PENEGAKKAN HUKUM (Law Enforcement)
Secara konsepsional, inti dan arti PENEGAKKAN HUKUM terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai – nilai (relationship of values) yang terjabarkan di dalam kaidah – kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 1979). Kaidah – kaidah tersebut merupakan aturan – aturan hukum yang diformulasikan dalam peraturan perundang – undangan, seperti Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Ketenagakerjaan, dan sebagainya.
Dalam interaksi pergaulan hidup antar manusia, secara hakiki masing – masing personifikasi mempunyai pandangan – pandangan atau ukuran – ukuran tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk atau yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Kriteria mengenai pandangan – pandangan atau ukuran – ukuran tersebut senantiasa terwujud didalam pasangan – pasangan tertentu, misalnya, ada pasangan nilai ketertiban dengan nilai ketenteraman, pasangan nilai kepentingan umum dengan nilai kepentingan pribadi, pasangan nilai kelestarian dengan nilai inovatisme, dan seterusnya. Dalam konteks penegakkan hukum (law enforcement), pasangan nilai – nilai tersebut perlu diserasikan; umpamanya, perlu penyerasian antara nilai ketertiban dengan nilai ketenteraman. Nilai ketertiban bertitik tolak pada keterikatan, sedangkan nilai ketenteraman titik tolaknya adalah kebebasan. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan ketergantungan dan keterikatan (pembatasan) maupun kebebasan dalam wujud yang serasi atau seimbang, sesuai dengan konsep kesetaraan hak – hak kodrati.
Pasangan nilai – nilai yang telah diserasikan tersebut, memerlukan penjabaran secara lebih konkret dan jelas, oleh karena nilai – nilai lazimnya bersifat abstrak atau nisbi (relative). Penjabaran lebih konkret terjadi didalam bentuk kaidah – kaidah, dalam hal ini kaidah – kaidah hukum, yang mungkin berisikan suruhan, larangan atau kebolehan. Pada aspek Hukum Tata Negara Indonesia, misalnya, terdapat kaidah – kaidah yang berisikan suruhan atau perintah untuk melakukan tindakan – tindakan tertentu, atau tidak melakukannya. Dalam kebanyakan kaidah Hukum Pidana (criminal law) dirumuskan/diatur/dijabarkan mengenai larangan – larangan untuk melakukan perbuatan – perbuatan tertentu, sedangkan dalam bidang Hukum Perdata (private law) terdapat kaidah – kaidah atau norma – norma yang berisikan kebolehan – kebolehan (mogen).
Pola – pola interaksi yang diatur sedemikan rupa oleh Pemerintah (sebagai regulator) dan/atau masyarakat yang berwujud kaidah – kaidah atau norma – norma, antara yang terdapat dalam Hukum Pidana dan Hukum Perdata menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau sikap tindak yang dianggap pantas, atau yang seharusnya untuk ditaati. Perilaku atau sikap tindak untuk mematuhi/mentaati kaidah – kaidah yang diwujudkan dalam peraturan perundang – undangan pada esensinya bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian. Adanya unsur “memaksa” dan “sanksi” dalam setiap kaidah – kaidah yang dijewantahkan dalam peraturan perundang – undangan i merupakan konkritisasi daripada penegakkan hukum (law enforcement) secara konsepsional.
Proses Penegakkan hukum (law enforcement process), pada dasarnya adalah merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi (Wayne LaFavre, 1964). Dengan mengutip pendapat ROSCOE POUND maka LaFavre menyatakan bahwa “Pada hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit)”.
Hambatan dalam penegakkan hukum (law enforcement) mungkin terjadi, apabila terdapat atau terjadi/timbul ketidakserasian antara “tritunggal” konsepsi yaitu nilai, kaidah dan pola perilaku. Hambatan tersebut timbul apabila terjadi ketidakserasian antara nilai – nilai yang berpasangan, yang menjelma didalam kaidah – kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup (peaceful living together).
Penegakkan hukum bukan mengenai hanya semata – mata mengenai pelaksanaan peraturan perundang – undangan, akan tetapi pengertian LAW ENFORCEMENT, juga menyangkut proses sosialisasi dan kebijakan berupa diskresi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mematuhi atau mentaati keberlakuan hukum dan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Kecenderungan pemahaman yang mengartikan penegakkan hukum identik dengan pelaksanaan putusan – putusan Hakim (putusan Pengadilan), adalah sangat keliru. Penegakkan hukum juga sangat berhubungan erat dengan tanggung jawab moral (moral responsibility) dalam mematuhi kesepakatan yang dirumuskan dalam klausul – klausul perjanjian kerjasama (hukum fakultatif) dan berbagai instrumn regulasi yang dibuat oleh pejabat yang berwenang.
Fokus dan orientasi “penegakkan hukum” pada hakekatnya merujuk pada 6 (enam) faktor yang bersifat esensi dalam penegakkan hukum bahkan dianggap sebagai tolok ukur efektivitas penegakkan hukum, yaitu:
- Faktor hukumnya sendiri, misalnya undang – undang;
- Faktor penegak hukum (law enforcement officer), yakni pihak – pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum, termasuk didalamnya moralitas Penegak Hukum;
- Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum (law enforcement facilities);
- Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku/diterapkan, diartikan sebagai kesadaran hukum masyarakat (public legal awareness);
- Faktor kebudayaan (people’s culture), yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
- Faktor perkembangan teknologi dan peradaban umat manusia;
Writer and Copy Right: Dr. Appe Hutauruk, SH., MH. Lecturer, Advocate and Legal Consultant