warisnya, 4) Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan, akan tetapi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 tetap tidak dapat menyelesaikan pro – kontra atau dualisme pendapat mengenai hak Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK). Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 sebenarnya telah terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 16/PUU-VI/2008 Tanggal 15 Agustus 2008 atas Pengujian Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman (yang dimohonkan Pollycarpus Budihari Priyanto terkait penerapan Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi, “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan oleh undang-undang”. Dimana oleh Pemohon ketentuan Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 yang menyatakan, ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”) sudah disinggung Pasal 263 ayat (1) KUHAP, akan tetapi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga tidak memberikan kepastian secara eksplisit mengenai penerapan Pasal 263 ayat (1) KUHAP oleh karena dalam putusan tersebut masih terdapat hal – hal yang ambiguity, sebagai berikut: “Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi antara lain: a. bahwa sifat norma dalam UU a quo merupakan asas yang berlaku secara umum untuk setiap badan peradilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung. b. Bahwa dalam menentukan siapa yang berhak dan syaratsyarat apa yang harus dipenuhi untuk menyatakan bahwa permohonan PK yang diajukan oleh “pihak-pihak yang bersangkutan” dapat diterima (admissible), harus diukur dari ketentuan yang terdapat dalam undang-undang yang diamanatkan atau dirujuk oleh Pasal 23 ayat (1), yang berlaku untuk bidang hukum dan/atau peradilan yang bersangkutan. Terlebih lagi dalam Pasal 76 UU 5/2004 sebagaimana dikutip di atas menyatakan bahwa PK atas putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap digunakan hukum acara pidana (KUHAP). c. bahwa adanya putusan-putusan Mahkamah Agung yang menerima Permohonan PK yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum berdasarkan tafsir yang luas atas frasa “ pihak-pihak yang bersangkutan”, dalam Pasal 23 ayat (1) UU 4/2004 yang mengesampingkan Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dimana menentukan secara limitatif siapa yang berhak mengajukan PK dalam perkara pidana, adalah menyangkut penerapan atau implementasi undang-undang, yang tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma dalam Pasal 23 ayat (1) UU a quo”.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 16/PUU-VI/2008 Tanggal 15 Agustus 2008 tersebut, satu orang Hakim Konstitusi mempunyai alasan berbeda (concurring opinion) yaitu: Muhammad Alim dan dua orang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion) yaitu H. Abdul Mukthie Fadjar dan H. Harjono. Hakim Muhammad Alim mengemukakan alasan· bahwa hal tersebut semata-mata penerapan hukum oleh Mahkamah Agung yang oleh terdakwa dianggap melanggar kepastian hukum. · Pasal yang dimohonkan oleh Pemohon untuk diuji, yaitu Pasal 23 ayat (1) UU 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah salah satu pasal yang terdapat dalam undang-undang payung yang untuk penerapannya lebih lanjut dalam hukum acara diatur dalam undang-undang, sehingga seharusnya undang-undang yang mengatur hukum acara itulah yang dimohonkan untuk diuji, bukan pasal a quo. Sedangkan Hakim H. Abdul Mukthie Fadjar dan Hakim H. Harjono berpendapat bahwa bahwa Pasal 23 ayat (1) UU 4/2004 merupakan sebab dari ketidakkonsistenan dalam penerapan ketentuan mengenai siapa yang berhak mengajukan permohonan PK dalam perkara pidana, sehingga seharusnya permohonan Pemohon beralasan untuk dikabulkan. Akan tetapi, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga bersifat ambiguity, oleh karena tidak menyentuh dengan tegas substansi dilematis ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa dari aspek pendekatan Hukum Tata Negara dalam konteks pembuatan dan/atau perubahan regulasi (peraturan perundang – undangan) dalam hal ini Hukum Acara Pidana maka sepanjang ketentuan Pasal 263 (3) KUHAP dinyatakan, ”Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwa telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”, tidak DICABUT maka fenomena yuridis tentang HAK MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM/JPU (KEJAKSAAN) tetap akan menjadi perdebatan yang kontroversial. Akan tetapi, apabila dikaji secara mendalam maka dalam kasus – kasus tertentu (seperti dalam konteks kasus DJOKO SOEGIARTO TJHANDRA atau DJOKO SUGIARTO TJANDRA alias DJOKO TJANDRA) perlu pula dipertimbangkan HAK MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM/JPU (KEJAKSAAN) dihubungkan dengan asas legalitas, asas keseimbangan, dan nilai – nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, asas kepentingan negara yaitu “KEPENTINGAN RAKYAT” yang menyangkut keuangan negara dan/atau perekonomian negara. Apalagi pada kenyataanya, dalam kasus DJOKO TJANDRA terdapat putusan – putusan yang bertentangan yang menimbulkan kecurigaan publik atas putusan lepas dari segala tuntutan hukum terhadap DJOKO TJANDRA yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Mahkamah Agung pada Tingkat Kasasi, padahal dalam pertimbangan hukumnya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyebutkan adanya unsur kesalahan dan unsur kerugian dalam kasus “KORUPSI PENGALIHAN HAK TAGIH (CESSIE) BANK BALI”.
Writer and Copy Right: Dr. Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH. Lecturer, Advocate and Legal Consultant