PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG MASALAH
Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia pada hakekatnya merupakan konkritisasi dari perwujudan kedaulatan rakyat dalam rangka partisipasi politik dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Secara tegas (explicit) ketentuan pasal 1 ayat (2) Undang – Undang Dasar 1945 menyebutkan,”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar”. Penggunaan hak pilih (aktif) oleh setiap warga negara Indonesia anggota – anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga sebagai aplikasi hak politik warga negara, sebagaimana ditentukan dalam pasal 28 Undang – Undang Dasar 1945 yang berbunyi, ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang – undang”. Kemerdekaan atau kebebasan mengeluarkan pikiran / menyatakan pendapat merupakan pilar mendasar dalam pemerintahan yang demokratis, dan dianggap sebagai asas fundamental dalam pemilihan umum.
Demokrasi yang dianut di Indonesia adalah Demokrasi Pancasila yang mencakup prinsip – prinsip pokok demokrasi konstitusional yang berdasarkan rule of law. Pelaksanaan Pemilihan Umum yang bebas untuk mengakomodir hak – hak politik masyarakat, merupakan salah satu syarat utama pemerintahan yang demokratis berdasarkan rule of law. Secara lengkap (implicit), dalam South – East Asian Conference of Jurists yang diselenggarakan di Bangkok pada tanggal 15 – 19 Pebruari 1965, menyebutkan syarat – syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis dibawah rule of law, sebagai berikut:
1) Perlindungan konstitusionil, dalam arti bahwa konstitusi, selain dari menjamin hak – hak individu, harus menentukan pula cara proseduril untuk memperoleh perlindungan atas hak – hak yang dijamin.
2) Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals).
3) Pemilihan umum yang bebas.
4) Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
5) Kebebasan untuk berserikat / berorganisasi dan beroposisi.
6) Pendidikan kewarganegaraan (civic education)[1].
Meskipun penggunaan hak pilih (hak suara) dalam suatu pemilihan umum adalah hak subyektif warga negara (masyarakat / rakyat) yang telah memenuhi syarat untuk memilih, akan tetapi dari aspek kepentingan negara dan bangsa maka dapat dianggap bahwa penggunaan hak pilih / hak suara warga negara dalam pemilihan umum, pada hakekatnya adalah sebagai bentuk tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Melalui proses pemilihan umum, rakyat (warga negara) menyerahkan kekuasaannya / kedaulatannya kepada pemerintah (dalam arti luas yang mencakup Presiden beserta pembantu – pembantunya yaitu para menteri, serta parlemen baik di tingkat pusat maupun daerah) untuk mengelola / mengurus organisasi yang dinamakan negara. Pada umumnya, negara sebagai asosiasi rakyat / rakyat mempunyai tujuan akhir yaitu menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common well).
Dengan demikian, ketentuan mengenai keiikutsertaan setiap warga negara yang telah memenuhi syarat untuk memilih dalam pemilihan umum, tidak semata – mata dianggap sebagai hak yang memiliki pengertian boleh dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Tetapi, ketentuan mengenai partisipasi warga negara dalam pemilihan umum harus dilihat sebagai wujud tanggung jawabnya sebagai pemegang kedaulatan rakyat, terhadap bangsa dan negara. Sehingga peranan setiap warga negara dalam pemilihan umum dengan menggunakan hak pilih / hak suaranya merupakan fenomena sosial – politik yang sangat urgent dibahas secara sosiologis berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia.
Namun demikian, agar pembahasan fenomena sosiologis tersebut bersifat faktual maka penulisan karya ilmiah ini didasarkan pada:
ad.1. Fakta Yuridis (das sollen), yang meliputi:
– Pasal 1 ayat (2) Undang – Undang Dasar 1945, yang berbunyi: “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang – undang”.
– Pasal 22 E ayat (1) Undang – Undang Dasar 1945, yang berbunyi: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.
– Pasal 1 angka (1) Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, yang berbunyi: ““Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
– Pasal 1 angka (1) Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang berbunyi: “Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
– Pasal 1 angka (1) Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang berbunyi: “Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, selanjutnya disebut Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, adalah pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
ad.2. Fakta Riil (das sein), yaitu masih banyak warga negara Indonesia sebagai pemegang kedaulatan rakyat, tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum di Indonsia.
2. PERMASALAHAN
Dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, pemilihan umum (Pemilu) merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam tataran Indonesia sebagai negara demokrasi. Esensi dari pemilihan umum (Pemilu) adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat yang selanjutnya merepresentasikan kedaulatan tersebut kepada organ – organ penyelenggara negara (dan daerah – daerah sebagai bagian dari negara), seperti; Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Namun demikian, dalam kenyataannya masih banyak warga negara (rakyat) yang sesungguhnya sebagai pemegang peranan (role occupant) penting, tidak menggunakan hak pilihnya / hak suaranya dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Secara umum dapat dikatakan bahwa keadaan tersebut disebabkan oleh hal – hal yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
ad.1. Banyak warga negara (masyarakat) yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya / hak suaranya.
ad.2. Data daftar pemilih yang tidak akurat.
- METODOLOGI PENELITIAN
Penulisan makalah ini merupakan suatu rangkaian dari kegiatan ilmiah untuk mempelajari dan membahas fenomena hukum yang didasarkan pada metode ilmiah. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian, yang dipergunakan sebagai pedoman untuk mengumpulkan data – data serta melakukan kajian atau telaah terhadap fenomena – fenomena yuridis. Sehingga penulisan makalah ini sebagai suatu bentuk karya ilmiah sesuai dengan prosedur penelitian yang berfokuskan masalah (problem – focused research).
Metodologi penelitian sebagai sarana pengumpulan data yang dipergunakan oleh Penulis dalam makalah ini, adalah:
- Penelitian lapangan(field research) melalui metode pengumpulan data primer atau data dasar (primary data / basic data) yaitu mengumpulkan informasi langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama.
- Penelitian kepustakaan (library research)melalui metode pengumpulan data sekunder (secondary data) yaitu mencakup peraturan perundang – undangan, buku – buku, dokumen – dokumen resmi, media cetak dan media online, hasil – hasil penelitian yang berwujud laporan – laporan, yurisprudensi, dan sebagainya.
3. SISTEMATIKA PENULISAN
Agar pembahasan dalam karya ilmiah ini dapat dengan mudah ditelaah dan difahami, maka penulisan makalah ini disusun secara sistematis, sebagai berikut:
- BAB I: Pendahuluan
- Latar Belakang Masalah.
- Permasalahan.
- Metodologi Penelitian.
- Sistematika Penulisan
- BAB II: Analisis Masalah
- Banyak warga negara (masyarakat) yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya / hak suaranya.
- Data daftar pemilih yang tidak akurat.
- BAB III: Penutup
- Kesimpulan.
- Saran – saran.
BAB II
ANALISIS
1. Banyak warga negara (masyarakat) yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya / hak suaranya.
Pemilihan umum (Pemilu) sebagai saluran (outlet) partisipasi warga negara (masyarakat) yang dilaksanakan di Indonesia, pada hakekatnya adalah pengejawantahan dari nilai – nilai demokrasi yang berdasarkan atas hukum. Dalam Penjelasan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia, sangat tegas dinyatakan bahwa; 1) Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat), dan 2) Pemerintahan berdasarkan atas atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Undang – Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar (grundnorm) negara Indonesia, pada pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang – undang”.
Pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, secara khusus disebutkan dalam pasal 22 E ayat (1) Undang – Undang Dasar 1945, yang berbunyi: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Undang – undang organik sebagai peraturan pelaksanaan yang dimaksudkan oleh UUD 1945 tersebut, untuk saat ini adalah Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan – ketentuan mengenai Pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang disebutkan dalam UUD 1945 dan peraturan perundang – undangan tersebut diatas, adalah sesuai dengan gagasan konstitusionalisme (constitutionalism) yang dikemukakan oleh Carl. J. Friedrich sebagai berikut: “Pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah (Government is a set of activities organized and operated on behalf of the people but subject to a series of restraints which attempt to ensure that the power which is needed for such governance is not abused by those who are called upon to do the governing)”[2].
Pelaksanaan Pemilu merupakan sarana bagi masyarakat (warga negara) untuk mengekspresikan hak politiknya dalam rangka menyelenggarakan; 1) perubahan secara damai dalam masyarakat yang sedang berubah (peaceful change in a changing society), dan 2) pergantian pimpinan secara teratur (orderly succession of rulers). Oleh karena pelaksanaan Pemilu sangat penting artinya dalam suatu negara demokrasi seperti Indonesia, maka partisipasi politik masyarakat juga sangat diharapkan untuk menggunakan hak pilihnya / hak suaranya. Dengan perkataan lain, masyarakat sebagai pemilih (pemegang / pengguna hak pilih) melaksanakan partisipasinya dalam bentuk kehadiran dan pemberian suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Akan tetapi pada kenyataannya masih banyak masyarakat (rakyat) Indonesia yang tidak bersedia / tidak mau berpartisipasi untuk menggunakan hak pilihnya pada setiap Pemilu yang diselenggarakan di Indonesia.
Sebagai contoh faktual data dikemukakan bahwa “Data KPU Kabupaten Kebumen menunjukkan angka partisipasi pemilih pada Pilgup tahun 2004 angka partisipasi mencapai 82,51 % sementara pada tahun 2009 hanya mencapai 67, 89 %, atau menurun 14,62% . Sementara angka partisipasi pemilih pada Pemilihan Presiden ( Pilpres) Tahun 2004 putaran I mencapai 79,69 % dan putaran ke II 74, 34 %. Padahal pada pilpres Tahun 2009 angka partisipasi hanya mencapai 69, 32 % atau menurun 9,02 % hingga 10,37 % . Kondisi serupa juga terjadi pada angka partisipasi Pilbup tahun 2005 yang mencapai 71,81%, dan Pilbup 2010 putaran I mencapai 63,08 % serta putaran II 57,11 % atau terjadi penurunan 8,73 % – 14,70 %”[3]. Fakta yang sama dikemukan oleh Siliwanti yang mengatakan, “Tingkat partisipasi masyarakat pada Pemilu 2009 yang hanya mencapai 70,99% (Pemilu Legislatif) dan 72,56% (Pemilu Presiden dan Wakil Presiden), dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni trust terhadap penyelenggara, sikap dan budaya politik, teknis, DPT, sosialisasi, dan administrasi”[4].
Menyikapi realita sosial bahwa dewasa ini terdapat tendensi menurunnya animo dan partisipasi masyarakat dalam Pemilu maka berbagai upaya telah dilakukan. Upaya tersebut antara lain dengan mengadakan Seminar tentang pemilu yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 16 Nopember 2011, dengan melibatkan Partai Politik (Parpol), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Masa (Ormas), media massa, Pemantau Pemilu, dan Perguruan Tinggi .Seminar tersebut dimaksudkan untuk memperoleh input dan solusi terhadap kecenderungan menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilu dan Pemilukada[5].
Pada umumnya secara sosiologis kemasyarakatan dapat diidentifikasi beberapa alasan sikap warga negara Indonesia yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya, antara lain:
- Adanya sikap apatis dari keyakinan masyarakat bahwa memilih atau tidak memilih tidak mempengaruhi kehidupan mereka secara signifikan.
- Para calon yang bertarung tidak memiliki kapasitas untuk mewujudkan harapan mereka.
- Sebagian masyarakat beranggapan bahwa kebutuhan ekonomi lebih penting daripada penyaluran hak politik mereka untuk berpartisipasi dalam Pemilu.
- Menurunnya kepercayaan(trust) masyarakat terhadap para calon (Presiden dan Wakil Presiden, DPR , DPD dan DPRD).
- Masyarakat menganggap bahwa sikap dan budaya politik peserta pemilu (partai politik, pasangan calon maupun calon independen) dalam berkampanye sering melakukan prilaku – prilaku yang tidak bermoral seperti penghinaan, permusuhan dan kecurangan.
- Masyarakat trauma dengan propaganda – propaganda politik selama kampanye yang ternyata tidak terbukti pasca pemilu.
Pemilihan umum dapat dijadikan sebagai simbol pesta kedaulatan rakyat. Dalam setiap pelaksanaan Pemilu, partisipasi masyarakat merupakan salah satu aspek penting untuk terselenggaranya demokrasi. Partisipasi dalam Pemilu dapat diartikan sebagai keikutsertaan warga negara (masyarakat) dalam kegiatan-kegiatan politik baik yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun tidak langsung untuk ikut mempengaruhi / ikut serta dalam suatu pengambilan keputusan / kebijakan pemerintah ataupun kebijakan publik. Semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilu, maka dapat diartikan bahwa semakin tinggi pula tingkat legitimasi suatu proses penetapan sebuah keputusan.
Secara sosiologis, partisipasi politik masyarakat untuk berperan serta dalam pemilihan umum berkaitan dengan kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Kesadaran hukum masyarakat dihubungkan dengan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara Indonesia, maka berpartisipasi masyarakat dalam pemilu sebagai sarana untuk menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur adalah sesuai dengan asas hukum yang menyatakan “hukum menghendaki kedamaian (het recht wil den vrede)”. Dengan demikian, hak pilih / hak suara tidak hanya dianggap sebagai hak subjektif warga negara (masyarakat) tetapi merupakan tanggung jawab warga negara terhadap negara. Dengan pemahaman yang demikian, akan tumbuh kesadaran hukum masyarakat yang tinggi untuk berperan serta dalam pemilihan umum. Asumsi sosiologis ini sesuai dengan pendapat Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdulah yang menyatakan, “kesadaran hukum yang tinggi mengakibatkan para warga masyarakat mematuhi ketentuan – ketentuan hukum yang berlaku. Sebaliknya, apabila kesadaran hukum sangat rendah, maka derajat kepatuhan terhadap hukum juga tidak tinggi. Dengan demikian, pendapat tersebut berkaitan dengan berfungsinya hukum dalam masyarakat atau effektivitas dari ketentuan – ketentuan hukum di dalam pelaksanaannya. Dengan lain perkataan, kesadaran hukum menyangkut masalah, apakah ketentuan hukum tertentu benar – benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat”[6]. Berkaitan dengan pembahasan dalam permasalahan makalah ini, yang dimaksud dengan hukum tersebut adalah peraturan perundang – undangan mengenai pemilihan umum.
Penggunaan hak pilih dalam pemilihan umum secara sosiologis dianggap sebagai tanggung jawab warga negara terhadap negara didasarkan pada prinsip bahwa antara negara dan warga negara terdapat hubungan hukum ketatanegaraan. Oleh karena itu, dalam konteks pemilu, antara negara dan warga negara dapat melakukan negosiasi hak (right negotiatian) agar warga negara / masyarakat menggunakan hak pilihnya dalam pemilu sebagai bentuk tanggung jawab terhadap negara. Negosiasi hak tersebut dilakukan melalui sosialisasi oleh pemerintah (mewakili kepentingan negara) di satu pihak dengan warga negara di pihak lain. Negosiasi tersebut diharapkan dapat menyelesaikan masalah partisipasi masyarakat agar bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum, yang sebenarnya hak tersebut telah dimiliki dan melekat pada warga negara yang telah memenuhi syarat – syarat tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Munir Fuady yang menyatakan, “negosiasi hak bertujuan untuk menyelesaikan masalah yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan hak yang sebelumnya sudah ada”[7].
2. Data daftar pemilih yang tidak akurat.
Faktor lain yang menjadi penyebab rendahnya tingkat prosentase partisipasi pemilih karena permasalahan pendataan calon pemilih yang pada akhirnya menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT). Terdapat kesenjangan atau tidak ada sinkronisasi antara sinkronisasi Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu terakhir serta distribusi dan konsolidasi data pemilih pada daerah – daerah pemilihan dalam wilayah negara Republik Indoneia. Adanya perbedaan / kesenjangan data tersebut dapat disebabkan oleh faktor teknologi yang belum memadai dan / atau faktor kesengajaan oknum – oknum tertentu baik di pemerintahan maupun di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Berkaitan dengan penggunaan teknologi, maka KPU telah mengoptimalkan pemanfaatan Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih) dan Daftar Pemilih Tools (DPTools) untuk meningkatkan akurasi data pemilih pada pemilihan umum. Sidalih dan DPTools untuk mendeteksi potensi data ganda sehingga daftar pemilihnya lebih akurat. Sidalih selain berfungsi mendeteksi data ganda juga dapat digunakan untuk sinkronisasi Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu terakhir serta distribusi dan konsolidasi data pemilih. Teknologi DPTools sudah digunakan oleh KPU sejak tahun 2009 (untuk Pemilihan Umum tahun 2009), namun belum digunakan secara merata pada Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di seluruh Indonesia.
Terlepas dari teknologi sistem informasi data, maka yang paling penting adalah perilaku aparat pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) beserta jajarannya di tingkat bawah harus secara jujur dan transparan menyampaikan data pemilih kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai user (pengguna) data. Begitu pula, prilaku anggota atau komisioner KPU harus profesional, independen dan cermat menyusun Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang akan dijadikan acuan dalam pemilihan umum. Prilaku aparat pemerintah sebagai penyedia data dan anggota atau komisioner KPU ini perlu tetap diawasi agar tidak terjadi kecurangan – kecurangan atau manipulasi dalam menyusun dan menetapkan daftar pemilih.
Pemerintah dan KPU memegang peranan penting agar masyarakat sebagai pemegang hak pilih dapat menggunakan haknya dalam pemilu. Oleh karena dalam kenyataannya, banyaknya masyakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu tidak semata – mata disebabkan keengganan mereka untuk menggunakan hak pilihnya, akan tetapi karena nama mereka tidak terdapat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dengan demikian pemerintah dan KPU diharapkan dapat menjalankan peranannya dalam pelaksanaan pemilu, sehingga pemilu dapat merefleksikan kedaulatan rakyat dalam negara Indonesia. Peranan pemerintah dan KPU dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia, dalam hal ini yang dimaksudkan peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role). Meskipun dalam kedudukannya sebagai penyelenggara pemilu, pada hakekatnya pemerintah dan KPU memiliki peranan yang cukup luas, yang menurut penulis dapat dihubungkan dengan peranan sebagaimana dijabarkan oleht Soerjono Soekanto, yaitu;” 1) peranan yang ideal (kideal role), 2) peranan yang seharusnya (expected role), 3) peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role), 4) peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role)”[8].
Peranan pemerintah dan KPU untuk melakukan kegiatan menghimpun data pemilih yang akurat secara langsung ke lapangan (Rukun Tetangga, Kelurahan, Kecamatan, dan seterusnya), apa penyebabnya nama – nama anggota masyarakat yang sudah memenuhi syarat untuk memilih akan tetapi tidak termasuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) merupakan tahapan aktiva sosiologis. Selanjutnya, berdasarkan data – data hasil penelitian tersebut dilakukan aktivita intelektualis untuk menentukan metode atau memodifikasi metode yang telah ada dalam rangka menghimpun data pemilih. Dengan metode yang demikian diharapkan data pemilih dalam suatu daerah dapat dihimpun secara akurat, untuk dijadikan pedoman dalam menyusun Daftar Pemilih Tetap (DPT).
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
– Pelaksanaan Pemilu sangat penting artinya dalam suatu negara demokrasi seperti Indonesia, oleh karena itu partisipasi politik masyarakat juga sangat diharapkan untuk menggunakan hak pilihnya / hak suaranya.
– Secara faktual (pada kenyataannya) masih banyak masyarakat (rakyat) Indonesia yang tidak bersedia / tidak mau berpartisipasi untuk menggunakan hak pilihnya pada setiap Pemilu yang diselenggarakan di Indonesia.
– Selain masyarakat tidak bersedia berpartisipasi dalam Pemilu, peneybab lain berkurangnya partisiapasi masyarakat dalam Pemilu disebabkan sebagian masyarakat Indonesia namanya tidak terdapat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
– Secara sosiologis kemasyarakatan maka dapat diidentifikasi beberapa alasan sikap warga negara Indonesia yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya, antara lain:
- Adanya sikap apatis dari keyakinan masyarakat bahwa memilih atau tidak memilih tidak mempengaruhi kehidupan mereka secara signifikan.
- Para calon yang bertarung tidak memiliki kapasitas untuk mewujudkan harapan mereka.
- Sebagian masyarakat beranggapan bahwa kebutuhan ekonomi lebih penting daripada penyaluran hak politik mereka untuk berpartisipasi dalam Pemilu.
- Menurunnya kepercayaan(trust) masyarakat terhadap para calon (Presiden dan Wakil Presiden, DPR , DPD dan DPRD).
- Masyarakat menganggap bahwa sikap dan budaya politikpeserta pemilu (partai politik, pasangan calon maupun calon independen) dalam berkampanye sering melakukan prilaku – prilaku yang tidak bermoral seperti penghinaan, permusuhan dan kecurangan.
- Masyarakat trauma dengan propaganda – propaganda politik selama kampanye yang ternyata tidak terbukti pasca pemilu.
– Secara sosiologis, dapat dikatakan bahwa partisipasi politik masyarakat untuk berperan serta dalam pemilihan umum berkaitan dengan kesadaran hukum masyarakat itu sendiri.
– Demikian pula, penggunaan hak pilih dalam pemilihan umum secara sosiologis dianggap sebagai tanggung jawab warga negara terhadap negara didasarkan pada prinsip bahwa antara negara dan warga negara terdapat hubungan hukum ketatanegaraan.
– Secara sosiologis, kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum sangat berkaitan erat dengan Perilaku aparat pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) beserta jajarannya di tingkat bawah harus secara jujur dan transparan menyampaikan data pemilih kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai user (pengguna) data. Begitu pula, prilaku anggota atau komisioner KPU harus profesional, independen dan cermat menyusun Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang akan dijadikan acuan dalam pemilihan umum. Prilaku aparat pemerintah sebagai penyedia data dan anggota atau komisioner KPU ini perlu tetap diawasi agar tidak terjadi kecurangan – kecurangan atau manipulasi dalam menyusun dan menetapkan daftar pemilih.
2. SARAN – SARAN
– Dalam rangka upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat (warga negara) dalam pemilihan umum maka pemerintah dan penyelenggara pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu melakukan pendidikan pemilih kepada masyarakat berupa civil education mengenai pentingnya menggunakan hak pilih / hak suara dalam setiap pemilihan umum.
– Perlu dilakukan sosialisasi tujuan pemilihan umum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk meningkatkan daya dorong atau motivasi masyarakat (warga negara) pada setiap pemilihan umum.
– Penerapan metode pembelajaran pelaksanaan pemilihan umum sebagai materi mata pelajaran di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) / Sekolah Menengah Atas (SMA), dalam jangka panjang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum.
– Masyarakat harus senantiasa melakukan pengawasan (control) prilaku aparat pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) beserta jajarannya di tingkat bawah sebagai penyedia data dan anggota atau komisioner KPU agar tidak terjadi kecurangan – kecurangan atau manipulasi dalam menyusun dan menetapkan daftar pemilih yang berhak menggunakan hak pilih / hak suara dalam pemilihan umum.
________________________________________________________________________________
DAFTAR KEPUSTAKAAN
(Bibliografi)
Budiardjo Miriam. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama) Tahun 2000;
Fuady, Munir. Teori – Teori Dalam Sosiologi Hukum. Jakarta (Penerbit: Kencana Prenada Media Group) 2011;
P., Trubus Rahardiansah, Endar Pulungan. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta (Penerbit: Universitas Trisakti) 2005;
Pikiran Rakyat Online. Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilu Turun. Edisi: Kamis, 29 November 2012;
Salman, Anthon F. Susanto. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Bandung (Penerbit: PT. Alumni) 2012;
Soekanto, Soerjono. Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum. Bandung (Penerbit: PT. Alumni) 1979;
——-. Mengenal Sosiologi Hukum. Bandung (Penerbit: Alumni) 1982;
——–. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta (Penerbit: PT. RajaGrafindo Persada) 2008;
——–. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta (Penerbit: CV. Rajawali) 1982;
Soekanto, Soerjono, Mustafa Abdullah. Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat. Jakarta (Penerbit: CV. Rajawali) 1982;
Watapedia, Media Online. Pemilu: Faktor Penyebab Turunnya Paartisipasi Dalam Pemilu. Edisi 17 November 2011.
Zamzami, Mukhtar. Materi Kuliah Sosiologi Hukum, Memahami Sosiollogi Hukum. Jakarta (Universitas Jaya Baya) 2012;
_____________________________________________________________________________________________________
[1] Miriam Budiardjo. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta (Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000) Halaman 60.
[2] Miriam Budiardjo. Ibid. Halaman 57.
[3] Pikiran Rakyat Online. Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilu Turun. Edisi: Kamis, 29 November 2012.
[4] Watapedia, Media Online. Pemilu: Faktor Penyebab Turunnya Paartisipasi Dalam Pemilu. Edisi 17 November 2011.
[5] Watapedia, Media Online. Ibid.
[6] Soerjono Soekanto, Mustafa Abdullah. Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat. Jakarta (Penerbit: Rajawali Pers, 1987) Halaman 215 – 216.
[7] Munir Fuady. Teori – Teori Dalam Sosiologi Hukum. Jakarta (Penerbit: Prenada Media Group, 2011) Halaman 354 – 355.
[8] Soerjono Soekanto. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum. Jakarta (Penerbit: RajaGrafindo Persada, 2008) Halaman 20.
Writer and Copy Right: Dr. Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH. Lecturer, Advocate and Legal Consultants