ALASAN YURIDIS ATAS DALIL TUDUHAN CIDERA JANJI

Contract agreement with Ballpoint pen

 

ALASAN YURIDIS ATAS DALIL TUDUHAN CIDERA JANJI

 

 

Dalam suatu kontrak, seringkali pelaksanaannya menimbulkan sengketa (dispute) dimana pihak yang satu menuduh pihak yang lain lalai melakukan prestasi sebagaimana yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian. Dalam kondisi yang demikian maka pihak yang dituduh lalai tersebut dapat membela diri dengan dasar alasan – alasan sebagai berikut:

  1. Adanya Keadaan Memaksa (overmacht/force majeur)

Dalam hal ini, pihak yang dituduh lalai berupaya membuktikan bahwa tidak terlaksananya prestasi sesuai yang dijanjikan disebabkan oleh hal – hal atau keadaan – keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga dan  tidak diingninkan terjadi, dalam hal tersebut pihak yang dituduh lalai tidak dapat berbuat apa – apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul/terjadi diluar dugaan tersebut. Dengan perkataan lain, tidak terpenuhinya prestasi sesuai isi perjanjian bukan disebabkan kelalaian PIHAK YANG DITUDUH LALAI, sehingga pihak tersebut tidak dapat dikatakan melakukan kesalahan atau alpa, sehingga secara pertanggungjawaban hukum (responsibility, liability dan accountability) berlaku dalil bahwa pihak yang tidak melakukan kesalahan tidak dapat dibebani sanksi atau hukuman dalam bebtuk apapun sehubungan dengan pelaksanaan isi suatu kontrak atau perjanjian.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa KEADAAN MEMAKSA adalah suatu kejadian yang tak terduga, tak disengaja, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada suatu pihak/pihak tertentu (debitur) dimana dalam peristiwa tersebut pihak/pihak tertentu (debitur) tidak dapat melakukan prestasi sesuai dengan perjanjian.

Pada dasarna KEADAAN MEMAKSA dapat dikualifikasikan menjadi 2 Jenis, yaitu: 1) Keadaan Memaksa yang Bersifat Mutlak (Absolut) yaitu suatu keadaan yang membuat suatu perjanjian tidak dapat dilaksanakan untuk selamanya yang mengakibatkan perjanjian tersebut hapus, dan 2) Keadaan Memaksa yang Bersifat Relatif (Nisbi), yaitu suatu keadaan yang tidak diinginkan terjadi yang mengakibatkan suatu perjanjian tidak dapat dilaksanakan sementara  waktu akan tetapi perjanjian tersebut dianggap masih ada, sehingga apabila keadaan yang tidak diinginkan (rintangan/halangan) tersebut telah selesai/berlalu maka pemenuhan atas pelaksanaan suatu perjanjian tersebut dapat dituntut kembali.

Keadaan Memaksa diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata,  pada bagian  tentang ganti rugi, yang berbunyi sebagai berikut:

  • “Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga, bila ia tidak membuktikan bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada padanya” (Pasal 1244 KUHPerdata);
  • “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa atau karena suatu kejadian yang tak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal – hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang (Pasal 1245 KUHPerdata);

 

  1. Asas “Exceptio non adimpleti contractus

Exceptio Non Adimpleti Contractus pada hakekatnya mempunyai hubungan kausalitas yang sangat  erat dengan pemutusan perjanjian (termination of agreement, beeindiging van de overeenkomst) dalam konteks  perjanjian yang timbal balik (reciprocal agremeent), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1266 KUHPerdata, yang berbunyi: “Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan”. “Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka Hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dan satu bulan”.

Adakalanya dalam praktek hukum,  salah satu pihak dalam perjanjian yang  bersifat timbal  balik, yang lalai memenuhi kewajibannya tidak dapat diminta untuk melakukan  pemenuhan prestasinya oleh pihak yang lain. Keadaan demikian dapat terjadi dalam hal yaitu apabila pihak yang satu  menuntut pemenuhan kewajiban kepada pihak lain, maka pihak lain ini dapat menangkis dengan dalil bantahan  yang disebut “exceptio non adimpleti contractus”, karena pihak yang menuntut (Penggugat) tersebut dalam kenyataan yang sebenarnya (in concreto) dianggap telah juga melakukan wanprestasi (cidera janji atau ingkar janji).

The exceptio non adimpleti contractus is a defence that can be raised in the case of a reciprocal contract. In essence, it is a remedy that allows a party to withhold his own performance, accompanied by a right to ward off a claim for such performance until the other party has duly performed his or her obligations under the contract.

Ekseptio non adimpleti contractus adalah suatu tangkisan, yang pada pokoknya mengatakan, “anda sendiri belum berprestasi dan karenanya anda tidak patut untuk menuntut saya berprestasi”. Alasan eksepsi ini dikemukakan untuk melawan tuntutan kreditur atau pihak berpiutang terhadap  pemenuhan perikatan oleh debitur atau pihak berutang. Tangkisan berupa ” Ekseptio non adimpleti contractus ”  hanya berlaku untuk perjanjian timbal balik, dimana masing – masing pihak berkewajiban untuk memenuhi prestasi yang telah disepakati.

Dalam terminologi Hukum Acara Perdata, eksepsi (exceptio) berarti sebuah tangkisan atau bantahan, dan juga pembelaan yang diajukan Tergugat terhadap materi gugatan Penggugat.   Ada dua jenis eksepsi yang dikenal yaitu Exeptio non adimpleti contractus yang artinya tangkisan seorang Tergugat/Tertuntut (yang digugat karena tak menerpati perjanjian) yang menyatakan bahwa Penggugat/Penuntut  juga tidak memenuhi janjinya, misalnya khusus mengenai jual – beli.

Eksepsi jenis kedua adalah Exceptio plurium concumbentium yang berarti dalam tuntutan kebapaan: tangkis seorang Tergugat/Tertuntut (suami) terhadap gugatan/ tuntutan pihak  Penggugat/ Penuntut (ibu dan/atau anak bersangkutan) yang pada pokoknya menyatakan bahwa  di waktu sebelum hamil Penggugat/Penuntut (in casu: Istri)  telah melakukan hubungan kelamin/hubungan intim atau zinah (adultery, operspel)   dengan beberapa pria lain.  Jika hal ini dapat dibuktikan, maka tuntutan Penggugat/Penuntut (isteri dan/atau anaknya)  tidak dapat diterima oleh Hakim.

Perjanjian yang timbal balik menentukan bahwa  prestasi dari masing – masing  pihak adalah saling bergantung satu dengan lainnya (interdependent with each other), sehingga akibatnya ialah pihak yang seharusnya memenuhi prestasi lebih dahulu tetapi tidak melakukan prestasi tersebut adalah bertentangan dengan asas  ITIKAD BAIK (good faith), oleh karena itu apabila terjadi sengketa (dispute) maka pihak lainnya dapat mengemukakan “exceptio non adimpleti contractus”.

Apabila didalam suatu perjanjian sudah ditentukan siapa pihak yang harus memenuhi prestasi lebih dahulu, maka pihak lainnya tidak dapat mengemukakan “exceptio non adimpleti contractus”.  Hal ini sesuai dengan prinsip dasar dari ajaran “ekseptio non adimpleti contractus adalah suatu tangkisan, yang mengatakan “anda sendiri belum berprestasi dan karenanya anda tidak patut untuk menuntut saya berprestasi”.

Dengan demikian, “exceptio non adimpleti contractus” dapat dilakukan apabila dalam perjanjian timbal balik tidak ditentukan siapa pihak yang harus melaksanakan prestasi lebih dahulu, dalam hal ini asas itikad baik dan keputusan mempunyai peranan penting untuk penyelesaian sengketa.

Exceptio non adimpleti contractus tidak dapat dilakukan apabila dalam perjanjian timbal balik telah ditentukan siapa yang harus melaksanakan prestasi lebih dahulu. Apabila sudah ditentukan siapa pihak yang harus (wajib) menjalankan prestasi lebih dahulu dan ternyata tidak melakukannya, maka dengan tegas ia dinyatakan telah melakukan wanprestasi.

Dalam praktek peradilan perdata, menurut PITLO bahwa  yurisprudensi  tidak mengakui (tidak mengenal) adanya prinsip “exceptio non adimpleti contractus”, namun demikian banyak ahli hukum yang telah mengakui adanya prinsip “exceptio non adimpleti contractus”.  Secara yuridis, konsepsi “exceptio non adimpleti contractus”  pada hakekatnya berhubungan dengan ketentuan – ketentuan sebagai berikut:

  • Pasal 1513 KUHPerdata (Burgerlijk Wetbook), yang berbunyi: “Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian, pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian“.
  • Pasal 1517 KUHPerdata (Burgerlijk Wetbook), yang berbunyi: “Jika si pembeli tidak membayar harga pembelian, si penjual dapat menuntut pembatalan pembelian, menurut ketentuan ketentuan-ketentuan pasal 1266 dan 1267“.

 

  1. Pelepasan Hak (rechtsverwerking)

Pelepasan hak (rechtsverwerking) adalah alasan yang disampaikan oleh kreditur atau penjual atau pihak tertentu (dalam perikatan/perjanjian tertentu) dimana debitur  atau pembeli atau pihak tertentu sudah tidak dapat menuntut ganti rugi karena debitur atau pembeli  tersebut telah melepaskan haknya pada saat pelaksanaan perikatan/perjanjian tersebut.. Dalam hal ini dapat dikemukakan sebagai contoh, dimana pembeli tidak dapat membatalkan perjanjian jual – beli atas pembelian suatu barang tertentu meskipun barang yang dibelinya tidak sesuai dengan kualitas yang diperjanjikan atau mengandung cacat yang tersembunyi, apabila setelah kondisi demikian si pembeli tidak menegur si penjual akan tetapi si pembeli telah menggunakan barang tersebut dan telah pula mendapatkan manfaat dari barang yang dibelinya.

 

Writer and Copy Right:
Dr.  Appe  Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant

 

LAW  FIRM APPE  HAMONANGAN   HUTAURUK & ASSOCIATES
KETUA  UMUM  DPP LSM  KOMAKOPEPA
AKTIVIS’98

Leave a Reply