PEMBARENGAN GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN WANPRESTASI
(SAMENLOOP VAN RECHTSVORDERINGEN)
Merujuk pada sejarah dan peraturan perundang – undangan yang berlaku di Indonesia maka dapat dimengerti bahwa WANPRESTASI tidak termasuk dalam pengertian PERBUATAN MELAWAN HUKUM. Kewajiban yang timbul akibat Wanprestasi adalah kewajiban yang telah disepakati dalam suatu kontrak atau perjanjian. Sedangkan kewajiban yang timbul dari Perbuatan Melawan Hukum adalah akibat adanya suatu tindakan baik yang bersifat aktif maupun yang bersifat pasif yang menimbulkan PERIKATAN.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa Perbuatan Melawan Hukum adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan – undangan (termasuk lalai dan/atau sengaja tidak melakukan kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang – undangan) dan perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan dalam tata kehidupan bermasyarakat, yang mana perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan salah yang merugikan pihak lain, sehingga menimbulkan implikasi yuridis pihak yang melakukan perbuatan kesalahan tersebut wajib mengganti kerugian kepada pihak lain yang mengalami kerugian.
Tindakan tidak melakukan kewajiban yang timbul berdasarkan adanya suatu perjanjian atau suatu kontrak (ditentukan secara limitatif dalam suatu perjanjian/kontrak) maka pemenuhannya dilakukan melalui Gugatan Wanprestasi. Sedangkan perbuatan yang melanggar HAK SUBYEKTIF adalah tidak didasarkan pada ada atau tidaknya suatu perjanjian atau kontrak, sehingga tuntutan terhadap pelanggaran Hak Subyektif tersebut dilakukan melalui Gugatan Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Dalam konteks wacana “Pembarengan/Penggabungan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi (Samenloop van Rechtvorderingen” dapat dikemukakan suatu contoh dalam hal Perjanjian Sewa Menyewa dimana Pihak Pertama menyewakan sesuatu barang untuk jangka waktu tertentu kepada Pihak Kedua akan tetapi dalam perjanjian tersebut tidak diatur hal – hal tertentu (perbuatan – perbuatan tertentu) yang dilakukan Pihak Kedua, maka hal – hal tertentu (perbuatan – perbuatan tertentu) yang tidak diatur dalam perjanjian/kontrak tersebut dapat pula dituntut berdasarkan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum.
Dalam sejarah penerapan Hukum Acara Perdata, rujukan Putusan Pengadilan mengenai ” Pembarengan/Penggabungan Gugatan“ yang sering dijadikan pedoman adalah Putusan Hoge Raad (H.R) Tanggal 6 Mei 1892, dalam perkara tersebut PIHAK YANG MENYEWAKAN RUMAH tanpa persetujuan PENYEWA telah membangun bagian rumah yang disewakan sehingga mengakibatkan sebagian rumah tersebut tidak dapat dipakai oleh PENYEWA bahkan barang – barang PENYEWA menjadi rusak akibat perbuatan membangun bagian rumah yang disewakan oleh PIHAK YANG MENYEWAKAN. Dalam peristiwa tersebut Hoge Raad (H.R) memutuskan mengabulkan gugatan ganti rugi, tanpa mempersoalkan apakah gugatan tersebut didasarkan pada Gugatan Wanprestasi atau Gugatan Perbuatan Melawan Hukum.
Pada contoh kasus Putusan Hoge Raad (H.R) Tanggal 6 Mei 1892 di atas, BOUKEMA berpendapat bahwa adanya kebersamaan dalam peristiwa – peristiwa hukum dari Wanprestasi dan perbuatan hukum yang memenuhi unsur Perbuatan Melawan HUkum. Dalam penjelasannya BOUKEMA menegaskan bahwa “Pada kebersamaan dalam peristiwa – peristiwa hukum (samenval van rechtsfeiten) dalam kejadian – kejadian yang nyata tidaklah terjadi pembarengan dari norma – norma undang – undang. Akan tetapi dalam beberapa hal, gugatannya dapat saling bergantung satu dengan yang lain, apabila dari beberapa peristiwa tersebut dituntut suatu pengganti kerugian”. Menurut Penulis, dalam konteks adanya beberapa peristiwa hukum yang demikian dimana peristiwa hukum yang satu berbeda dengan peristiwa hukum yang lain tetapi mempunyai hubungan kausalitas yang mengakibatkan timbulnya kerugian maka terhadap peristiwa – peristiwa hukum tersebut dapat dilakukan Pembarengan atau Penggabungan Gugatan.
Dalam praktek peradilan penerapan Hukum Acara Perdata di Indonesia, Pembarengan atau Penggabungan Gugatan jarang dilakukan. Bahkan dalam kenyataannya Pengadilan atau Hakim sering memutuskan dengan menyatakan Gugatan Tidak Dapat Diterima (niet ontvankelijkverklaard) apabila Penggugat mengajukan Gugatan dengan menggunakan prinsip “Pembarengan/Penggabungan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi (Samenloop van Rechtvorderingen” oleh karena Penggugat dalam dalil – dalil gugatannya tidak dapat menguraikan secara seksama adanya kebersamaan dan hubungan kausalitas kerugian yang dialaminya akibat peristiwa hukum Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan pihak Tergugat. Akan tetapi, dalam beberapa perkara tertentu ada pula Putusan Pengadilan yang kemudian mengabulkan tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh Penggugat meskipun didasarkan Pembarengan atau Penggabungan adanya Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum. Oleh karena itu, sebagai prinsip yang significant perlu dipahami bahwa dalil – dalil gugatan (fundamentum petendi) harus bersesuaian dengan dasar gugatan yaitu apakah dasar gugatan tersebut Wanprestasi atau Perbuatan Melawan Hukum atau Pembarengan/Penggabungan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi serta dasar gugatan tersebut merupakan sebab timbulnya kerugian yang dialami oleh Penggugat.