PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Uncategorized

Handcuffs sitting on top of US paper currency

PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

 

Berdasarkan “PENJELASAN UMUM” Undang – Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, maka dapat dipahami bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan PENGADILAN KHUSUS yang berada di lingkungan PERADILAN UMUM (vide Pasal 2 Undang – Undang Nomor 46 Tahun 2009)  jo Pasal 54 ayat (1) Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,  berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan (vide Pasal 3 Undang – Undang Nomor 46 Tahun 2009). Khusus bagi Daerah Khusus Ibukota Jakarta maka Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan  di setiap Kotamadya yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan (vide Pasal 4 Undang – Undang Nomor 46 Tahun 2009).

Oleh karena itu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi  sebagaimana dimaksud  dalam Undang – Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pada hakekatnya telah dipertegas eksistensinya sebagai Pengadilan yang menjadi bagian dari peradilan umum  berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012 – 016 – 019/PUU – IV/2006 Tanggal 19 Desember  2006,  yang menyatakan, “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 53 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi   dinyatakan bertentangan dengan Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945”. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut adalah bersesuain dengan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan: “Pengadilan Khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan umum yang dibentuk dengan undang – undang tersendiri”. Perlu diintrodusir bahwa bunyi dari ketentuan Pasal 53 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah “Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”.

Merujuk pada ketentuan Pasal 5 Undang – Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi maka dinyatakan secara tegas bahwa “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi”. Selanjutnya dapat diperinci secara konkrit kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang – Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yaitu “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5  berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara: a. tindak pidana korupsi; b. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau c. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi”. Sedangkan mengenai kompetensi absolut dalam hal memeriksa dan mengadili perkara – perkara korupsi dan padanannya sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 Undang – Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, secara eksplisit ditentukan dalam Pasal 7 yang berbunyi: “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di luar wilayah negara Republik Indonesia”.

Berkaitan dengan ketentuan – ketentuan yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, maka peraturan perundang – undangan yang menjadi landasan keberlakuannya adalah:

  1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25, dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
  3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958);
  4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3327) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379);
  5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150);
  6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250);
  7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358);
  8. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401);

Selanjutnya Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengalami PERUBAHAN  dengan diberlakukannya Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas  Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam perubahan tersebut, yang sangat esensi dan significant perlu dipahami berkaitan dengan semangat PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI adalah:

  1. Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai lembaga yang menangani perkara tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan sinergitasnya sehingga masing-masing dapat berdaya guna dan berhasil guna dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan asas kesetaraan kewenangan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM);
  1. Pelaksanaan tugas Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu terus ditingkatkan melalui strategi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang komprehensif dan sinergis tanpa mengabaikan penghormatan terhadap hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  1. Beberapa ketentuan mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Kompsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan kehidupan ketatanegaraan, perkembangan hukum, dan kebutuhan masyarakat sehingga Undang-Undang tersebut perlu diubah.

 

Writer and Copy Right:
Dr. Appe  Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant

Leave a Reply