PENEGAKKAN HUKUM YANG DISKRIMINATIF (TEBANG PILIH)
Ketentuan Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 dengan tegas menyebutkan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Dalam kenyataan yang sebenarnya, justeru ketentuan imperatif dalam rumusan pasal tersebut sering dilanggar bahkan diamputasi para petugas berseragam yang menamakan dirinya PENEGAK HUKUM.
Paradoks penegakkan hukum yang menjadi realitas memilukan adalah disatu sisi apabila masyarakat miskin yang yang melakukan kesalahan ringan namun mereka diganjar dengan hukuman yang berat, sedangkan di sisi lain apabila kelompok BORJUIS yang melakukan kejahatan berat akan tetapi mereka hanya mendapat hukuman yang sangat ringan. Meskipun dalam hukum terdapat asas “HUKUM TIDAK BOLEH BERBELAS KASIHAN”, namun kebijakan penal yang terkandung dalam asas tersebut dianggap BERTENTANGAN DENGAN NALAR (CONTRA RATIONEM). Saat ini Masyarakat merasakan tidak adanya SUPREMASI HUKUM yang mewujudkan persamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law).
Lebih dari itu, kalangan masyarakat umum menganggap bahwa pada kenyataannya “hukum tidak dapat melawan kekuasaan” (Contra vim non valet ius), karena fakta yang mereka alami bahwa hukum di negara Indonesia seperti MATA PISAU yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
Hukum seolah menjadi “BARANG DAGANGAN”yang dapatdiperjualbelikan oleh kalangan orang yang memiliki kekuasaan, orang yang mempunyai pengaruh dan sudah pasti CUKONG pemilik modal yang disebut KAUM KAPITALIS. Kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia pada akhirnya menjadi sangat buruk akibat transaksional hukum, yang berdampak pada HUKUM KEHILANGAN KEWIBAWAAN (GEZAG). Sangat penting dipahami KENYATAAN SOSIAL yang terjadi di Indonesia sekarang ini adalah ada kecenderungan bahwa Kepercayaan masyarakat terhadap TUGAS HUKUM yang bersifat dwitunggal yaitu memberikan KEPASTIAN HUKUM dan memberikan KESEBANDINGAN HUKUM telah kehilangan makna, sehingga tujuan hukum untuk mewujudkan kedamaian hidup bersama (peaceful living together) sangat sulit tercapai karena dewasa ini masyarakat Indonesia cenderung melakukan tindakan main hakim sendiri (eigen richting).
Writer and Copy Right: Dr. Appe Hutauruk, SH., MH. Lecturer, Advocate and Legal Consultant