KONTRAK ATAU PERJANJIAN KERJASAMA YANG DIADAKAN OLEH PEMERINTAH

KONTRAK ATAU PERJANJIAN KERJASAMA YANG DIADAKAN OLEH PEMERINTAH

 

Dalam suatu Negara Hukum Modern maka secara kualitatif perbuatan administrasi negara (aparatur pemerintahan) dapat diklasifikasikan menjadi:

  1. Perbuatan membuat peraturan perundang – undangan;
  2. Perbuatan melaksanakan peraturan perundang – undangan.

Sehubungan dengan perbuatan melaksanakan peraturan perundang – undangan,  administrasi negara/aparatur pemerintahan melakukan perbuatan – perbuatan konkrit yang dapat dibedakan berupa:

  1. Perbuatan biasa;
  2. Perbuatan hukum.

Perbuatan hukum biasa berupa perbuatan – perbuatan yang tidak membawa akibat hukum dari aspek keperdataan. Sedangkan perbuatan – perbuatan hukum adalah baik perbuatan maupun akibat hukumnya diatur oleh hukum, baik oleh hukum perdata maupun hukum publik. Dalam hal pemerintah mengadakan kontrak atau kerjasama dengan pihak lain, misalnya pihak swasta maka dalam hal ini pemerintah dianggap melakukan perbuatan hukum perdata (hal ini berbeda dengan apabila pemerintah menerbitkan suatu ketetapan atau beschikking).

Pemerintah dalam menjalankan fungsinya sebagai pembangun sarana dan prasarana atau infrastruktur publik maupun sebagai penyedia dalam hal ini sebagai penyedia kebutuhan bagi rakyatnya, memerlukan sektor swasta sebagai pemasok barang dan jasa bagi pemerintah. Terkait dengan hal ini maka terjadi hubungan hukum antara pemerintah sebagai pihak pengguna dengan pihak swasta sebagai pihak penyedia yang disusun dalam bentuk kontrak (hubungan keperdataan).

Kontrak yang dibuat oleh pemerintah bersifat multi aspek dan mempunyai karakter yang sangat khas, namun demikian tetap merujuk pada ketentuan mengenai syarat – syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata jo. Pasal 1338 KUHPerdata. Sekalipun hubungan hukum yang terbentuk antara pemerintah dengan mitranya adalah hubungan kontraktual, tetapi di dalamnya terkandung tidak saja hukum privat, tetapi juga hukum publik. Apabila dalam kontrak komersil para pihak mempunyai kebebasan yang sangat luas dalam mengatur hubungan hukum atau mengatur kewajiban kontraktual mereka, maka dalam kontrak pengadaan oleh pemerintah, kebebasan itu tidak sepenuhnya berlaku sebab terhadap kontrak ini berlaku rezim hukum khusus.

Belum tersedianya instrumen hukum yang secara khusus mengatur kontrak komersial oleh pemerintah juga merupakan faktor lemahnya sistem pengadaan. Secara teoretik, terdapat berbagai isu hukum tentang pengadaan oleh pemerintah yang dapat diajukan untuk memperoleh kajian lebih lanjut. Dari perspektif hukum kontrak terdapat beberapa isu hukum yang dapat diajukan sebagai bahan untuk dikaji terutama tentang penerapan berlakunya prinsip umum hukum kontrak dalam kontrak pengadaan oleh pemerintah. Bertolak dari pemahaman bahwa kontrak merupakan proses, maka perhatian dalam studi tentang kontrak pengadaan di samping difokuskan pada situasi menuju pembentukan kontrak (pre-contractual fase), juga pada situasi setelah ditutupnya kontrak (post-contractual fase) atau menyangkut pelaksanaan dari kontrak itu. Dalam kaitan ini perlu adanya pemahaman tentang prinsip hukum kontrak berikut penerapannya dalam dua situasi itu.

Dalam hal terdapat ambigutias pada isi kontrak yang menimbulkan perbedaan penafsiran, maka penafsiran dilakukan demi kerugian pihak perancang, hal ini disebut yang disebut contra preferentem rule. Bagi penyedia barang dan atau jasa hal ini tidak banyak manfaatnya. Situasi yang demikian ini timbul karena adanya desakan elemen hukum publik ke dalam hubungan kontraktual yang melibatkan pemerintah.

Berdasarkan pada fakta dalam kontrak pengadaan barang dan jasa pemerintah, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya berbagai hambatan dalam pelaksanaan kontrak pengadaan barang dan jasa. Kondisi ini dapat terjadi dengan adanya kedudukan pemerintah sebagai kontraktan dengan standarisasi keuangan negara akan menghambat pelaksanaan kontrak. Apalagi kenyataan ini ditunjang dengan kecenderungan pemerintah memposisikan diri sebagai badan hukum publik dalam kontrak yang seringkali melakukan penyalahgunaan wewenang dan perbuatan-perbuatan melanggar hukum lainnya. Di sisi lain, terdapat kemungkinan pelanggaran prinsip dan norma oleh penyedia barang/jasa yang dapat menimbulkan tanggung-gugat dalam kontrak yang melibatkan pemerintah sebagai pengguna barang/jasa.

APPE HAMONANGAN HUTAURUK, SH., MH.

 

News Feed