HUBUNGAN ANTARA PERIKATAN DAN PERJANJIAN

Uncategorized

Close up image of an unrecognizable person's hands signing a business document on a wooden desk. Business concept.

HUBUNGAN ANTARA PERIKATAN DAN PERJANJIAN

 

Suatu perikatan adalah suatu Hubungan Hukum (rechtbetrekking) antara 2 (dua)  orang/ 2 (dua)  pihak atau lebih, dalam hal mana berdasarkan Hubungan Hukum tersebut maka  pihak yang satu berhak menuntut  (has the right to sue) sesuatu hal berupa prestasi dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi  tuntutan (obliged to carry out the demands) akan prestasi tersebut.

Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau Pemiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau Penghutang. Secara yuridis formal, hubungan antara dua orang  (dua pihak)  dalam suatu perikatan (engagement) atau perjanjian (agreement) adalah suatu Hubungan Hukum (legal relation, juridische relatie), yang berarti bahwa hak Pemiutang itu dijamin dijamin oleh hukum positif (positive law, positieve wet) dan  peraturan perundang – undangan yang berlaku. Sehingga, apabila tuntutan hak tersebut (claim for rights)  tidak dipenuhi secara sukarela/sadar dan sesuai ketentuan waktu serta tata cara yang telah disepakati, ,  maka Kreditur atau pihak Pemiutang  dapat mengajukan tuntutan hak berupa  gugatan melalui Pengadilan yang mempunyai kewenangan yurisdiksi.

Batasan makna dari suatu PERJANJIAN dapat dirumuskan sebagai berikut, “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang atau lebih  saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal”. Dari peristiwa hukum berupa perjanjian tersebut, maka  timbullah suatu hubungan antara dua orang atau beberapa orang itu,  yang dinamakan PERIKATAN. Konsekwensi yuridis dengan diadakannya suatu PERJANJIAN maka terbit  suatu perikatan antara dua orang atau beberapa orang  yang membuatnya. Apabila ditinjau dari segi bentuknya maka  perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan dalam bentuk klausula – klausula yang mengandung janji – jani atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Konsepsi ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang menentukan bahwa perjanjian itu dapat berbentuk tertulis (written agreement) atau berbentuk tidak tertulis (unwritten agreement).

Hubungan antara “perikatan” dan “perjanjian” adalah bahwa “perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumber – sumber yang lain”. Perjanjian juga dinamakan “persetujuan”, karena dua pihak atau beberapa pihak yang sepakat mengikatkan diri,  setuju untuk melakukan sesuatu. Dalam konteks sahnya suatu perjanjian maka “sesuatu hal atau prestasi” tersebut tidak boleh bertentangan dengan hukum atau peraturan perundang – undangan dan kepatutan). Terminologi “perjanjian” dan “persetujuan” mengandung makna artificial yang sama. Sedangkan istilah “kontrak”, lebih sempit karena hanya dimaksudkan atau ditujukan pada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.

Secara prinsip, perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, oleh karena perikatan itu paling banyak diterbitkan atau timbul berdasarkan  suatu perjanjian yang diadakan oleh para pihak. Namun demikian, terdapat pula  sumber – sumber lain yang dapat menerbitkan atau melahirkan perikatan. Sumber – sumber tersebut antara lain berasal dari ketentuan  undang – undang dan kebiasaan. Dengan demikian, menurut Penulis 3 (tiga) sumber yang dapat menerbitkan atau melahirkan  perikatan, yaitu; 1)  “perjanjian”, 2)  “undang – undang”, 3) “kebiasaan” atau adat istiadat” (customs).

Oleh karena itu, secara mendasar dapat dikatakan bahwa perjanjian merupakan sumber perikatan yang terpenting. Perikatan adalah suatu pengertian abstrak yang oleh Penulis lebih tepat digolongkan sebagai “PERISTIWA HUKUM”, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit. yang oleh Penulis lebih dikualifikasikan “KESEPAKATAN INDIVIDUAL YANG BERSIFAT FAKULTATIF”.  Perikatan yang lahir dari perjanjian, secara prinsip dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian tersebut, sedangkan perikatan yang lahir dari undang – undang dapat terjadi berdasarkan kemauan/kehendak  para pihak yang bersangkutan atau tanpa adanya kehendak/kemauan para pihak. Dalil yang dikemukakan tersebut termasuk uraian yang akan dijelaskan selanjutnya dalam karya ilmiah ini, disadari oleh Penulis mungkin akan mendapat tanggapan dan/atau kritisi dari kalangan Ahli Hukum dan elemen akademisi, sehingga perlu didiskusikan lebih lanjut sebagai sarana pembangunan dan pengembangan ilmu hukum.

Perikatan yang bersumber dari  undang – undang dapat diklasifikasikan lagi menjadi: 1) perikatan yang ditentukan oleh undang – undang saja, dan 2) perikatan berdasarkan  undang – undang yang berhubungan dengan perbuatan orang.  Secara konsptual “perikatan berdasarkan  undang – undang yang berhubungan dengan perbuatan orang” dapat diidentifikasi lagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:  1) perikatan yang timbul dari  perbuatan hukum yang halal,  dan 2) perikatan yang timbul akibat perbuatan melanggar hukum.

Sebagai komparasi dapat dikemukakan contoh perikatan yang timbul/lahir berdasarkan ketentuan undang – undang yang bersifat imperatif yaitu undang – undang meletakkan kewajiban kepada orang tua dan anak untuk saling memberikan nafkah (kewajiban alimentasi). Begitu pula aturan  imperatif dalam undang – undang mengenai prinsip umum bahwa antara pemilik – pemilik pekarangan yang bertentangan, berlaku beberapa hak dan kewajiban yang berdasarkan atas ketentuan – ketentuan undang – undang (pasal 625 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata).

Begitupula kewajiban hukum yang termaktub dalam undang – undang, yang menentukan  bahwa apabila   seorang, dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain, maka ia berkewajiban untuk untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu. Pihak yang kepentingannya diwakili diwajibkan memenuhi perjanjian – perjanjian  yang dibuat oleh si wakil itu atas namanya, dan menggantikan semua pengeluaran yang sudah dilakukan oleh si wakil tadi. Antara dua orang itu ada suatu perikatan yang lahir dari undang – undang karena perbuatan seseorang. Dalam peristiwa hukum demikian maka “perbuatan orang yang  mewakili urusan orang lain  tersebut”  adalah suatu perbuatan yang halal atau sah meskipun tanpa adanya persetujuan terlebih dahulu dari orang/pihak yang diwakili atau diurus kepentingan hukumnya. Konsekwensi yuridis dari adanya hubungan hukum antara 2 (dua)  orang tersebut adalah menimbulkan atau menerbitkan  beberapa hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai asas pacta sunt servanda,  sebagaimana halnya pemenuhan  hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian pada umumnya (Pasal 1354  Kitab Undang – Undang Hukum Perdata).

Deskripsi lain bekaitan dengan perjanjian  yaitu konsepsi yang mendalilkan bahwa “Tiap – tiap pembayaran memperkirakan adanya suatu utang”. Dalil tersebut menimbulkan implikasi yuridis bahwa “Sesuatu yang dibayarkan dengan tidak diwajibkan, maka dapat dituntut agar dilakukan pengembalian atas pembayaran tersebut”. Dalam konteks peristiwa hukum “adanya pembayaran yang tidak diwajibkan” maka sesuai dengan ketentuan undang – undang bahwa antara orang yang membayar tanpa diwajibkan dan orang yang menerima pembayaran, ditetapkan suatu perikatan. Orang atau pihak  yang telah terlanjur  membayar berhak menuntut kembali, sedangkan orang yang menerima pembayaran berkewajiban mengembalikan pembayaran itu, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1359 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.

Perikatan yang timbul dari akibat Perbuatan Melawan/Melanggar Hukum (onrechtmatige daad, unlawful act) salah diantaranya diatur dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang merumuskan,”Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Dalam peristiwa hukum ini terdapat suatu kejadian yang menimbulkan perikatan, yang oleh ketentuan undang – undang ditetapkan suatu Hubungan Hukum (rechtsbetrekkin, legal relationship) antara dua orang, yaitu antara orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum (pelakua perbuatan) dan orang yang menderita kerugian karena perbuatan tersebut (korban perbuatan). Perikatan seperti ini pada pokoknya lahir atau timbul akibat adanya “suatu perbuatan yang melanggar hukum”.

 

Writer and Copy Right:
Dr. Appe  Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant