DEMOKRASI KONSTITUSIONAL
Karakteristik dari demokrasi konstitusional ialah “gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang – wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan – pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi; maka dari itu sering disebut “pemerintah berdasarkan konstitusi” (constitutional government). Jadi, constitutional government identik dengan limited government atau restrained government. Sehubungan dengan telaah mengenai demokrasi, “Prof. Sidney Hook menguraikan bahwa demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana keputusan – keputusan penting pemerintah, atau garis kebijaksanaan di belakang keputusan – keputusan tersebut, secara langsung atau tidak langsung, hanya dapat berlangsung jika disetujui secara bebas oleh mayoritas masyarakat dewasa yang berada dalam posisi yang diperintah. Hal ini membuat demokrasi secara esensial merupakan konsep politik, bahkan apabila ia digunakan, dan kadang – kadang disalahgunakan, untuk menggolong – golongkan institusi non politik”.[1]
Prinsip dasar bahwa “kekuasaan Pemerintah perlu dibatasi”, telah dirumuskan oleh seorang ahli sejarah Inggris, Lord Acton, dengan menyatakan bahwa pemerintahan selalu diselenggarakan oleh manusia dan pada diri manusia tanpa kecuali melekat banyak kelemahan atau kekurangan. Lord Acton mengemukakan postulat yang terkenal berbunyi sebagai berikut: “Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely” (Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan mdenyalahgunakannya).
Pada akhir abad ke – 19 “DEMOKRASI KONSTITUSIONAL” muncul sebagai suatu program dan sistem politik yang konkrit dan relevan, yang secara yuridis dirumuskan dalam prinsip – prinsip Rechtsstaat (Negara Hukum) dan Rule of Law, dengan doktrin bahwa pembatasan atas kekuasaan negara sebaiknya diselenggarakan dengan suatu konstitusi tertulis, yang dengan tegas menjamin hak – hak azasi dari warga negara. Oleh karena itu kekuasaan (power, authority) harus dipisahkan dan dibatasi secara tegas, sehingga kesempatan penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindari atau setidak – tidaknya diperkecil, yaitu dengan cara mendistribusikan atau membagi kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas) kepada beberapa orang atau badan/lembaga, tidak boleh dikonsentrasikan pada satu orang atau satu badan/lembaga.
Meskipun secara historis, demokrasi baru pada akhir abad ke – 19 mencapai wujud yang konkrit, tetapi demokrasi sebenarnya sudah mulai berkembang di Eropa Barat dalam abad ke – 15 dan ke – 16. Selanjutnya demokrasi abad ke -19 memiliki karakteristik dengan adanya beberapa asas yang menjadi dasar, seperti kebebasan manusia terhadap segala bentuk kekangan dan kekuasaan sewenang – wenang baik di bidang agama, maupun di bidang pemikiran serta di bidang politik. Jaminan dan perlindungan terhadap hak – hak asasi manusia dianggap paling penting dan utama. Negara hanya berfungsi sebagai Penjaga Malam (Nachtwachtersstaat) yang hanya campur tangan dalam kehidupan rakyatnya dalam batas – batas yang sangat sempit.
Demokrasi tidak merupakan ide atau gagasan yang bersifat “STATIS”, akan tetapi dapat terus berkembang sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman dan peradaban umat manusia. Oleh karena itu, dalam perkembangan demokrasi, sekitar abad ke – 20, terutama sesudah Perang Dunia II, NEGARA DEMOKRATIS telah merubah paradigma yaitu dari pandangan semula bahwa “peranan negara hanya terbatas pada mengurus kepentingan bersama”, kemudian dianggap bahwa negara turut bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat dan karena itu harus aktif berusaha untuk menaikkan taraf kehidupan warga negaranya. Gagasan ini dituangkan dalam konsep mengenai Negara Kesejahteraan (Welfare Satate) atau Social Service State. Demokrasi dalam abad ke – 20 tidak lagi membatasi diri pada aspek politik saja seperti dalam abad ke – 19, tetapi mengalami perkembangan secara evolusioner dan meluas sehingga mencakup juga segi – segi ekonomi sehingga demokrasi menjadi demokrasi ekonomis. Perkembangan ini telah terjadi secara pragmatis sebagai hasil dari usaha mengatasi tantangan – tantangan yang dihadapi dalam abad ke – 20. Bersesuaian dengan deskripsi diatas, Kuntjoro Purbopranoto mengatakan, “Kalau dulu tugas/tujuan pemerintahan itu hanya membuat dan mempertahankan hukum atau dengan kata lain: hanya menjaga ketertiban dan ketenteraman (orde en rust) saja. Tetapi sekarang tujuan/tugas pemerintahan tidak hanya melaksanakan undang – undang (legis executio) – menurut Maurice Duverger dan Hans Kelsen – atau untuk merealisir kehendak negara (Staatswil; general will) – Jellinek, tetapi lebih luas dari itu, yaitu menyelenggarakan kepentingan umum (service publique, public service) – demikian antara lain Kranenburg dan Malezieu”. [2]
[1] Satya Arinanto, Hukum dan Demokrasi, Penerbit Ind – Hill – C0, Jakarta, Tahun 1991, hlm. 4.
[2] Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Penerbit Alumni, Bandung, Tahun 1981.
Writer and Copy Right: Dr. (Cand.) Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH. Lecturer, Advocate and Legal Consultant Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002