BATAS WAKTU ATAU KADALUARSA PENGAJUAN PENGADUAN
Daluarsa/verjaring adalah “hilangnya/hapusnya hak untuk melakukan sesuatu tindakan/perbuatan hukum karena lewatnya tenggang waktu, artinya setelah tenggang lewatnya waktu yang ditentukan oleh undang – undang, maka tindak pidana tersebut tidak dapat lagi dilakukan penuntutan”. (Konsepsi ini berbeda dengan pengertian asas “nebis in idem”).
Beberapa pasal dalam KUHPidana yang memberikan batasan lewatnya waktu untuk tidak dilakukan penuntutan, yaitu:
- Menurut Pasal 74 KUHPidana, yaitu:
- Pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia;
- Jika yang terkena kejahatan berhak mengadu pada saat tenggang waktu tersebut dalam ayat (1) belum habis, maka setelah saat itu, pengaduan masih boleh diajukan hanya selama sisa yang masih kurang pada tenggang waktu tersebut;
- Menurut Pasal 75 KUHPidana, yaitu: Pengaduan yang telah diajukan dapat dicabut kembali dalam waktu 3 bulan sejak hari pertama pengaduan itu diajukan;
- Menurut Pasal 293 ayat (3) KUHPidana, yaitu: Tenggang waktu tersebut dalam Pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing – masing sembilan bulan dan dua belas bulan;
- Menurut Memori van Toelichting bahwa pembatasan jangka waktu untuk mengajukan pengaduan atau menentukan suatu “vervaltermijn”, atau untuk menentukan suatu jangka waktu tertentu, yang apabila dalam jangka waktu tersebut orang yang berwenang untuk mengajukan pengaduan itu telah tidak mengajukan pengaduannya, maka haknya untuk mengajukan pengaduan itu menjadi batal.
Batas waktu untuk melaporkan/mengadukan adanya dugaan suatu tindak pidana, dalam hal ini berbeda dengan jangka waktu penyelesaian pemeriksaan suatu perkara pidana yang telah dilaporkan atau diadukan. Berkaitan dengan hal tersebut, Perkap Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Perkara Pidana di Lingkungan POLRI menyebutkan secara eksplisit dalam Ketentuan Pasal 31 ayat (2) bahwa “Batas waktu penyelesaian perkara dihitung sejak diterimanya Surat Perintah Penyidikan meliputi: a. 120 hari untuk penyidikan perkara sangat sulit b. 90 hari untuk penyidikan perkara sulit c. 60 hari untuk penyidikan perkara sedang d. 30 hari untuk penyidikan perkara mudah Namun peraturan di atas hanyalah sebatas Standar Operasional Prosedur penanganan perkara Pidana di Kepolisian. Dan jika pada batas waktu tersebut di atas tidak selesai, maka penyidik yang ditunjuk dapat mengajukan perpanjangan”. Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHPidana) tidak diatur perihal daluarsa atau masa berlakunya Berita Acara Pemeriksaan (BAP), atau dengan perkataan lain Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tidak memiliki masa kadaluarsa. KUHPidana hanya mengatur tentang masa daluwarsa mengajukan pengaduan ke pihak kepolisian (Pasal 74): Enam (6) bulan setelah yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan itu, bila ia berada di Indonesia; Sembilan (9) bulan setelah yang berhak mengadu mengetahui perbuatan itu dilakukan, bila ia berada di luar negeri, sebagaimana telah dijelaskan diatas.
Writer and Copy Right: Dr. (Cand.) Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH. Lecturer, Advocate and Legal Consultant Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002
__________
TERMINOLOGI:
NAASTINGSRECHT yaitu hak untuk memiliki sesuatu dengan mengesampingkan yang lain, lazim juga disebut HAK PRIORITAS dan dimiliki oleh:
a. Anggota Keluarga;
b. Anggota Persekutuan Hukum;
c. Tetangga
__________
NALATIGHEID (OMISSIEDELICHT) yaitu tindak pidana yang disebabkan karena kelalaian atau berbuat sesuatu;
__________
OBJECTIEVE THEORIE (Teori Objektif) ~ Dalam bidang Hukum Pidana suatu persoalan seperti apakah suatu perbuatan tertentu merupakan tindak pidana atau tidak, seringkali menimbulkan perbedaan pendapat dengan menggunakan argumentasi teori (pendekatan Teori Subjektif). Kalangan OBJEKTIVIS menghendaki agar setiap peristiwa dikaji secara objektif dimana sifat dan akibat dari perbuatan itu sendiri yang harus ditelaah terlepas dari “maksud dan intensi” Subjek Hukum yang melakukan perbuatan itu. Sebaliknya, Kalangan Subjektivitas menginginkan justeru agar “maksud dan intensi” pelaku perbuatan yang harus diutamakan. In casu, “maksud dan intensi” kajian yuridis sangat prematur dan nisbi apabila berpedoman pada perbuatan dan akibat dari suatu peristiwa pidana.
__________
OCCASION FACIT FUREM (Degelegenheid maakt den dief), memiliki pengertian bahwa KESEMPATAN MEMBUAT PENCURI, artinya kesempatan yang membuat atau menjadikan atau menimbulkan niat jahat (mens rea, criminal responsibility) seseorang untuk bertindak menjadi pencuri.
_______________________________
HIMBAUAN PARTISIPASI:
Sebagai PEMILIK dan PENULIS artikel – artikel dalam Website https://beritahukum-kebijakanpublik.com, saya mengajak:
- Mengajak VENDOR untuk memasang iklan pada artikel – artikel di website https://beritahukum-kebijakanpublik.com dengan langsung menghubungi saya;
- Mempersilahkan rekan – rekan dan khalayak umum untuk mengcopy seluruh konten yang terdapat dalam website https://beritahukum-kebijakanpublik.com. Akan tetapi sebagai ungkapan KEPEDULIAN kiranya berkenan memberikan partisipasi sukarela melalui transfer ke rekening Bank BNI No. 0263783536 atas nama APPE HUTAURUK.
Semoga dengan kepedulian yang diberikan, saya dapat terus berkarya memposting artikel – artikel yang bermanfaat bagi dunia pendidikan, masyarakat serta bangsa dan negara.
#SalamPersasaudaraan:
APPE HAMONANGAN HUTAURUK