UNDANG – UNDANG DASAR DAN KONVENSI

UNDANG – UNDANG DASAR DAN KONVENSI

 

Setiap Undang – Undang Dasar mencerminkan konsep – konsep, ide – ide/gagasan – gagasan   dan jangkauan pemikiran ke depan  pada waktu dan tempat (negara)  dimana Undang – Undang Dasar tersebut dibuat, dan merupakan hasil dari keadaan materil dan spirituil dari masa/waktu Undang – Undang Dasar tersebut dibuat atau dirumuskan. Para penyusun Undang – Undang Dasar (Regulator/Law Maker)  mengupayakan dalam suatu formulasi  agar  ketentuan – ketentuan dalam undang – undang dasar yang dibuatnya itu tidak lekas usang dan dapat mengikuti perkembangan jaman, teknologi dan peradaban umat manusia.  Berdasarkan pertimbangan kerangka berpikir (frame of thinking) yang konstruktif demikian  maka  seringkali ketentuan – ketentuan dalam undang – undang dasar hanya mengatur dan mencakup hal – hal yang  pokok atau  mendasar (hanya memuat  prinsip – prinsip dasar). Pembuatan/penyusunana Undang – Undang Dasar dalam bentuk yang ringkas tetapi  bersifat  supel adalah sangat rational, dengan alasan – alasan: 1)  karena masyarakat terus berkembang secara dinamis;  2)  karena para penyusun Undang – Undang Dasar tidak selalu memiliki kemampuan jangkauan untuk memperkirakan kemungkinan  hal – hal  pada masa depan yang perlu diatur dalam Undang – Undang Dasar.

Selain  Undang – Undang Dasar yang berbentuk naskah (written constitution),  terdapat pula di banyak  negara (terutama negara – negara yang menganut common law system seperti  terutama di Amerika Serikat) )  berupa  kebiasaan – kebiasaan, konvensi – konvensi dan keputusan – keputusan Hakim yang memungkinkan konstitusi itu untuk menyesuaikan diri pada perubahan jaman karena lebih bersifat terbuka. Dalam konteks demikian,  pengertian  Undang – Undang Dasar   cenderung tidak dibuat dalam suatu naskah tertulis (kodifikas), tetapi tersebar di berbagai aturan – aturan dan kebiasan – kebiasaan yang kemudian disebut dengan istilah unwritten constitution.

Jarang sekali semua ketentuan konstitusional itu tercakup dalam satu naskah undang – undang dasar saja. Hal ini telah menimbulkan gagasan mengenai “LIVING CONSTITUTION”, dalam arti bahwa suatu konstitusi yang benar – benar hidup dalam masyarakat tidak hanya terdiri dari naskah yang tertulis saja, akan tetapi juga meliputi konvensi – konvensi. Dianggap bahwa dalam menganalisa kehidupan konstitusional suatu negara, maka konvensi – konvensi dan kebiasaan – kebiasaan itu tidak boleh luput dari pembahasan ilmiah. Adanya konvensi – konvensi itu diperlukan untuk melengkapi rangka dasar hukum konstitusi.

Dalam Penjelasan Undang – Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa untuk menyelidiki hukum dasar suatu negara tidaklah cukup hanya menyelidiki pasal – pasal dalam undang – undang dasar saja, akan tetapi harus diselidiki pula bagaimana prakteknya dan latar belakang kebatinannya (GEISTLICHEN HINTERGRUND) dari undang – undang dasar itu. Sebab undang – undang dasar dari negara manapun juga tidak akan dapat dimengerti kalau hanya sekedar dibaca naskahnya saja. Untuk dapat mengerti sungguh – sungguh mengenai arti dan maksud undang – undang dasar suatu negara, perlu dipelajari juga bagaimana terjadinya naskah itu, dan dalam suasana apakah naskah undang – undang dasar itu dibuat. Dengan demikian dapatlah kita lebih mengerti maksud suatu undang – undang dasar serta aliran pikiran yang mendasarinya.

Terutama di negara – negara ANGLO SAXON konvensi memainkan peranan yang sangat penting. Misalnya di Inggris, azas bahwa cabinet bertanggung jawab kepada Parlemen dan harus mengundurkan diri kalau kehilangan dukungan Parlemen, merupakan suatu konvensi yang tidak terdapat dalam bentuk tertulis. Konsepsi yang dianut dalam negara  Amerika Serikat wewenang Mahkamah Agung untuk menguji apakah suatu undang – undang bertentangan atau tidak dengan Undang – Undang Dasar (wewenang ini disebut JUDICIAL REVIEW atau TOETSINGSRECHT dalam bahasa Belanda) adalah berdasarkan tradisi dan tidak tercantum dalam naskah Undang – Undang Dasar, sekalipun Undang – Undang Dasar tidak secara eksplisit melarangnya. Seolah – olah wewenang untuk mengadakan JUDICIAL REVIEW  itu pada tahun 1803 telah “diambil alih” oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat dibawah pimpinan ketuanya JOHN MARSHALL.

 

Created  and Posted By:
Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant
Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002

 

LAW  FIRM APPE  HAMONANGAN   HUTAURUK & ASSOCIATES
KETUA  UMUM  DPP LSM  KOMAKOPEPA
AKTIVIS’98

Leave a Reply

News Feed