PENGERTIAN – PENGERTIAN DASAR PENGANTAR ILMU HUKUM

Scales

PENGERTIAN – PENGERTIAN DASAR PENGANTAR ILMU HUKUM

 

Subyek hukum ialah pemegang/pendukung  hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi subyek hukum dalam sistem hukum Indonesia, ialah individu (manusia),  badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi), dan tokoh atau pejabat (jabatan);

  1. MANUSIA/Pribadi Kodrati  (natuurlijke persoon). Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagai pemegang hak mulai ia dilahirkansampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang menghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang oleh hukum dipandang sebagai subyek hukum yang “tidak cakap” untuk bertindak menurut hukum. Maka dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau dibantu oleh orang lain, seperti anak yang masih dibawah umur (belum dewasa, dan/atau belum menikah) , dan orang yang berada dalam pengampunan (curatele) seperti orang yang sakit ingatan, pemabuk, pemboros;
  1. BADAN HUKUM/Pribadi Hukum  (recht persoon). Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi status “persoon” oleh hukum,  sehingga mempunyai hak dan kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak seperti manusia, misalnya  melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan dan diberi sanksi administratif lainnya, bahkan dapat dipidana;

Pada perkembangannya Badan Hukum juga dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum. Korporasi mulai diposisikan sebagai subjek hukum pidana dengan ditetapkannya UU Darurat No. 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

Begitu pula selanjutnya,  Badan Hukum sebagai subyek hukum pidana diatur dalam: Undang – Undang No. 11/PNPS Tahun 1964 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, Undang – Undang  Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal,     Undang-Undang No. 38 Tahun 2004  Tentang Jalan (“UU Jalan”),  Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) sebagaimana telah diubah dengan ,  dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

PIDANA Harta Kekayaan (quasi criminal property law) adalah hukum pidana modern untuk menjerat kejahatan bisnis terorganisasi, di sini disebut kejahatan korporasi. Menurut Profesor Indriyanto Seno Adjie takkan dapat dijangkau dengan hukum pidana konvensional.

Dalam hukum perdata (Indonesia) telah lama diakui bahwa suatu badan hukum (sebagai suatu subyek hukum mandiri; persona standi in judicio) dapat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatig handelen; tort). Penafsiran ini dilakukan melalui asas kepatutan (doelmatigheid) dan keadilan (bilijkheid). Oleh karena itu dalam hukum perdata suatu badan hukum (legal person) dapat dianggap bersalah melakukan perbuatan melawan hukum, disamping para anggota direksi sebagai natural persons.

Pasal 1 angka 21 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UUP3H) berbunyi: “Setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi yang melakukan perbuatan perusakan hutan secara terorganisasi di wilayah hukum Indonesia dan/atau berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia”.

Pasal 1 angka 22 UUP3H menyebutkan: “Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang teroganisasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum”.

  1. Tokoh atau Pejabat (Jabatan), yaitu pejabat  atau institusi yang menjalankan fungsi dan kewenangannya sebagai administrasi/aparatur negara;

 

PERISTIWA HUKUM

Peristiwa hukum adalah  peristiwa yang ada dalam masyarakat yang akibatnya diatur oleh hukum, atau dapat dikatakan bahwa peristiwa hukum adalah peristiwa yang menimbulkan akibat hukum.

Ciri-cirinya yaitu:

  1.  Peristiwa hukum terjadi jika ada norma hukum yang mengaturnya;
  2.  Menimbulkan akibat hukum.

PERISTIWA HUKUM YANG MERUPAKAN PERBUATAN SUBYEK  HUKUM adalah perbuatan yang akibatnya di atur oleh hukum dan di anggap di kehendaki oleh pelaku perbuatan, yang dapat dibedakan menjadi:

  1. Perbuatan hukum bersegi  satu  adalah perbuatan hukum yang akibatnya di kehendaki sendiri/oleh satu pihak saja;
  1. Perbuatan hukum bersegi dua  adalah perbuatan hukum yang akibatnya di kehendaki oleh  kedua belah  pihak (perjanjian);

Peristiwa hukum lainnya yang timbul akibat ketentuan yang diatur oleh undang – undang, yaitu:

1)    Zaakwaarneming: perbuatan yang sesuai dengan asas-asas hukum, misal pasal 1354, KUHPerdata memperhatikan/mengurus kepentingan orang lain dengan tidak di minta;

2)    Onrechtmatigedaad: Perbuatan yang akibatnya bertentangan dengan hukum, baik dikehendaki maupun dikehendaki oleh pelaku dan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, contoh ketentuan yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata;

 

PERISTIWA HUKUM YANG BUKAN MERUPAKAN PERBUATAN SUBYEK HUKUM: 

1)        Kelahiran.

Akibat hukum dari kelahiran  menimbulka  hak dan kwajiban, yaitu  hak bagi anak, sedangkan di pihak lain  kewajiban bagi orang tua; Kewajiban dalam hal ini di namakan alimentasi;

2)        Kematian

Kematian juga menimbulkan hak dan kewajiban, yaitu hak dan kewajiban  bagi Ahli Waris;

Menurut Prof. DR. Soerjono Soekanto, SH., MA. Dan Prof. Purnadi Purbacaraka, SH., yaitu ada 3 (tiga) kelompok peristiwa hukum, yaitu:

  1. Keadaan yang mungkin bersegi:

–       Alamiah, misalnya siang hari atau malam hari;

–       Kejiwaan, misalnya normal atau abnormal;

–       Sosial, keadaan darurat/perang;

  1. Kejadian, misalnya keadaan darurat/perang;
  2. Sikap tindak dalam hukum, yang dibedakan:

3.1.   Sikap tindak menurut  hukum yang mungkin sepihak atau jamak pihak (perjanjian);

3.2.      Sikap tindak melanggar hukum yang berupa:

  • Exess de pouvoir/melampai batas kekuasaan di bidang hukum tata negara;
  • Detournement de pouvoir/menyalahgunakan kekuasaan di bidang hukum administrasi negara;
  • Onrechmatigedaad/Perbuatan Melanggar Hukum di bidang Perdata;
  • Strafbaar feit/ tindak pidana sesuai ketentuan hukum pidana;

3.3.    Sikap tindak lain, misalnya jual beli dalam hukum adat, atau zaakwaarneming menurut Pasal 1354 BW (KUHPerdata);

 

HUBUNGAN HUKUM

Hubungan hukum (Rechtsbetrekking, legal relationship) adalah hubungan antara 2 (dua) atau lebih subyek hukum (rights and obligations) mengenai hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum. Secara factual  “hukum hukum”  mengatur hubungan – hubungan  (relationships) antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara orang dengan masyarakat, antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. “Hukum hukum”  terdiri atas ikatan – ikatan  antara individu dengan individu dan antara individu dengan masyarakat dan seterusnya. Secara umum dapat dijelaskan bahwa  “hubungan hukum” adalah hubungan yang diatur oleh hukum. Adapun hubungan yang tidak diatur oleh hukum bukan merupakan hubungan hukum. Secara garis besar hubungan hukum dapat dibedakan menjadi:

  1. Hubungan nebeneinander/sederajat dan hubungan nacheinander/beda derajat;

Yang sederajat tidak hanya terdapat dalam hukum perdata, tetapi juga dalam Hukum Tata Negara (Hukum Negara) misalnya antara provinsi yang satu dengan yang lainnya. Yang beda derajat tidak hanya dalam Hukum Negara (antara Penguasa dengan Warga), tetapi juga dalam Hukum Perdata (antara orang tua dan anak);

  1. Hubungan timbal  balik  dan hubungan timpang  (bersifat sepihak);

Disebut timbal balik hubungan itu, karena para pihak sama – sama mempunyai hak dan kewajiban (contoh: Perjanjian Kerjasama). Dalam hubungan timpang, maka pihak yang satu hanya mempunyai hak saja  sedangkan pihak lain hanya mempunyai kewajiban saja (contoh: Hibah dan Wasiat);

Berdasarkan uraian diatas, maka secara umum Hubungan Hukum dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:

  1. Hubungan hukum bersegi satu (eenzijdige rechtsbetrekkingen)
    Dalam hal hubungan hukum yang bersegi satu hanya satu pihak yang berwenang. Pihak lain hanya berkewajiban. Jadi dalam hubungan hukum yang bersegi satu hanya ada satu pihak saja berupaya memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu (pasal 1234 KUH Perdata)

Misalnya :

–       Tiap perikatan untuk memberikan sesuatu diatur dalam Pasal 1235 s/d 1238 KUH Perdata;

–       Pasal 1235 KUH Perdata, berbunyi “dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan.
Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebih luas terhadap persetujuan-persetujuan tertentu, yang akibatnya mengenai hal ini akan ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan”;

–       Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu diatur dalam Pasal 1239 s/d 1242 KUH Perdata;

Pasal 1239 KUH Perdata berbunyi:
“Tiap-tiap  perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban penggantian biaya, rugi dan bunga”.

2. Hubungan hukum bersegi dua (tweezijdige rechtsbetrekkingen)

Contoh: :
Dalam suatu perjanjian jual-beli kedua belah pihak (masing-masing) berwenang/berhak meminta sesuatu dari pihak lain. Tetapi sebaliknya kedua belah pihak (masing-masing) juga berkewajiban untuk memberi sesuatu pada pihak yang lain (Pasal 1457 KUH Perdata);

3.  Hubungan antara “satu” subyek hukum dengan “semua” subyek hukum lainnya
Selain hubungan hukum bersegi satu dan bersegi dua di atas, acapkali masih ada hubungan antara subyek hukum dengan subyek hukum lainnya. Hubungan ini terdapat dalam hal “eigendomsrecht” (hak milik)

Contoh: :
Menurut Pasal 570 KUHPerdata, yang menjadi pemilik tanah berhak/berwenang memungut segala kenikmatan (genot) dari tanah itu, asal saja pemungutan kenikmatan itu tidak dilakukan secara bertentangan dengan peraturan hukum atau bertentangan dengan kepentingan umum. Pemilik berhak pula memindah-tangankan atau vervreemden (menjual, memberikan, menukar, mewariskan) secara legal. sebaliknya “semua” subyek hukum lainnya berkewajiban mengakui bahwa yang mempunyai tanah adalah pemiliknya dan berhak memungut segala kenikmatan dari tanah itu.

Ditinjau  dari sifat hubungannya ,  maka hubungan hukum dapat dibedakan antara “hubungan hukum yang bersifat privat dan “hubungan hukum yang bersifat publik. Dalam rangka mengklasifikasikan suatu  hubungan hukum apakah bersifat publik atau privat yang menjadi indikator bukanlah subyek hukum yang melakukan hubungan hukum itu, melainkan hakikat hubungan itu atau hakikat transaksi yang terjadi (the nature transaction). Apabila hakekat hubungan itu bersifat privat, hubungan itu dikuasai oleh hukum privat. Apabila dalam hubungan itu timbul sengketa, siapapun yang menjadi pihak dalam sengketa itu, sengketa itu berada dalam kompetensi peradilan perdata. Demikian pula,  apabila hakekat hubungan itu bersifat publik, yang menguasai adalah hukum publik, sehingga  lembaga yang  mempunyai kompetensi untuk menangani sengketa demikian adalah pengadilan dalam ruang lingkup hukum publik, apakah pengadilan administrasi, peradilan pidana, atau badan peradilan lainnya.

 

OBYEK HUKUM

Obyek Hukum adalah segala sesuatu yang berada dalam pengaturan hukum dan dapat dimanfaatkan oleh subyek hukum (manusia, badan hukum, dan tokoh/jabatan/pejabat) berdasarkan hak dan kewajiban Subyek  Hukum yang bersangkutan. Jadi, obyek itu haruslah sesuatu yang pemanfaatannya diatur berdasarkan hukum, pada hakekatnya adalah benda atau barang, misalnya dalam hal:  jual beli, sewa-menyewa, waris-mewarisi, perjanjian dan sebagainya.

Obyek hukum merupakan kepentingan bagi subyek hukum, dan kepentingan itu mungkin:

  1. Bersifat materil dan berwujud (dalam bahasa Indonesia disebut Benda/Barang);
  2. Bersifat immateril, seperti obyek hak cipta yang tidak harus disamakan dengan hasil ciptaannya. Misalnya patung sebagai sesuatu yang berwujud adalah material, tetapi ide/model patung itu adalah immaterial. Dalam hukum adat gelar juga termasuk obyek immaterial;

Writer and Copy Right:
Dr. Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant

Leave a Reply