NEGARA PANCASILA ADALAH NEGARA KEBANGSAAN YANG BERKETUHANAN YANG MAHA ESA
Ontologi (ontological) (catatan: ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu: On/Ontos yang berarti ada, Logos yang berarti ilmu; Ontologi adalah ilmu tentang yang ada; Ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakekat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak). Dasar ontologi negara kebangsaan Indonesia (nation state of Indonesia) yang berdasarkan Pancasila adalah hakekat manusia “monopluralis”. Manusia secara filosofis memiliki unsur “susunan kodrat” jasmani (raga) dan rohani (jiwa), sifat kodrat sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, serta “kedudukan kodrat” sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa serta sebagai makhluk pribadi. Penjelmaan hakekat manusia “monopluralis” tersebut dalam suatu persekutuan hidup yang disebut bangsa dan negara adalah suatu negara kebangsaan yang integralistik dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Soediman Kartohadiprodjo,“Pancasila menurut sejarah pembawaannya adalah mengandung isi “ISI JIWA BANGSA INDONESIA” sehingga dapat dikatakan adalah FILSAFAT BANGSA INDONESIA, suatu filsafat itu adalah suatu pemikiran yang bulat”.[1]
Sesuai dengan makna negara kebangsaan, Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagai pandangan hidup (way of life) adalah kesatuan integral dalam kehidupan bangsa dan negara, maka memiliki sifat kebersamaan, kekeluargaan serta religiusitas. Konsep pengertian demikian maka negara Pancasila pada hakekatnya adalah negara Kebangsaan yang Ber – Ketuhanan Yang Maha Esa. Landasan pokok sebagai pangkal tolak paham tersebut yaitu Tuhan adalah Sang Pencipta segala kesatuan. Kodrat alam semesta, keselarasan antara mikro kosmos dan makro kosmos, keteraturan segala ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, kesatuan dengan lain perkataan kesatuan integral. Pemahaman tersebut mengandung makna adanya keadaan “pluralistik yang menjadi identitas dalam unifikasi”, seperti dikatakan Soediman Kartohadiprodjo, “Jadi kesatuan dalam perbedaan, sehingga sifat kekeluargaan itu artinya adalah: “Perbedaan dalam Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan”.[2]
Setiap individu (warga negara) tanpa terkecuali dan tanpa perlakuan diskriminatif berdasarkan suku, agama, ras, antar golongan, aliran politik, status sosial dan sebagainya, yang hidup dalam suatu bangsa adalah sebagai makhluk Tuhan, maka bangsa dan negara sebagai totalitas yang integral adalah Ber – Ketuhanan, demikian pula setiap warganya juga Ber – Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, telah memberikan sifat yang khas kepada negara Kebangsaan Indonesia, yaitu bukan merupakan negara sekuler yang memisahkan antara agama dengan dengan negara, demikian juga bukan merupakan negara agama yang mendasarkan atas agama tertentu. Negara Kebangsaan Indonesia adalah negara yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, yaitu Negara Kebangsaan yang memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita – cita kemanusiaan sebagai makhluk Tuhan, dengan segala hak dan kewajibannya.
Negara tidak memaksa dan tidak memaksakan agama karena agama adalah merupakan suatu keyakinan bathin yang tercermin dalam hati sanubari dan tidak dapat dipaksakan. Tidak ada satu agamapun yang membenarkan untuk memaksakan kepada orang lain untuk menganutnya. Dengan perkataan lain, negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan masing – masing.
Kebebasan beragama (freedom of religious) dan kebebasan agama (religion free) adalah merupakan hak asasi manusia yang paling mutlak (absolute human rghts), karena langsung bersumber pada martabat manusia yang berkedudukan kodrat sebagai pribadi dan sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, kebebasan ini bukanlah merupakan pemberian negara, bukan pula merupakan pemberian golongan. Hak dan kebebasan itu merupakan suatu pilihan pribadi masing – masing manusia yang disertai tanggung jawab pribadi. Setiap umat beragama memiliki kebebasan untuk menggali dan meningkatkan kehidupan spiritualnya dalam masing – masing agama. Negara wajib memelihara budi pekerti yang luhur dari setiap warga negara pada umumnya dan para penyelenggara negara khususnya, berdasarkan nilai – nilai Pancasila (the values of five basic principles).
Berkaitan dengan dalil bahwa setiap umat beragama memiliki kebebasan untuk menggali dan meningkatkan kehidupan spritualnya, maka menurut Moh. Mahfud MD., “Suatu asas yang merupakan pasangan logis dari asa demokrasi adalah asas negara hukum, artinya bagi satu negara demokrasi pastilah menjadikan pula “hukum” sebagai salah satu asasnya yang lain. Alasannya, jika satu negara diselenggarakan dari, oleh dan untuk rakyat, maka untuk menghindari hak rakyat dari kesewenang – wenangan dan untuk melaksanakan kehendak rakyat bagi pemegang kekuasaan yang sebenarnya tidak lain hanyalah memegang kekuasaan rakyat, sehingga tidak boleh sewenang – wenang”.[3]
Sedangkan kajian ontologi hukum menurut Syarif Mappiasse yakni, “Negara Republik Indonesia dalam UUD Tahun 1945 hasil amandemen ketiga Pasal 1 ayat (3) menyebutkan, bahwa Indonesia adalah negara hukum. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 juga mengatakan: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Demikian pula pada Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1 ayat (1) menyatakan: “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya negara hukum Indonesia”. Berdasarkan teks hukum tersebut, Pancasila dan Undang – Undang Dasar Tahun 1945 harus ditempatkan sebagai sumber ideologi negara, sebagai potret apa yang dipikirkan bangsa Indonesia, sebagai tolok ukur bangsa Indonesia menilai suatu keadilan, sebagai sumber pemikiran hukum, sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam konteks penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia, demi tegaknya negara hukum Republik Indonesia”.[4]
_________________________________________________________
[1] Soediman Kartohadiprodjo, Beberapa Pemikiran Sekitar Pancasila, Penerbit FH Universitas Parahiyangan, Bandung, Tahun 1969, hlm. vii.
[2] Soediman Kartohadiprodjo, Ibid, hlm. 81.
[3] Moh. Mahfud MD., Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Cetakan Kedua (Edisi Revisi), Tahun 2001, hlm. 85.
[4] Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Penerbit Prenadamedia, Jakarta, Tahun 2015, hlm. 15.
Writer and Copy Right: Dr. Appe Hutauruk, SH., MH. Lecturer, Advocate and Legal Consultant