REFORMASI BIROKRASI PEMERINTAHAN
Reformasi Birokrasi (bureaucratic reform) merupakan upaya pembinaan, penyempurnaan dan pengendalian manajemen pemerintahan secara terencana, sistematis, bertahap, komprehensif dan berkelanjutan untuk meningkatkan kinerja seluruh aparatur negara (staatsapparat) dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik. “Birokrasi berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah suatu sistem kontrol dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan – aturan yang rasional dan sistematis, dan bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitas – aktivitas kerja individu dalam rangka penyelesaian tugas – tugas administrasi berskala besar (disarikan dari Blau & Meyer, 1971; Coser & Rosenberg, 1976; Mouzelis, dalam Setiawan, 1998)”.[1]
Birokrasi (bureaucracy, bureaucratie) adalah organisme hidup yang tumbuh dan berkembang karena ada keterkaitan dan saling ketergantungan antar faktor secara biologis, sosial, dan lingkungannya (deep ecology). “Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat modern yang kehadirannya tak mungkin terelakkan. Eksistensi birokrasi ini sebagai konsekuensi logis dari tugas utama negara (pemerintahan) untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Negara dituntut terlibat dalam memproduksi barang dan jasa yang diperlukan oleh rakyatnya (public good and services) baik secara langsung maupun tidak lansung, bahkan dalam keadaan tertentu negara yang memutuskan apa yang terbaik bagi rakyatnya. Untuk itu negara membangun sistem administrasi yang bertujuan untuk melayani kepentingan rakyatnya yang disebut dengan istilah birokrasi”.[2]
Selanjutnya Delly Mustafa juga mengintrodusir pendapat Weber mengenai batasan makna “birokrasi” sebagai suatu komparasi. “Menurut Weber (dalam Suradinata, 2002:27) Birokrasi adalah sebagai salah satu sistem otorita yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai peraturan”.[3] Birokrasi merupakan organisasi yang melaksanakan fungsi tertentu berdasarkan hierarki jabatan dan wewenang. Dapat dikatakan bahwa b irokrasi adalah mesin sebuah negara yang melaksanakan semua kebijakan dan keputusan politik;
Kegagalan pembangunan seringkali disebabkan oleh “birokrasi yang bobrok atau rusak” dan/atau “birokrasi yang tidak mempunyai kompetensi”. Oleh karena itu, penting dilakukan reformasi birokrasi secara total dan komprehensif, dengan maksud reformasi merupakan upaya untuk melakukan transformasi dalam arti menciptakan kerangka baru beberapa tujuan yang ingin dicapai organisasi negara melalui organ – organ pemerintahan.
Reformasi Birokrasi merupakan proses transformasi sistem, struktur dan kultur untuk mencapai kinerja birokrasi yang lebih efisien, efektif dan profesional dalam pemerintahan yang demokratis. Lingkup cakupan reformasi birokrasi, meliputi:
- Konstruksi atau rekonstruksi sebuah negara (perubahan proses dan institusi);
- Modernisasi negara (struktur administrasi, kapasitas managerial, management keuangan, teknologi yang memadai);
- Rekonfigurasi peran negara (kemitraan dengan swasta);
- Revitalisasi demokrasi (meningkatkan partisipasi publik dalam kebijakan);
Pertimbangan dilakukannya reformasi birokrasi, antara lain:
- Dalam jangka pendek harus mampu menunjukkan dampak positif dari perubahan;
- Mempertimbangkan dampak negatif yang paling kecil;
- Harus ada dorongan motivasi;
- Harus ada kepastian;
- Pegawai Negeri adalah suatu pilihan profesi. Oleh karena itu, adalah wajar jika muncul tuntutan akan adanya suatu standar gaji dalam rangka memenuhi beban tugas, tanggung jawab, kualifikasi, prestasi, periode waktu kerja serta tingkat biaya hidup;
Terdapat beberapa keadaan yang dapat mengakibatkan penyelenggaraan tugas dan fungsi birokrasi menjadi tidak efektif, yaitu:
- Karena adanya kewenangan hierarki secara vertikal;
- Seringkali unit – unit organisasi yang dipandang memiliki konflik kompetensi dengan unit diatasannya akan diabaikan dalam proses pengambilan keputusan;
- Sistem rekruitmen yang cenderung ke pendekatan oligarki tidak pada meritokrasi;
- Munculnya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang mengabaikan prinsip impersonal;
- Pengabaian terhadap akuntabilitas, dimana para birokrat seringkali tidak mendokumentasikan proses yang telah dilakukannya secara lengkap, tidak transparan;
- Tugas yang terlalu spesifik sehingga setiap individual pegawai hanya mementingkan tugasnya tanpa melihat dampaknya secara keseluruhan pada organisasi;
- Prosedur yang terlalu rigid seringkali menghambat proses pengambilan keputusan, bahkan tidak dirancang untuk menghadapi kasus – kasus tertentu yang tidak lazim sebagaimana tertuang dalam aturan, sehingga tidak memberikan ruang untuk inovasi dan adaptasi;
- Kebenaran dalam organisasi hanya kebenaran menurut aturan yang berlaku, sehingga tidak memungkinkan organisasi menyadari dan memperbaiki kesalahan – kesalahan serta keterbatasannya;
- Tidak memberikan kesempatan pada pendapat berbeda (yang mungkin lebih rasional dan realistis) ketika mayoritas dalam organisasi sudah memiliki kesepakatan yang menurut aturan benar;
- Kecenderungan birokrasi yang terus – menerus menciptakan aturan – aturan yang akhirnya menimbulkan kompleksitas dan melemahkan koordinasi;
Secara konseptual maka pengertian “governance” lebih kompleks apabila dibandingkan dengan “government”. Government adalah manajemen penyelenggaraan negara dilihat sebagai serba pemerintah, dimana pemerintah dinilai sebagai aktor sentral dalam mobilisasi sumber daya untuk kepentingan pembangunan. Sedangkan governance mengandung makna bahwa pemerintah dipandang sebagai salah satu aktor, disamping dunia usaha dan masyarakat. Hubungan ketiga aktor dalam posisi sejajar, setara, saling mengontrol (checks and balances), dan membentuk struktur jejaring (networking) dalam suatu sistem sosial politik Pemerintah. Governance memuat kategori nilai yang merentang dari yang sangat negatif ke nilai yang sangat positif.
Pembaharuan (renewal) dan perubahan (changing) mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan, terutama menyangkut aspek – aspek: kelembagaan (organization), ketatalaksanaan (business process), dan sumber daya manusia aparatur. Oleh karena itu dapat dikemukakan alasan – alasan, perlunya dilakukan reformasi birokrasi, yaitu:
- Birokrasi dipandang sudah kurang efektif sebagai instrumen penyelenggara pemerintahan;
- Tuntutan akibat perubahan lingkungan strategis;
- Menerapkan asas – asas umum pemerintahan yang baik;
Dewasa ini, negara – negara maju telah menerapkan sistem “birokrasi modern” yang meliputi:
- Efisiensi, efektivitas dan kualitas pelayanan;
- Desentralisasi, dimana sistem pengambilan keputusan terhadap alokasi sumber daya didekatkan pada “point of delivery”;
- Fleksibilitas untuk melakukan pengaturan yang secara langsung akan menghasilkan cost effective policy outcomes;
- Penciptaan iklim kompetisi dan produktivitas untuk menghasilkan pelayanan yang efisien;
- Penguatan kapasitas stratejik pemerintah sebagai steer (pengatur) yang akan mengarahkan organisasi pemerintah melakukan evaluasi dan merespons berbagai perubahan eksternal pada biaya yang rendah;
- Fokus pada penyelarasan kewenangan dan tanggung jawab sebagai kunci peningkatan kinerja;
- Penerapan akuntabilitas dan transparansi;
Secara umum dapat disebutkan beberapa hal yang berhubungan dengan pemerintahan yang menjalankan sistem birokrasi modern, yaitu:
I. KRITERIA INSTANSI PEMERINTAH YANG MEMILIKI KINERJA TINGGI:
– Menjalankan tupoksi secara konsisten;
– Memiliki disiplin, loyalitas, dan etos kerja yang tinggi;
– Adanya konsistensi antara perencanaan dengan pelaksanaan;
– Memiliki manajemen dan prosedur kerja yang jelas;
– Kinerja pelayanan publik yang optimal;
– Memiliki perencanaan secara sistematis dan aspiratif serta berdasarkan kinerja;
– Memiliki visi dan misi organisasi yang jelas;
– Berorientasi pada hasil kegiatan dan manfaat kegiatan;
II. PEMERINTAHAN YANG EFISIEN, AKUNTABEL DAN PROFESIONAL:
- Memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat sebagai pembayar pajak;
- Memberikan pertanggungjawaban tentang penerimaan dan penggunaan sumber – sumber keuangan publik;
- Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas internal instansi pemerintah dan menjadikan anggaran publik sebagai salah satu basis pengambilan keputusan (management control);
III. PRINSIP MENEGAKKAN KEWENANGAN:
- Kewenangan adalah alat, bukan tujuan;
- Penggunaan kewenangan untuk mewujudkan peran;
- Kewenangan tidak boleh digunakan sewenang – wenang;
- Penggunaan kewenangan merupakan sebuah siklus dari hulu ke hilir (sebab akibat) dan kembali ke hulu;
- Wewenang pejabat pemerintah dapat membuat kebijakan yang dapat berbentuk keputusan yang bersifat pengaturan dan penetapan;
- Pembuatan kebijakan terikat oleh kewenangan yang dimiliki berdasarkan pada peraturan perundang – undangan;
- Keputusan tanpa adanya wewenang yang dimiliki pejabat pemerintah, tidak mungkin melakukan keputusan yang sah, berarti wewenang itu mengandung cacat hukum atau terjadi maladministrasi;
- Maladministrasi menjadi tanggung jawab pribadi pejabat pemerintah yang bersangkutan;
IV. WEWENANG PEJABAT PEMEINTAHAN MELIPUTI:
- Kewenangan atributif bersumber dari UUD Negara RI Tahun 1945;
- Kewengangan delegatif bersumber dari kewenangan atributif, diatur dalam peraturan perundang – undangan;
- Penugasan dalam bentuk mandat, bersumber dari kewenangan delegatif, yaitu pejabat sebagai delegator kepada pejabat dibawahnya;
V. RUANG LINGKUP KEWENANGAN DISKRESI:
- Pengambilan keputusan atau tindakan berdasarkan peraturan perundang – undangan yang memberikan suatu pilihan dan/atau tindakan;
- Pengambilan keputusan atau tindakan karena peraturan perundang – undangan tidak ada;
- Pengambilan keputusan atau tindakan karena peraturan perundang – undangan tidak jelas;
- Pengambilan keputusan atau tindakan karena keadaan mendesak guna kepentingan yang lebih luas;
VI. TUJUAN DISKRESI:
- Untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan;
- Untuk mengisi kekosongan hukum;
- Untuk memberikan kepastian hukum;
- Untuk mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu;
VII. FUNGSI DISKRESI:
- Fungsi preventif yaitu mencegah terjadinya stagnasi dalam penyelenggaraan pemerintahan;
- Fungsi represif yaitu mengoptimalkan penyelenggaraan pelayanan terhadap masyarakat;
- Fungsi kuratif yaitu menormalisasi penyelenggaraan pemerintahan;
VIII. PERSYARATAN DISKRESI:
(1) Syarat substantif penggunaan diskresi meliputi:
- Sesuai dengan tujuan penggunaan diskresi;
- Sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang menjadi dasar diskresi;
- Sesuai dengan asas – asas umum pemerintahan yang baik;
(2) Syarat formal penggunaan diskresi meliputi:
- Dilakukan oleh pejabat yang memiliki kewenangan mengambil keputusan;
- Tidak menimbulkan konflik kepentingan;
- Berdasarkan alasan – alasan obyektif;
- Tidak menyalahgunakan wewenang dan/atau tidak bertindak sewenang – wenang;
Pejabat yang menggunakan diskresi wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi serta dampak administrasi dan keuangan negara;
IX. AKIBAT HUKUM PENGGUNAAN DISKRESI:
- Keputusan diskresi sebagaimana yang menyalahgunakan wewenang mengakibatkan keputusan diskresi dan/atau tindakan dapat dibatalkan;
- Pejabat pemerintahan yang membuat keputusan diskresi wajib memperbaiki atau mencabut keputusan diskresi;
- Pejabat pemerintah yang menggunakan diskresi yang tidak melaksanakan syarat formal dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik, dan keputusannya menjadi batal demi hukum;
Konsekwensi yuridis dari penggunaan diskresi dalam rangka reformasi birokrasi pemerintahan menuju tata kelola pemerintahan yang baik apabila timbul akibat hukum, yaitu Badan Hukum, bukan Badan Hukum atau perorangan yang menerima pelayanan atau aparatur pemerintah (badan/pejabat pemerintahan) dapat mengajukan keberatan atas keputusan pejabat pemerintah yang merugikan tersebut. Keberatan dilakukan melalui upaya administratif, kepada atasan pejabat yang mengeluarkan keputusan. Dalam hal demikian, maka masalah administrasi pemerintahan, terlebih dahulu diselesaikan dalam lingkup instansi pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara. Jika terdapat indikasi pidana dan perdata, setelah upaya administratif dilanjutkan sesuai ketentuan hukum yang berlaku;
Berkaitan dengan reformasi birokrasi pemerintahan, maka hal yang sangat berhubungan dengan tata kelola pemerintahan yang baik adalah penggunaan diskresi sebagai wewenang pejabat pemerintah yang memungkinkan untuk melakukan pilihan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan. secara ex officio “Pejabat Pemerintah” adalah pejabat yang karena kedudukan, tugas dan fungsinya memiliki kewenangan untuk melakukan diskresi dalam rangka mengeluarkan suatu keputusan atau ketetapan. Keputusan adalah ketetapan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang bersifat tertulis dan/atau tidak tertulis dalam lapangan Hukum Administrasi Negara atau Hukum Tata Pemerintahan, berkaitan dengan tugas dan fungsinya sebagai aparatur penyelenggara negara/pemerintahan. Sedangkan pengertian dari “Tindakan” adalah aktivitas pejabat Pemerintah (aparatur negara) untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan materil atau faktual dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
[1] Delly Mustafa, Birokrasi Pemerintahan, Penerbit Alpabeta Bandung, Bandung, Cetakan Kesatu, Tahun 2013, hlm.2.
[2] Delly Mustafa, Ibid, hlm. 3 – 4.
[3] [3] Delly Mustafa, Ibid, hlm. 4.
Writer and Copy Right: Dr. Appe Hutauruk, SH., MH. Lecturer, Advocate and Legal Consultant